Salindri

Jumat, April 10, 2009

Sudah untuk kesekian kalinya Salindri membersihkan tubuh Brojo, suaminya yang mabuk berlumuran muntahan dan arak di malam buta yang dingin itu. Perasaan Salindri sudah lama mati, yang ada hanyalah dorongan kemanusiaan untuk merawat suaminya dalam senang dan susah sebagaimana janjinya pada Brojo bertahun yang lalu.

Delapan tahun sudah Brojo membawanya ke Jakarta seminggu setelah mereka menikah, tujuannya hanya satu: kemakmuran hidup! Demikianlah, keduanyapun tinggal di kawasan padat penduduk, setengah kumuh, dan kadang juga banjir saat hujan deras melanda Jakarta atau Bogor.

Mula-mula Brojo bekerja di terminal sebagai calo tiket, tapi lama-ama didorong oleh wataknya yang brangasan, Brojopun menjadi preman. Salindri tahu itu, tetapi begitu menyadari seluruh hidupnya tergantung pada Brojo, dia tidak punya pilihan. Brojo tidak mengijinkan Salindri bekerja karena kecemburuannya yang luar biasa, dengan demikian hari-hari Salindri dipenuhi acara ngrumpi dengan tetangga.

Tahun-tahun awal kebersamaannya dengan Brojo dipenuhi kebahagiaan, uang mengalir bagaikan air bah. Tetapi sebagaimana pepatah mengatakan easy come easy go, secara alamiah Brojo hidup boros, Salindripun ikut-ikutan hidup boros. Dan uang itupun tak meninggalkan bekas. Tapi Salindri senang, setidak-tidaknya ia merasa paling kecukupan di antara tetangga-tetangganya dan hidupnya disegani orang pula. Demikianlah, sejoli itupun lupa menabung dan lupa mempersiapkan masa depan mereka.

Kemudian tahun-tahun berubah menjadi sulit dan semakin sulit. Tubuh Brojo yang tergerus arak dan begadang setiap hari telah melemahkan otot dan keberaniannya. Brojo tergusur preman lain ke lahan kurus yang menyebabkan Brojo harus bekerja lebih keras dan pulang lebih larut. Semakin lama, semakin sering Brojo pulang dalam keadaan mabuk berat, kehidupannya semakin kacau. Brojo merasa semakin jauh dari tujuan hidupnya, dan hiburan satu-satunya adalah minum arak. Perasaan malunya kepada Salindri mendorongnya untuk semakin jarang menyentuh istrinya itu.

Hidup seadanya menyadarkan Salindri akan hampanya kehidupan mereka tanpa kehadiran anak. Hari-hari Salindri kemudian diisi pula dengan kerinduannya pada gelak tawa anak yang tak kunjung datang. Ia semakin jarang bertemu suaminya, dan hidupnya semakin terasa hampa.

Kehampaan hidupnya yang tanpa anak, menumbuhkan keinginan Salindri untuk berpaling ke Akri, pedagang pasar di kawasan itu yang nasibnya semakin membaik. Tapi angannya segera hapus demi menerima kenyataan bahwa dia adalah istri Brojo. Bukannya tak mau, Akri menunggu saat-saat yang tepat untuk menggoda Salindri. Godaan Akri adalah ibarat tetesan air abadi di atas batu. Salindri pun goyah, dan sembunyi-sembunyi affairpun terjadilah.

Malam itu Brojo pulang dalam keadaan mabuk setengah sekarat, bajunya penuh muntahan bercampur darah dari lambungnya yang luka dalam terkikis arak. Dan sesuai janjinya, Salindri sabar membersihkan Brojo tanpa mengeluh. Senyumnya tak pernah padam, tetapi sesungguhnya hatinya telah mati. Menjelang subuh saat Brojo meregang nyawa, Salindri mengantarkan kepergian Brojo dengan senyum tanpa air mata. Jiwa dan raganya yang kelelahan tercermin dari wajahnya yang kusut dan matanya yang kuyu. Namun tidak ada seorangpun yang tahu, bahwa di hatinya telah tumbuh bunga harapan baru. Harapan kehidupan baru bersama Akri.

0 comments

Posting Komentar