Marunda

Sabtu, Oktober 17, 2009

Jolowok mengendarai motornya asal saja tanpa tujuan, tanpa semangat. Kadang pelan, kadang cepat, kadang berhenti lalu jalan lagi. Ia baru saja mensurvey rumah calon pembeli komputer kreditan dari tokonya, namun hari masih terlalu siang untuk kembali ke toko. Tiba-tiba motornya dibelokkan ke kiri mengikuti jalan berbatu. Sebuah tulisan cat di sebuah triplek seadanya telah menarik perhatiannya: "Jalan ke Pantai" tulisan itu disertai dengan tanda panah asal jadi. Beberapa waktu kemudian ia mendapati dirinya berada di sebuah warung di pantai Marunda.

"Silahkan, Mas. Mau minum atau makan?", tanya seorang perempuan setengah baya , gendut, dan menor. Dari bibir merahnya tersungging sebuah senyuman nakal.

"Minum aja, Bu. Fanta pakai es.", jawab Jolowok ikut tersenyum, geli. Di matanya, perempuan menor itu terlihat seperti kuda nil memakai bedak.

Jolowok menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Di sepanjang pantai berdiri warung berderet-deret diantara empang-empang. Beberapa orang terlihat memancing di empang-empang seputar warung. Ia merasa asing. Pantai ini tidak seperti pantai-pantai lain yang pernah ia kunjungi.

"Numpang ke toilet, Bu", Jolowok baru sadar bahwa ia menahan buang air kecil sejak tadi.

"Masuk aja, Mas. terus, mentok belok kiri."

Jolowok terheran-heran saat mengetahui bahwa bagian belakang warung itu terdapat beberapa bilik bertirai kain di kanan kiri lorong yang dilaluinya. Hatinya sibuk menerka-nerka, tapi masih belum mengerti juga. Tiba-tiba seorang perempuan muda berbaju daster tipis keluar dari bilik, hampir menabrak dirinya.

"Maaf, Mas.", perempuan itu sedikit terkejut dan kemudian berlalu ke depan warung.

Ketika kembali ke tempatnya semula, perempuan yang tadi hampir menabraknya telah duduk di depan mejanya. Deg! Jantung Jolowok terasa terhenti, jiwanya terpesona pada kejelitaan perempuan muda itu.

"Kenalkan Mas, itu adik saya, Hoyi", perempuan menor itu berkata dari balik etalase makanan.

Jolowok tersenyum, Hoyi tersenyum, Perempuan menor itu juga tersenyum. Dalam waktu singkat merekapun akrab dalam obrolan panjang yang sesekali diiringi tawa dan canda mesum yang keluar dari mulut si menor. Tak sadar Jolowok nambah minum, nambah kacang, nambah kue, nambah kerang rebus, nambah mie rebus, nambah kerupuk. Akhirnya, pulang menjelang maghrib, 50 ribu rupiah melayang dari dompet Jolowok, tapi Jolowok puas.

"Disini ramainya kalo malam, Mas. Coba aja besok malam Minggu kesini. Ntar Hoyi temenin jalan-jalan di pantai deh."

Entahlah, mengapa Jolowok merasakan dirinya hidup kembali setelah ngobrol dengan Hoyi. Hidup dari kebosanannya berumah tangga selama 12 tahun yang menurutnya hanya begitu-begitu saja. Selama ini Jolowok berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik, tak pernah neko-neko, cenderung lugu, dan hidupnya terkesan lurus-lurus saja. Tetapi semenjak pertemuannya dengan Hoyi, Jolowok merasakan semangat baru yang luar biasa. Diam-diam
Jolowok mulai tertarik, suka, dan jatuh cinta pada Hoyi.

Sepanjang jalan Jolowok tersenyum-senyum sendiri. Bayangan demi bayangan mulai tergambar di otaknya, semakin lama semakin jelas dan membias menjadi berbagai rencana dan reka daya.

Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Jolowok mulai kecanduan Hoyi. Kepiawian Hoyi dalam mengelola perselingkuhannya dengan Jolowok telah menjadikan Jolowok menjadi budak yang manis bagi Hoyi. Hoyi mampu menjadi pendengar yang baik, Hoyi mampu memberi saran dan masukan cerdas tanpa berkesan menggurui, Hoyi mampu melontarkan canda dan gurauan segar, dan Hoyi juga mampu melayani kebutuhan Jolowok semuanya, dengan sempurna. Pelan namun pasti, istri dan kedua anaknya tersingkir dari lubuk hati dan pikirannya.

Kini Jolowok mulai berani mengutip uang "lolos survey", "uang pengiriman", atau "uang instalasi" dari pelanggan tokonya, semata-mata untuk membiayai perselingkuhannya dengan Hoyi, bahkan uang belanja bulanan keluarganya mulai disunat sedikit demi sedikit.

Menginjak bulan ketiga, istri Jolowok mulai curiga dan mulai bertanya-tanya. Setiap Jolowok pulang malam, Ia mengendus-endus baju suaminya itu, tapi ia tak menjumpai bau parfum, atau tanda-tanda perselingkuhan lainnya. Yang ada cuma bau keringat Jolowok yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Lepas dari baju, diam-diam istri Jolowok membongkar tas kerja dan dompet suaminya yang tengah terlelap. Tapi semuanya bersih: tak ada foto, surat, bon, atau catatan apapun yang mengindikasikan sebuah perselingkuhan. Istri Jolowok kebingungan. Firasat perempuannya mengatakan, suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain, tapi kecurigaannya tak menemukan bukti. Ia tidak tahu, bahwa suaminya memiliki baju ganti di warung Hoyi.

"Aku merusakkan TV plasma HDTV 53" di toko. Itu murni kesalahanku.", jawab Jolowok saat diinterogasi sang istri mengenai potongan uang belanja.

"Setiap bulan, harga TV itu harus aku cicil dari gajiku."

"Itulah sebabnya, aku sering pulang malam, lembur biar cepat selesai cicilannya."

"Awas ya, aku potong burungmu kalo berani selingkuh!", ancam sang istri galak.

Ia pernah membaca artikel, bahwa karyawan seumuran suaminya, setengah mapan, dan sering berhubungan dengan pelanggan itu rawan perselingkuhan. Ia bertekat tak akan membiarkan hal itu terjadi, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia merasa selama ini pelayanannya pada suaminya tidak berkurang walaupun dirinya sendiri capek setelah bekerja hampir seharian penuh di sebuah perusahaan laundry. Belum lagi ia masih harus memasak dan mencuci baju keluarganya di malam hari. Nonton TV saja hampir-hampir tak sempat lagi. Satu-satuya kesempatan baginya untuk beristirahat hanya di hari Minggu.

"Sumpah! potong saja kalo aku selingkuh!", Jolowok berkata tegas penuh percaya diri. Hati nuraninya telah seratus persen tertutup sosok Hoyi. Ia merasa harus tegas dalam berbohong dan berpura-pura, agar benar-benar terlihat jujur dan serius.

"Ingat ya, Mas. Dulu kamu yang mengejar-ngejar aku dan memintaku menjadi istrimu! sekarang....", Istri Jolowok mulai mengungkit-ungkit masa lalu dan mulai terisak-isak di depan Jolowok. Dari mulutnya terus meluncur kata-kata panjang-pendek bercampur isak-tangis sepanjang malam.

Jolowok sendiri tidak mengerti kata-kata istrinya. Yang ia rasakan, kehidupan mereka hanya begitu-begitu saja dari dulu. Pergi kerja pagi-pagi, pulang seringkali malam, di malam hari ia dapati dirinya dan sang istri yang sudah kecapekan tanpa gairah, tanpa kehangatan, dingin-beku-miskin komunikasi. Anak-anak yang bandel, ribut, dan menjengkelkan membuatnya tak bisa istirahat tenang di rumah. Baginya anak-anaknya itu seolah-olah sumber masalah yang tak pernah habis. Bodoh di sekolah, tingkah-lakunya tidak sopan, kerjanya main, jajan, dan nonton tv melulu sepanjang hari. Jolowok merasa tak ada gunanya membiayai sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kehidupannya, kehidupan keluarganya. Jolowok bosan, tidak ada sesuatu yang dinamis, tak ada sesuatu yang beda dan baru, tak ada sesuatu yang mampu membangkitkan gairah hidup dan menciptakan kehangatan seperti yang diberikan oleh Hoyi.

Sejak saat itu Jolowok berhati-hati, Ia jarang keluar malam agar istrinya tidak curiga. Sebagai gantinya, Jolowok mengorbankan waktu kerjanya. Ia datang menemui Hoyi selepas survey atau mengantar barang ke pelanggan.

Sabtu sore itu, sepulang kerja lembur, Jolowok tak menjumpai istri dan kedua anaknya di rumah. Tak ada pesan apa-apa, semua barang masih ada di tempatnya. Jolowok mencoba menelepon, tapi handphone istrinya tidak aktif. "Ah, paling-paling ke Mall dengan anak-anak. Kebetulan.", gumam Jolowok. Ia berniat menemui Hoyi yang sudah hampir seminggu tidak dikunjunginya. Kepergiannya itu akan digunakannya sebagai alasan mencari istri dan kedua anaknya. Rasa cinta dan kangen pada selingkuhannya yang membuta telah membuat diri
Jolowok kehilangan nurani dan logika yang sehat.

Jam masih menunjukkan pukul 7 malam ketika Jolowok sampai di pantai Marunda yang mulai ramai pengunjung. Deburan ombak berbaur suara karaoke Ratih Purwasih menyambutnya memasuki warung remang si Menor. Dua-tiga pelanggan dan pasangannya terlihat asyik berduaan di sudut-sudut ruangan, tapi tak kelihatan sosok Hoyi, juga sosok si Menor.

"Pasti nungguin di bilik.", batin Jolowok penuh keyakinan.

Hatinya yang sudah dikuasai nafsu asmara itu mendorongnya untuk melangkah cepat-cepat menuju bilik, tak sabar. Sampai di depan bilik, dengan cepat Jolowok menyibak tirai sambil tersenyum lebar. "Aku datang, say...",
Jolowok tak mampu melanjutkan kata-katanya. Senyumnya lenyap, langkahnya tertahan, dan wajahnya pucat membeku. Di keremangan bilik berlampu 5 watt itu, tampak istrinya duduk di dipan bambu sambil menyeringai. Tangannya yang memegang sebilah pisau dapur dilambai-lambaikan ke arahnya, memberi tanda agar mendekat. "Sini, sini mas, duduk dekat sini. Biar mudah aku memotongnya!", seru sang istri lembut mengancam.

Tiba-tiba
Jolowok merasakan tubuhnya ringan, melayang, hanyut dalam irama nyanyian karaoke Ratih Purwasih, dan meluruh bersama debur ombak pantai Marunda.

[+/-] Selengkapnya...

Kukila

Sabtu, Oktober 10, 2009

Seorang lelaki tua berlari-lari sepanjang jalan Pemuda di tengah hari bolong di bawah terik matahari yang membakar kota Jakarta. Peluh mengalir membanjiri sekujur tubuhnya. Sebuah tas kecil menggantung di pundaknya yang kurus. Tangan kirinya memegang sangkar berselubung kain hitam tipis. Tangan kanannya melambai-lambai ke udara, dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".




"Aku bangga padamu, Le", kata Ki Bayan tersenyum pada anaknya, Joko Umbaran, saat keduanya duduk-duduk di teras rumah menikmati malam purnama sebulan yang lalu. Joko Umbaran diam, matanya menatap kedua anaknya yang ceria bermain Gobak sodor bersama sepupu-sepupu mereka di halaman. Liburan sekolah hampir berakhir, kemarin pagi Joko Umbaran datang dari Jakarta untuk menjemput kedua anaknya yang sedang liburan di rumah eyangnya yang berada di lereng selatan Gunung Lawu yang terpencil itu.

"Kamu sudah mriyayeni, melebihi derajat Bapakmu yang cuma wong nggunung ini.",lanjut Ki Bayan sambil menyalakan rokok klobot kemenyan kesayangannya. Bau tembakau campur kemenyan dengan segera memenuhi udara, tapi Joko Umbaran sudah terbiasa dengan bau itu sejak kecil.

"Kekuranganmu tinggal satu, kukila.", kata Ki Bayan sambil menatap serius wajah anak sulungnya yang kini sukses menjadi seorang pengusaha di Ibukota.

"Kamu sudah memiliki wisma, wanita, turangga, dan curiga. Tapi belum memiliki kukila"

"Besok sore, bawalah Kyai Godheg Sonto, perkutut kesayangan Bapak besertamu ke Jakarta"

"Tapi Pak, seperti yang Bapak ketahui, saya tidak memiliki bakat memelihara binatang, apalagi burung. Apakah tidak menyengsarakan Kyaine bila tak terurus nantinya?", Tolak Joko Umbaran dengan halus. Di rumahnya yang besar di Jakarta, Joko Umbaran memang punya banyak pembantu, tapi ia paham betul melihara burung perkutut itu tidak mudah, tidak bisa diserahkan ke sembarang orang.

"Le, hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." tegas Ki Bayan. "Besok bawalah Kyai Godheg Sonto bersamamu". Kalimat itu adalah perintah yang tak lagi membutuhkan bantahan. Joko Umbaran tahu betul sangat sulit menolak keinginan Bapaknya yang punya kemauan keras.

"Sudah malam Le, Istirahatlah. Suruh tidur kedua cucuku itu. Besok kamu masih harus membawa mobil ke Jakarta. Lain kali mbok ya bawa sopir, mosok priyayi kok bawa mobil sendiri"

Keesokan harinya Joko Umbaran bersiasat. Ia penuhi mobil Serenanya dengan barang oleh-oleh sebanyak mungkin: pisang, mangga, kripik belut, emping mlinjo, karak rambak, kulit tahu goreng, intip goreng, rasikan, brem, wajik, jadah, wingko babat, tape ketan, batik, wayang, souvenir, pokoknya apa saja berdus-dus banyaknya memenuhi bagasi belakang, sehingga tidak memungkinkan sesentipun celah untuk Kyai Godheg Sonto beserta sangkarnya masuk ke dalam Serena kesayangannya. Ruangan yang tersisa hanyalah cukup untuk keluarganya berlima dengan pembantunya.

Akhirnya Ki Bayan menyerah. Ia naikkan lagi sangkar Kyaine di tiang bambu depan rumahnya.

"Adikmu si Taruna akan mengantarkan Kyaine ke rumahmu besok hari Rabu Legi." Kata Ki Bayan masih semangat.

"Hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." seru Ki Bayan sambil melambaikan tangannya ke arah mobil yang melaju pelan menuju Jakarta sore hari itu. Ki Bayan masih berharap anaknya benar-benar menjadi priyayi yang sempurna.

Maka tibalah hari Rabu Legi itu, hari yang dianggap baik untuk mengantar Kyai Godheg Sonto ke Jakarta. Tapi sehari sebelum hari baik itu, Taruna justru sakit. Badannya lemas, muntah dan mencret sepanjang malam. Ki Bayan ragu untuk menunda pengantaran. Ia sudah terlanjur menentukan hari Rabu Legi dan Ki Bayan tak ingin Joko Umbaran menganggap bicaranya tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin keluarga priyayi bicara mencla-mencle.

Hari itu, Ki Bayan mencari orang yang mau menggantikan Taruna mengantar Kyaine ke Jakarta. Kalau tidak mau sebagai kurir, paling tidak ada orang yang mau menemaninya bila terpaksa ia sendiri yang harus mengantar Kyaine. Namun hingga tengah hari tak ada seorangpun yang bersedia.

"Kami takut tersesat Ki Bayan, kami kan belum pernah ke Jakarta.", elak orang-orang dengan muka serius. Namun alasan yang sebenarnya adalah kebencian mereka atas kesombongan Ki Bayan yang senang memamerkan kesuksesan Joko Umbaran secara berlebihan dan merendahkan orang-orang di desanya sendiri.

Sore hari itu Ki Bayan berangkat sendirian. Sebuah tas kecil berisi pakaian ganti dan makanan perkutut menggantung di pundak tuanya. Di tangan kanannya, terpegang erat sangkar Kyaine berselubung kain hitam yang tipis, untuk melindungi Kyaine dari segala gangguan luar.

"Jangan lupa telpon lagi masmu, besok suruh jemput Bapak di Pulogadung", pesan Ki Bayan pada Taruna yang masih klenger.

Sejak semalam Ki Bayan mencoba menelepon ke Jakarta tapi selalu tulalit. Tidak handphone, tidak juga telepon rumah. Tapi rasa bangga pada anak sulungnya membuat Ki Bayan tetap berangkat.

"Ah, nanti saja di Pulogadung ditelpon lagi. Toh aku sudah tahu alamatnya dan pernah ke sana.", batin Ki Bayan penuh rasa percaya diri.

Ki Bayan dan keluarganya tak pernah tahu, Joko Umbaran sengaja memblok semua telepon masuk dari luar kota pada H-7 dan H+7 menjelang dan sesudah hari Rabu Legi untuk mencegah Bapaknya mengantar Kyai Godheg Sonto.

Satu-satunya alat transportasi dari desanya yang langsung menuju Jakarta adalah sebuah bus ekonomi AC yang mangkal di Pasar Kancil tiga kilometer dari rumahnya. Bus itu berangkat ke Jakarta setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat jam 4 sore.

Masalah pertama muncul ketika Kondektur meminta Ki Bayan menaruh burungnya di bagasi. Tentu saja Ki Bayan mencak-mencak.

"Kamu mau menyengsarakan Kyaine?", seru Ki Bayan kepada Kondektur dengan nada tinggi.

Sang Kondektur tak melayani adu mulut, karena sebenarnya itu hanya taktiknya untuk menambah keuntungan. Kyaine boleh dibawa masuk ke bus dengan catatan harus beli satu tiket lagi dan Ki Bayan harus duduk di deretan kursi paling belakang. Tak ada pilihan lain bagi Ki Bayan.

Setelah menunggu lama, akhirnya Bus berangkat juga menjelang maghrib. Tapi bus tidak langsung menuju Jakarta. Bus itu mampir-mampir dulu ke segala tempat dan sering berhenti di mana saja mengambil penumpang satu dua. "Bisa nggak setoran pak, kalo penumpang nggak penuh", dalih sopir bus saat diprotes Ki Bayan. "Hari gini, jarang orang ke Jakarta pak", tambah sopir membela diri.

Duduk di deretan bangku paling belakang ternyata tidak nyaman. Pertama, suara mesin bus yang bising membuat Ki Bayan tak bisa istirahat. Kedua, suhu mesin yang panas membuat duduk Ki Bayan tak nyaman. AC bus itu ternyata hanya meniupkan angin biasa belaka. Ketiga, saat melewati lubang atau jalan rusak, Ki Bayan dan Kyaine terpental-pental tak karuan sehingga tumpahlah air minum dan makanan Kyaine, membasahi dan mengotori kursi. Tapi Ki Bayan tak mungkin menyuruh sopir memelankan bus.

Di tengah perjalanan, bus berhenti di restoran dan semua orang turun untuk makan. Ki Bayan kebingungan. Perutnya lapar dan ia ingin buang air kecil, tetapi apa pantas makan sambil membawa sangkar burung. Bila Kyaine ditinggal, jangan-jangan dicuri orang.

Karena tak tahan menahan buang air, akhirnya Ki Bayan turun juga dari bus sambil menenteng sangkar. Urusan buang air tidak masalah, karena Kyaine bisa dititip ke penunggu toilet. Tapi giliran mengantri nasi, terpaksa Ki Bayan menunggu di antrian terakhir dan duduk makan menyendiri. Sangkar Kyaine diletakkan di kursi sebelahnya seperti istrinya sendiri.

"Bawa burung aja lagaknya kayak bawa emas sekarung. Dasar wong nDeso!", rerasan orang-orang geli melihat Ki Bayan yang paranoid.

Kejadian itu terulang kedua kalinya saat bus berhenti untuk sarapan pagi.

Akhirnya bus memasuki terminal Pulogadung tengah hari. Tapi tak ada satu orangpun yang menjemput, tidak anaknya tidak juga orang suruhan anaknya.

"Mungkin Taruna masih sakit dan belum telpon", batin Ki Bayan menenangkan diri. Tapi ketika Ki Bayan menelepon, yang menerima adalah pembantu baru yang tidak dikenalnya dan tidak tahu menahu. Ki Bayan menjadi murka dan tak sabar, HP anaknya masih juga tidak bisa dihubungi.

"Sudahlah, langsung saja ke rumahnya. Paling tidak aku bisa segera ngopeni Kyaine disana.", sungut Ki Bayan jengkel.

Setelah mbayoni burung perkututnya, Ki Bayan naik mikrolet jurusan Senen. Dengan segera masalah muncul ketika penumpang mulai penuh. Terpaksa Ki Bayan memangku sangkar Kyaine dengan susah payah. Bau kotoran Kyaine memenuhi mikrolet di siang hari terik itu. Para penumpang mulai menutup hidung dan memandang tajam bergantian ke wajah Ki Bayan dan sangkar burungnya, tapi tak sorangpun yang berkata-kata. Semua kaca jendela dibuka, tapi tak banyak membantu, bahkan sisa-sisa kotoran yang melekat di sangkar mulai beterbangan diterpa angin.

Mikrolet berjalan kencang, sesekali menerobos jalur busway berlomba dengan mikrolet lain berebut rezeki di jalanan yang panas.

"Cciiiitttt!", tiba-tiba mikrolet direm mendadak. Sebuah sepeda motor memotong jalan. Penumpang yang berhimpitan terpental. Sangkar terlepas dari pegangan Ki Bayan, menyerempet, membentur kepala para penumpang, melayang menuju pintu, dan terlempar ke luar mikrolet. Pintu sangkar terbuka dan Kyai Godheg Sonto terbang keluar sangkar.

"Bangsat!!!", sopir meneriaki motor yang kabur.

"Setan!!!", maki para penumpang. Wajah dan baju mereka basah oleh tumpahan air minum dari sangkar.

"Manukku!!", Ki Bayan melompat keluar. Tangan kirinya sigap menyambar sangkar, kaki tuanya bergerak cepat, berlari memburu Kyaine yang terbang menjauh. Lelaki tua itu terus berlari dan berlari sepanjang jalan. Tangan kanannya menggapai-gapai ke udara dan dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".

[+/-] Selengkapnya...

Mbah Jenderal

Sabtu, Oktober 03, 2009

Entahlah, siapa yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Jenderal. Yang jelas nama sebutan itu sudah melekat padanya sejak ia mulai memiliki daya ingat puluhan tahun yang lalu. Mungkin sebutan itu dinisbahkan pada namanya yang sama dengan salah satu nama Jenderal Pahlawan Revolusi, atau mungkin juga disebabkan karena cita-citanya di masa kecil yang ingin menjadi seorang Jenderal di kelak kemudian hari, sebuah cita-cita yang mengherankan semua orang pada masa itu. Pertama, ia tidak memiliki family dari kalangan militer. Kedua, semua anak kecil pada saat itu bercita-cita menjadi seorang dokter.

Mula-mula Sang Jenderal memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Ia berusaha untuk bertindak disiplin dalam berbagai hal dan berusaha untuk menjadi manusia yang bertubuh tegap, sehat, dan kuat. Untuk itu Sang Jenderal rajin mengikuti olah raga bela diri sejak duduk di bangku SMP. Sang Jenderal juga rajin belajar dan rajin membaca berbagai artikel kemiliteran, mengikuti berita kemiliteran, bahkan rajin menonton kegiatan tentara yang sedang latihan di barak militer di seberang komplek rumahnya.

Demikianlah, kedisiplinannya menyebabkan Sang Jenderal tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat, kuat, cerdas, dan pandai bicara. Garis keturunannya yang memiliki setetes darah Belanda telah mengukir kegantengan parasnya dengan sempurna. Satu-satunya hal yang mengkhawatirkan semua anggota keluarganya, dan juga teman-teman lelakinya adalah kegemarannya pada wanita cantik. Untuk urusan yang satu itu Sang Jenderal benar-benar kacau dan keterlaluan. Pertama, Sang Jenderal diketahui telah "berusaha" untuk pacaran pada kelas lima SD. Kedua, memiliki pacar adalah hal yang wajar, tapi gonta-ganti pacar?

Namun cita-cita Sang Jenderal pupus sejak kecelakaan sepeda motor yang dialaminya saat ia duduk di bangku SMA. Biasalah, anak laki-laki, duduk di bangku SMA, punya motor RX-King. Ngapain lagi kalo nggak balapan liar. Kecelakaan itu telah menyebabkan kaki kirinya menjadi tak sempurna. Ia tidak lagi bisa berlari jauh dan cepat, sehingga tak mungkin baginya menjadi seorang tentara. Tapi kecelakaan itu tak mampu menyembuhkan penyakit playboy-nya, bahkan sejak peristiwa itu Sang Jenderal seperti kehilangan arah, kegemarannya bergonta-ganti pacar semakin menggila .

Menginjak masa kuliah, hobby Sang Jenderal tak juga berkurang. Perkenalannya dengan lebih banyak wanita dari berbagai penjuru negeri semakin membuatnya keranjingan. Dan ia mulai berani mencicipi apa yang seharusnya dilarang. Satu demi satu, mahasiswi cantik yang lengah terpedaya. Kepiawian Sang Jenderal dalam hal rayu-merayu telah merontokkan benteng pertahanan wanita yang tak tahan godaan. Dan pelan tapi pasti, bunga-bunga kampus pudar layu berguguran, laksana meranggas-gugurnya daun jati di musim kemarau panjang.

Langkah kotor Sang Jenderal makin melaju tak terbendung, sampai pada suatu hari di musim ospek, matanya tertumbuk pada Jane, mahasiswi yang segala sesuatunya serupa dengan profil bidadari tercantik di kahyangan para Dewata. Sungguh, Jane memang mahasiswi yang indah. Rambutnya hitam kemerahan lurus tergerai, berponi, melambai tertiup angin bak jatuhan air terjun Cibereum yang elok. Matanya belok bening berkilat, kemerlip bak berlian di mahkota para raja. Bibirnya, pipinya, anunya, wuah pokoknya semuanya memiliki perumpamaan yang sempurna. Hati Sang Jenderal menggeliat, meronta, menjerit sekencang-kencangnya memunculkan nafsu keserakahannya pada wanita. Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sang pacar lama dicerai, dan Jane resmi menjadi pacar baru Sang Jenderal.

Belakangan, Sang Jenderal terbentur kenyataan, bahwa memacari gadis jelita seperti Jane bukanlah perkara yang mudah. Halangan terbesar muncul dari Bung Waong, ayah Jane yang galak, bermata kemerahan, dan jauh lebih berandalan dibanding Sang Jenderal. Pengalaman Sang Jenderal selama ini tak mempan melawan Bung Waong yang super dahsyat itu. Kalah ilmu, kalah pengalaman, kata orang. Akhirnya acara pacaran dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tapi Bung Waong tak bisa dikibuli. Sang Jenderal benar-benar mati kutu. Otaknya segera berputar cepat mencari jalan keluar. Namun segala cara kandas di tangan Bung Waong dengan mudahnya.

Sang Jenderal mulai sakit hati dan putus asa. Kebenciannya pada Bung Waong pada akhirnya berbuah niat buruk untuk membalas dendam. Ia segera mengatur siasat.

Malam Minggu itu Sang Jenderal berhasil membawa kabur Jane dari rumahnya. Ia beruntung karena Bung Waong sedang menjenguk Boss-nya di rumah sakit. Mula-mula mereka makan bakso di Senayan, kemudian pacaran dilanjutkan di Citos, kemudian putar-putar tak tentu arah tujuan, lewat Ragunan, lewat Pasar Minggu, berhenti makan buah di jembatan layang Pasar Rebo, kemana saja. Menjelang jam sembilan malam, Jane yang lugu itu dibawa ke rumah mbah Bawuk, janda gendut mendekati kepala enam, mantan tetangga Sang Jenderal yang tinggal di pinggiran Jakarta.

Mbah Bawuk sudah hapal benar kelakuan Sang Jenderal, karena Jane bukanlah yang pertama. Tapi mbah Bawuk cuek aja. Yang penting dirinya mendapat uang untuk menyambung kehidupannya. Setelah basa-basi sejenak dan menyuguhkan dua gelas sirup dingin, mbah Bawuk meninggalkan keduanya di ruang tamu, pergi entah kemana dan Sang Jenderalpun mulai kasak-kusuk merayu Jane yang jelita.

Yang namanya gadis lugu melawan bandot, tentulah tak seimbang. Gempuran rayuan maut Sang Jenderal bertubi-tubi menerpa benteng pertahanan hati Jane yang masih lemah kurang pengalaman. Hati Sang Jenderal bersorak riang ketika membaca gelagat, bahwa Jane sudah termakan oleh bujuk-rayuannya. Ia yakin sebentar lagi sirup dingin mbah Bawuk segera bekerja melenakan Si Jelita. Sang Jenderal berdiri, tangannya menggandeng Jane dibimbingnya menuju kamar, tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya kabur berkunang-kunang. Dalam sekejap Sang Jenderal terjatuh di sofa panjang dan menggelinding ke lantai tak sadarkan diri.



Suara orang ramai menggedor-gedor pintu membangunkan Sang Jenderal. Ia mencoba mengenali keberadaan dirinya. Masih dengan pandangan setengah kabur, Sang jenderal terperanjat mendapati dirinya di tempat tidur disamping mbah Bawuk tanpa selembar benangpun. Ia mencoba melompat turun dari tempat tidur, namun kepalanya yang masih pusing membuatnya jatuh terjerembab ke lantai.

"Braakkkk!!", pintu kamar berhasil dijebol dari luar.

Puluhan orang menyerbu masuk ke kamar sambil berteriak-teriak. Tak sampai satu jam kemudian, di malam Minggu yang sial itu, resmilah Sang Jenderal menjadi suami mbah Bawuk.

[+/-] Selengkapnya...

Asmaradana

Sabtu, September 26, 2009

Pelan-pelan Bandot memacu motornya menyusuri jalanan Jakarta yang basah oleh bekas air hujan di sore hari itu. Genangan air di sana-sini memantulkan semburat cahaya jingga menandai pergantian siang dan malam. Satu dua bintang bersinar redup menghiasi langit biru di ufuk timur menemani perjalannya pulang dari pesta perkawinan Lea, mantan pacarnya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Bandot merenung dan berusaha memahami arti cinta dan kehidupan.

Sore hari itu, untuk keduabelas kalinya hati Bandot hancur berkeping-keping saat harus menelan ungkapan, bahwa cinta tidak harus memiliki. Sungguh, lahir batin Bandot sangat tidak menyukai ungkapan itu. Bagi Bandot, ungkapan itu bagaikan momok yang menghantuinya setiap kali dirinya mencintai seorang wanita. Dan berkali sudah Bandot harus menjadi korban ungkapan sial itu.

Bandot teringat pada tembang Macapat Asmaradana yang sering dinyanyikannya sewaktu SD di kampung halamannya nun jauh di pedalaman tanah Jawa, "Gegarane wong akrami (pedoman orang berumah tangga), dudu bandha dudu rupa (bukan harta, bukan penampilan), amung ati pawitane (modalnya hanya hati), luput pisan kena pisan (kadang sekali jadi, kadang nihil nggak jadi-jadi), yen gampang luwih gampang (bila mudah, segalanya menjadi sangat mudah), yen angel angel kalangkung (bila sulit, semuanya menjadi serba sulit), tan kena tinumbas arta (tak bisa dibeli dengan uang)". Bandot tak tahu lagi apakah syair tembang itu masih bisa dipercaya kebenarannya.

"Diinnn diiinnn!!!", klakson Trailer menyadarkan lamunannya. Ia segera membelokkan motornya ke jalur lambat. "Hampir saja.", batin Bandot bersyukur, namun kegalauan hati dan pikirannya tak juga sirna. Masih terbayang jelas dalam angannya, masa-masa indah berpacaran dengan Lea. Touring bersama, berangkat dan pulang kerja bersama, ke Dufan, ke Ragunan, ke Taman Mini, Nonton di PI, jalan-jalan ke Mall selalu berdua dan penuh cinta-kasih. ""Ahhh!!", Bandot menghela nafas panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, dan matanya terasa panas oleh linangan air mata kepedihan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.



Setahun yang lalu, Bandot harus merelakan pacar kesebelasnya. Semuanya berawal dari sebab yang itu-itu juga, ketika sang pacar meminta untuk segera menikah. Bandot pusing tujuh keliling, ia tahu tabungannya tak seberapa, masih kost, dan dengan gajinya yang sekarang, Bandot takut tak mampu memimpin bahtera rumah tangga mereka ke taraf sejahtera. "Aku belum siap", Kilah Bandot. "Bagaimana kalo tahun depan?", Bandot mencoba bernegosiasi. Sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Tidak disangka-sangka, empat bulan kemudian datanglah undangan pesta perkawinan pacarnya yang memaksa Bandot untuk kesekian kalinya tegar menyaksikan kekasih hatinya bersanding dengan pria lain. Bandot menghela nafas panjang,"Wahai, begitu cepatnya orang berpindah ke lain hati"

Sejak saat itu, Bandot bertekat tak mau lagi kehilangan kekasih. "Lea harus menjadi pacar terakhirku. Sebelas kali gagal sudah lebih dari cukup. Lea harus menjadi ibu dari anak-anakku", tekat Bandot semenjak mereka jadian. Maka empat bulan yang lalu, ketika Lea memintanya untuk menikahinya, Bandot menjawab tegas, "Baiklah, dik. Bulan depan kita menikah." Bandot buru-buru mengajukan kredit multiguna ke bank rekanan perusahaannya, lumayanlah 30 juta tanpa agunan pasti cukup untuk biaya pernikahan dan mengontrak sebuah rumah mungil selama dua tahun. Kredit cair dalam dua minggu, dan lamaranpun siap diajukan.

Dengan hati berbunga-bunga Bandot berangkat ke kampung halamannya untuk menjemput kedua orang tuanya. Bertahun-tahun tak pulang membuat Bandot rindu pada semuanya: pada orang tuanya, sanak saudaranya, teman-teman sepermainannya, sawah-sawah, kebun-kebun, sungai, jalanan, pohon-pohon, sapi-sapi, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bebek-bebek, angsa-angsa, tanah, udara, air, awan, rembulan, matahari, bintang-bintang, langit, semuanya. Dan seluruh kampung halaman seolah bersorak gembira menyambut kedatangannya, Bandot yang orang Jakarta.

Kampung halaman Bandot masih jauh dari modern, terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan asri. Sawah ladang, kebun, hutan, dan sungai memagari rumah-rumah di perkampungannya. Setelah bertahun-tahun ditinggal ke Ibukota, masih banyak hal yang belum berubah. Semua orang mandi dan mencuci baju di sungai, pagi dan sore hari. Dua hari di kampung halamannya Bandot kembali terbiasa dengan kehidupan masa kecilnya.

Sore hari itu, Bandot terlihat riang menaiki kerbau pamannya sepanjang jalan setapak menuju sungai untuk dimandikan. "Nostalgia", katanya. Semua orang tertawa, tapi Bandot tak peduli. "Kapan lagi aku bisa naik kerbau, sebentar lagi menikah, naik yang lain!", teriak Bandot setengah bercanda. Dan orang-orangpun kembali tertawa. Ketika melihat Bandot duduk terayun-ayun pelan di punggung kerbau, tiba-tiba semua orang membayangkan Bandot menaiki........, dan tawapun kembali pecah berderai menembus seluruh pelosok desa. Bandot bingung, apa yang sedang ditertawakan orang-orang. Tetapi ketika menyadari gerakan duduknya, Bandot pun terbahak-bahak, lebih keras dari tawa semua orang.

Sampai di bibir sungai, tiba-tiba rombongan kerbau gaduh dan berlarian, kaget oleh ular sawah sebesar paha yang melintas di jalan setapak itu. Bandot yang tak siap terjatuh dari punggung kerbau, terinjak-injak, terguling-guling, masuk sungai, memar, lecet-lecet, dan patah kaki. Akhirnya, hampir sebulan lamanya Bandot harus menginap di kampung halamannya, lamaran batal, tertunda. Dan selama itu Bandot harus berurusan dengan mbah Waong, dukun patah tulang di desanya.

Genap sebulan kemudian, Bandot kembali ke Ibukota dengan sisa-sisa uangnya yang semakin berkurang untuk menyumbang saudara misannya yang dua minggu lagi menikah. Ia ragu untuk meneruskan niatnya melamar Lea, uangnya sudah berkurang banyak. Ketakutannya tak mampu menyejahterakan bahtera rumah tangga kembali menjalari hatinya, apalagi sekarang ia terbebani oleh cicilan hutang. Bandot bingung, ia malu berterus terang pada teman-temannya dan juga pada Lea kekasihnya.

Lea yang menunggu-nunggu dilamar mulai bosan, Bandot yang kebingungan tak juga melamar. Hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Dan tiga bulan semenjak peristiwa itu, sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda mendarat di meja kerja Bandot. "Duhh Gusti.", keluh Bandot, "Ini yang kedua belas kalinya."

Mendung jingga semakin jelas tergambar di langit biru kota Jakarta mengawali pergantian siang dan malam. Dengan suara pelan tertahan oleh kepedihan hatinya, Bandot menggumamkan Macapat Asmaradana, "Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta". Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib syahdu memecah angkasa raya mengiringi derasnya air mata di pipi Bandot.

[+/-] Selengkapnya...

Diamput !!!

Sabtu, September 19, 2009

Gareng menarik nafas panjang. Seiring dengan alunan nafasnya, Ia berusaha menata dan mempertajam panca inderanya. Matanya menatap tajam jalan lurus di depannya. Bayangan demi bayangan berbagai peristiwa dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya yang sedang fokus berkonsentrasi. Suara geraman motor di sekelilingnya lambat laun menghilang dari telinganya. Tangannya erat bersiaga menggenggam setang motornya. Pelan tapi pasti hatinya mulai terasa mantap, dan ia merasakan dirinya siap memenangkan balapan tarikan ketujuh malam itu. Enam tarikan pertama telah dimenangkannya dengan gemilang. Tinggal satu kali tarikan lagi, dan uang lima puluh juta rupiah akan berada dalam genggamannya. Ia tahu betul, Koh Li Cheng, sang bandar taruhan, tak pernah mengingkari janjinya.

Sejak masuk kuliah delapan tahun silam sampai bekerja di sebuah perusahaan swasta saat ini, Gareng hampir tak pernah absen dari aktivitas balapan liar setiap malam minggu di berbagai lokasi. Namanya harum terkenal di dunia bawah tanah balapan liar sebagai The Flash, pembalap yang tak terkalahkan. Dari dunia itu pulalah Gareng mampu membiayai kuliah dan kehidupannya dari berbagai kemenangannya. Semua orang memaklumi bahwa balapan liar tak lepas dari taruhan bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dan setiap Pembalap memiliki harganya sendiri sebagaimana halnya para pemain sepakbola dunia.

Malam itu, Gareng benar-benar tampil sempurna. Si Cocor Merah, motor RX-King tuanya membabat habis semua lawannya tanpa ampun dengan jarak kemenangan yang cukup jauh. Koh Li Cheng tersenyum puas. Ia tahu, malam itu merupakan malam terakhir jagoannya memberikan keuntungan ratusan juta rupiah padanya. Sebelum balapan, Gareng menyatakan akan mengundurkan diri dari dunia balap liar untuk fokus pada masa depannya. Dan sebagai tanda terima kasih, Koh Li Cheng menjanjikan lima puluh juta rupiah, cash. Hitung-hitung juga sebagai hadiah ulang tahun Sang Pembalap pada hari itu.

Tak ada seorangpun yang tahu, bahwa sebenarnya Gareng sedang gundah gulana. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya menafsirkan sikap Limbuk, pacar terkasihnya, sebulan belakangan ini. Sejak Gareng serius meminta Limbuk menikah dengannya sebulan yang lalu, Limbuk seperti menjauhi dirinya. Apalagi Gareng mengetahui bahwa sudah beberapa bulan belakangan ini Limbuk terlihat akrab dengan Waong, teman kuliah Gareng yang sekantor dengan kekasihnya itu.

Gareng menyadari betapa bencinya Limbuk pada balapan liar, dan selama ini kekasihnya itu tak pernah tahu bahwa dirinya adalah salah seorang jawaranya. Gareng curiga, jangan-jangan saat ini Limbuk sudah tahu jati dirinya dari Waong dan kemudian berusaha menjauhinya. Hanya Waong yang selama ini tahu jati dirinya. Keragu-raguan hatinya menimbulkan keinginan untuk jujur pada sang kekasih dan mengakhiri petualangannya di dunia balap liar. Ia yakin kekasihnya pasti akan bersenang hati. Gareng paham betul bahwa tidak ada seorang istripun yang menginginkan suaminya memiliki aktivitas yang membahayakan jiwanya.

Tapi keinginan untuk berterus terang itu belum juga mendapatkan jalan. Bahkan sudah dua malam Minggu yang lalu Gareng terpaksa harus balik kanan dari rumah sang kekasih yang tak berada di tempat, dan tak bisa dihubungi. Gareng frustasi, pikiran buruknya mulai mengarah ke Waong. Namun hati kecilnya berkeras menuntunnya pada kesabaran. Gareng berjuang melawan sergapan rasa rindu pada kekasih hatinya. Pengalamannya dalam menyingkirkan emosi saat berlaga di arena balap sedikit banyak membantunya mengatasi kegundahan hatinya dari waktu ke waktu.

Malam Minggu itu Gareng kembali menelan ludah ketika untuk kesekian kalinya harus balik kanan dari rumah sang kekasih. Tapi ia bertekat, besok pagi ia akan menjelaskan semuanya pada kekasih hatinya, ya semuanya, dan ia harus mendapatkan jawaban lamarannya saat itu juga.

Pikiran kalutnya semakin mendorong Gareng untuk mengakhiri petualangannya di dunia balap liar malam itu juga. Pelan-pelan si Cocor Merah diarahkan ke arena balap. Mulanya Gareng hanya ingin pamitan pada para bandar dan rekan-rekannya, namun tawaran Koh Li Cheng dan bujukan rekan-rekan sejawatnya untuk mengukir prestasi terakhir mampu membelokkan hatinya untuk kembali ke aspal.

Dugaan Gareng tidaklah meleset. Pada hari yang sama saat ia mengutarakan keinginannya menikahi sang kekasih, Waong membeberkan jati diri Gareng tanpa sepengetahuannya. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan didorong oleh rasa persahabatannya yang tulus. "Hanya kamu yang bisa menghentikannya.", pinta Waong pada Limbuk sore hari itu. Siasatpun diatur. Kejutan disiapkan di hari ulang tahun Gareng. Di hari itu Limbuk akan menerima pinangan kekasihnya di arena balap dan sekaligus menghentikan aktivitasnya itu untuk selama-lamanya. Dan mulailah Limbuk bersandiwara berhari-hari lamanya, sampai saat itu tiba.

Malam itu langit cerah tak berawan, terang lampu jalanan tak mampu meredupkan kerlipan milyaran bintang di kegelapan angkasa raya. Mercy Waong pelan menyusuri jalanan menuju arena balap, ia dan Limbuk berniat menanti Gareng di ujung track. Tak henti-hentinya keduanya tersenyum membayangkan wajah Gareng saat menerima kejutan. Gegap gempita suara motor yang berlaga di arena mulai terdengar semakin jelas dan semakin keras. Keduanya semakin mendekati arena balap bekas landas pacu yang panjang membentang itu. Senyum Waong dan Limbuk semakin mengembang, diiringi obrolan dan tawa ringan sekali-sekali.

Di arena balap, tujuh motor melaju beriringan dengan kecepatan sekurang-kurangnya 150 km per jam. Gareng memimpin paling depan, senyumnya mengembang membayangkan wajah Limbuk sang kekasih hati. "Besok kamu akan menjadi milikku", bisik hatinya riang.

Tiba-tiba sebuah Mercy melintas memotong jalan di depan lintasan pada jarak 100 meter. Lampu si Cocor Merah sekilas menyorot kaca depan mobil yang terbuka, wajah Limbuk sang kekasih hati terlihat jelas disana. Gareng gugup, ia berusaha menghentikan laju si Cocor Merah sekuat tenaga. Decit ban beradu aspal memecah malam, tapi tak juga mampu menghentikan laju si Cocor Merah.

"Reeeeeeennngggggg!!!!", tak sadar mulutku menjerit keras.

"Bluuug!"

Kudapati tubuhku berada di lantai, di bawah tempat tidur.

"Diampuutt!!"

[+/-] Selengkapnya...

Buntut!

Sabtu, September 12, 2009

Togog yakin betul, bahwa usaha yang dilakukan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil pada akhirnya. Demikian juga pada upayanya yang kontinyu dalam membeli nomor buntut dua minggu sekali, ia yakin, suatu ketika nanti pasti akan menang. Dan kalo sudah begitu, dirinya tidak lagi perlu bekerja. Ia bercita-cita akan membeli beberapa buah becak untuk disewakan, sedangkan dirinya sendiri akan pensiun sebagai tukang becak untuk selama-lamanya.

Sebagai penggemar nomor buntut, maka secara otomatis, Togog juga seorang penggemar takwil mimpi. Tak heran kalo ia memiliki berbagai macam buku takwil mimpi yang telah menemaninya sejak puluhan tahun yang lalu, sejak ia menjadi seorang penarik becak selepas SMA. tentu saja Togog sudah hampir hapal semua isinya di luar kepala. Selama ini, takwil mimpi buku-buku itu telah banyak membantunya memenangkan nomor buntut. Paling tidak sekali dalam dua bulan Togog memenangkan nomor buntut, walaupun nilainya tidak begitu besar. Kemenangannya yang tak pasti itulah yang membuatnya semakin penasaran, ketagihan, dan getol dalam menggeluti dunia nomor buntut.

Togog tidak sendirian, hampir semua temannya sesama penarik becak di pinggiran kota besar itu adalah pemain nomor buntut. Bedanya Togog tidak senang berjudi sebagaimana mereka, ia murni pemain nomor buntut. Waktu luang saat menunggu penumpang lebih banyak digunakannya untuk tidur-tidur ayam berharap mendapatkan mimpi bagus, Togog yakin bahwa mimpi orang setengah tidur itu lebih mujarab dibanding mimpi orang yang tidur pulas.

Sebagaimana sebagian besar pengemudi becak di pinggiran kota itu, Togog juga seorang perantau. Desanya terletak 100 km ke arah pedalaman. Ia pulang sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali, membawa uang penghasilannya untuk istri dan dua anaknya yang menginjak remaja. Di pinggiran kota itu, ia tidak menyewa rumah, pemborosan. Untuk urusan tidur, cukup di becaknya saja atau sekali-kali tidur di pos kamling. Urusan mandi dan cuci pakaian cukup numpang di kelurahan. Begitulah, sudah hampir dua puluh tahun kehidupan seperti itu dijalaninya, bukannya tak ingin berubah, tetapi Togog berpendapat, saatnya saja yang belum tiba, saat ia menang nomor buntut 4 angka sekaligus, dan hanya itulah satu-satunya harapan menuju hidup yang lebih baik.

Menjadi perantau seperti Togog bukanlah hal yang mudah. Sebagai laki-laki, ia juga punya hasrat yang sama terhadap wanita sebagaimana laki-laki normal lainnya. Walaupun ia mencoba bertahan dan setia, namun lama-lama Togog tergoda juga oleh wanita, seorang janda beranak satu yang masih muda, pedagang tahu di pasar lama yang menjadi langganannya sejak dua bulan terakhir. Walaupun sama-sama menyukai, namun keduanya masih bisa menahan diri, terhalang oleh himpitan perekonomian masing-masing. Puber keduanya yang semakin membara, membuat Togog mulai melupakan anak dan istrinya di kampung. Dan cinta itu membuat Togog semakin rajin bermimpi, menakwilkan mimpi, dan membeli nomor buntut skala besar.

Demikianlah, pada akhirnya keyakinannya berbuah juga. Sore itu Togog memenangkan nomor buntut sebesar 30 juta rupiah, hasil otik-atik dari gabungan tanggal lahirnya dan tanggal lahir si janda muda. Maka malam itu seluruh tukang becak, bandar buntut dan anak buahnya berpesta kambing guling dan tuak di lapangan bola sampai menjelang subuh. Akibatnya, di pagi harinya, tak ada satu becakpun yang beroperasi, dan kabar berita kemenangan Togog segera tersebar cepat di pinggiran kota itu.

Untuk pertama kali dalam sejarah kehidupannya, baru kali ini Togog memberikan uang kepada istrinya sebesar 8 juta rupiah, hampir dua puluh lima kali lipat dari jumlah biasanya. Tapi Togog tak berlama-lama di rumah, berbekal uang 20 juta sisanya ia segera kembali ke kota, hasratnya terhadap si janda muda dan keinginannya untuk menjadi juragan becak semakin menggebu-gebu. Tentu saja Togog tak berterus terang, ia hanya menyampaikan keinginannya menjadi pengusaha becak di kota, dan istrinya yang kaya mendadak itu tersenyum merestuinya, ia bahagia memiliki suami yang baik dan setia, dan ia bangga memiliki suami seorang calon pengusaha becak di kota.

Pertama-tama yang dilakukan Togog sesampainya di kota adalah pensiun sebagai tukang becak. Becak sewaannya itu dikembalikan ke pemiliknya yang sebentar lagi akan jadi saingannya. Kedua, Togog menemui si janda muda untuk menyampaikan maksudnya, ketiga, Togog mengontrak sebuah rumah untuk mendukung cita-citanya, ia ingin punya markas besar untuk armadanya. Keempat, Togog menikahi si janda muda secara sederhana saja. Karena kedekatannya degan oknum kelurahan, semua surat-surat dengan mudah diurusnya. Demikian juga pihak keluarga si janda muda, dengan mudah ditaklukkannya dengan segepok uang. Agar tak mengganggu bulan madunya, si janda segera diboyong ke rumah kontrakannya, sedangkan anak si janda dititipkan ke saudaranya dengan imbalan segepok uang juga. Seminggu kemudian sebuah Vario baru parkir di rumah kontrakan Togog, dibeli secara kredit dan semua surat dibuat atas nama si janda muda sebagai bukti cintanya.

Kabar Togog menikah lagi akhirnya sampai juga ke telinga istri tuanya. Dan proses perceraian dengan istri tuanya itu berjalan begitu cepat. Lima juta rupiah lagi akhirnya melayang dari kantong Togog untuk urusan yang satu itu. Tapi Togog lega, setidak-tidaknya kehidupan barunya tak lagi terbebani oleh istri dan dua anaknya yang mulai membencinya lahir dan batin.

Kini uang di tangan Togog tak lagi genap 3 juta rupiah, tapi Togog tak peduli. Ia bertindak seolah-olah sedang membalas dendam terhadap kemiskinannya selama ini. Tiap hari pekerjaannya hanya pacaran saja dengan istri barunya. Ia telah lupa pada tujuannya untuk menjadi seorang juragan becak. Uangnya kian menipis dari hari ke hari, dan satu-satunya harapannya adalah kembali ke nomor buntut. Tapi keberuntungan agaknya tak lagi menyertainya, sudah tiga bulan ini ia tak juga menang satu kalipun, dan uangnya semakin menipis.

Menginjak bulan kelima, uangnya benar-benar habis dan nomor buntutnya tak juga membuahkan kemenangan. Togog kebingungan membiayai hidup dan cicilan motornya yang sudah menunggak dua bulan, apalagi istrinya kini sedang hamil muda. Ia mencoba bergabung dengan tukang ojek di ujung jalan, tapi karena harus membayar uang administrasi satu juta rupiah, Togog mundur. Ia mencoba menjadi ojek mandiri di mana saja ada kesempatan, di pasar, di stasiun, di terminal, di mana saja. Tapi menjadi ojek mandiri tidaklah mudah, karena semua tempat sudah diduduki oleh organisasi ojek setempat. Togog bertambah bingung, uang penghasilan dari ngojek tak cukup untuk mencicil motornya. Begitulah, menjelang akhir bulan keenam, Vario itu ditarik dealer.

Istri Togog mulai uring-uringan saban hari, ada-ada saja masalahnya. Togog mencoba bekerja serabutan, menjadi kenek tukang batu, kuli di pasar, penjaga malam pengganti, tukang cuci motor, tapi tak ada satupun yang cocok baginya. Makin hari, hari kelahiran anaknya semakin dekat dan semakin dekat. Togog semakin bingung, akhirnya ia kembali lagi ke pekerjaan lamanya sebagai tukang becak.

Malam itu Togog termangu menunggu penumpang di becaknya, pikirannya melamunkan perjalanan hidupnya. Ia merasa betapa kehidupannya kembali lagi dari awal seperti dua puluh tahun yang lalu. Tiba-tiba ia merasa rindu pada mantan istri dan anak-anaknya di desa. Togog mendesah pelan, tak mungkin ia kembali ke masa lalu. Satu-satunya harapan yang tersisa di hatinya adalah memenangkan kembali nomor buntut itu sekali lagi. Dan matanya mulai terpejam mencari mimpi-mimpi baru untuk nomor buntut berikutnya.

[+/-] Selengkapnya...

Kampanye

Sabtu, September 05, 2009

Pak Boss benar-benar nervous berat pagi itu. Sejak semalam dirinya nggak bisa tidur. Pikirannya berusaha keras menciptakan tema dan rencana urut-urutan topik yang layak diucapkan, dan hatinya sibuk mereka-reka dan membakukan gaya bicara dan bahasa tubuh yang akan digunakannya untuk berorasi. Yup! Siang hari itu Pak Boss harus tampil di podium, berbicara perkara politik di depan massa untuk pertama kalinya sebagai caleg dari Partai Anu dalam sebuah kampanye akbar di lapangan sepakbola di pinggir kota.

Sebagai seorang juragan ayam potong dan ayam petelur yang tersohor di daerahnya, sebenarnya Pak Boss sangat fasih berbicara dan terbiasa menghadapi orang banyak. Tetapi karena tingkat pendidikannya yang rendah dan ketidakpeduliannya pada masalah politik selama ini, mau nggak mau Pak Boss mesti banyak belajar. Dan semakin banyak belajar, semakin ia menyadari betapa masih banyak langit di atas langit, itulah yang membuat Pak Boss grogi kalo bicara politik.

Dalam Pemilu tahun ini, Pak Boss didaftar dan lolos sebagai caleg sebuah partai baru. Dan Pak Boss sangat bersemangat bergabung dalam Partai Anu yang masih baru itu, soalnya pengusaha kaya seperti pak Boss itu telah sampai pada tahap pencarian jati diri melalui popularitas dan kedudukan alias jabatan. Lagipula, sekarang ini di belakang namanya telah bertengger huruf MM berikut semua sertifikat yang diperlukan yang dibelinya dengan sejumlah uang yang cukup.

Berbulan-bulan lamanya Pak Boss menempa dirinya dengan ilmu kecalegan dan politik. Selain dibina oleh partai, Pak Boss juga menyewa beberapa mahasiswa jurusan sospol tingkat akhir untuk mengajarinya berbagai hal menyangkut seluk-beluk politik negeri ini. Sungguh, tidak mudah bagi orang seusianya untuk belajar hal-hal baru, apalagi kalo sudah menyentuh masalah hapal-menghapal. Lha iya to, setidak-tidaknya Pak Boss harus tahu perjalanan politik bangsa ini sejak jaman kerajaan Medang Kamulan sampai saat ini dengan segala teorinya.

Sejak pagi hari, massa pendukung yang sebagian besar adalah para tetangga, sanak saudara, dan pegawainya sendiri mulai berdatangan, berkumpul di halaman rumah Pak Boss yang luas. Sebagian besar naik motor dan ada juga yang berjalan kaki. Pak Boss menyediakan angkutan berupa dua buah truk dan dua buah pickup yang biasanya digunakan untuk mengangkut ayam atau telor. Panitia mulai mendaftar peserta dan membagikan kupon. Tentu saja, panitia cukup pintar untuk tidak memberikan amplop di awal kegiatan karena setelah menerima amplop, biasanya peserta kampanye kabur begitu saja pulang ke rumah sambil membawa sate untuk keluarganya.

Hari itu rumah Pak Boss benar-benar heboh untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, mengurusi diri sendiri dan mengurusi urusan orang lain, bersiap-siap melakukan kampanye menuju lapangan yang berjarak 10 km dari rumah Pak Boss. Didorong oleh rasa senang dan kebanggaannya, Pak Boss telah menginstruksikan kepada seluruh anggota keluarganya, sanak saudaranya, dan segenap pegawainya tanpa kecuali untuk pergi kampanye ke lapangan. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, betapa Pak Boss tidak hanya piawi dalam bisnis ayam, tetapi juga seorang orator ulung yang dapat disetarakan dengan Bung Karno.

Akhirnya iring-iringan kampanye diberangkatkan juga, paling depan adalah iring-iringan sepeda motor, disusul kemudian oleh barisan mobil. Pak Boss berada di mobil Alphard hitam di posisi terdepan bersama segenap keluarganya. Iring-iringan itu pelan-pelan meninggalkan rumah dan peternakannya dalam keadaan kosong melompong tanpa penjagaan.

Di lapangan telah berkumpul massa dari berbagai penjuru. Pak Boss harus mengikuti acara kampanye dari awal. Dan menunggu waktu pidato adalah sebuah siksaan berat bagi Pak Boss, walaupun wajahnya tersenyum cerah dan kakinya masih menginjak bumi, namun sebenarnya pikiran dan hatinya gamang melayang tak menentu oleh rasa cemas, gugup, takut, bangga, dan senang. Keinginannya untuk melakukan orasi total dan mengagumkan semua orang semakin kuat. Tetapi menghadapi massa hiruk-pikuk yang sedemikian banyak, membuat hatinya terbelah antara keinginan dan ketakutan, dan itu menjadi beban mental yang luar biasa. Pikirannya mulai panik, dan otaknya mulai lupa pada semua rancangan orasinya. Berkali-kali ia menyeka wajahnya yang berpeluh, berusaha menenangkan diri dan mengingat-ingat semua hapalannya. Ia semakin gugup saat massa di lapangan gegap gempita menyahut setiap yel-yel partai yang disampaikan sang protokol.

"Maaf Pak Boss, Bapak Camat menginstruksikan untuk dijemput. Mohon ijin pinjam mobil Bapak.", seorang lelaki rapi bertubuh tegap berambut cepak berpakaian hitam-hitam layaknya searang ajudan dengan emblem partai terselip di dada berkata dengan nada berat penuh wibawa.

"Silahkan-silahkan.", jawab Pak Boss gugup sembari menyerahkan kunci Alphardnya sambil tersenyum sebisanya. Rasa senang dan bangganya semakin bertambah mendengar Pak Camat akan menghadiri kampanye akbar itu, namun di sisi lain, muncul rasa ketakutannya bila salah-salah dalam berorasi di depan Pak Camat, dan hal itu menjadi masalah baru di hatinya. Kegalauan hati dan pikirannya dengan cepat melalaikan segenap kewaspadaannya.

Begitu lagu mars partainya selesai dikumandangkan, maka Pak Boss segera maju ke podium disambut gemuruh yel-yel dan tepuk tangan massa. Kegugupannya menghambat langkah kakinya yang terasa bersepatu besi seberat satu ton, tangannya gemetar memegang mike, pandangannya nanar mengarah ke langit mencoba menghindari menatap massa, tapi hal itu tak menolongnya dari kegugupan. Keringatnya mengalir semakin deras. Ia mencoba menguatkan hati dan jiwanya. Tiba-tiba ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, mulutnya mencoba meneriakkan yel-yel partai, tetapi kegugupannya menyebabkannya keseleo lidah. Seluruh massa tertawa. Wajah Pak Boss merah padam, ia coba lagi berteriak, tapi salah lagi. Seiring dengan tawa massa yang semakin gemuruh, tubuh Pak Boss jatuh berdebum mencium lantai podium, ia pingsan karena malu tanpa seorangpun yang sempat memeganginya.



Pak Boss dan keluarganya pulang ke rumah dengan perasaan hancur, apalagi saat mengetahui rumah dan peternakannya dalam kondisi acak-acakan. Di akhir hari itu, setelah dihitung-hitung dengan seksama, Pak Boss kehilangan sebuah toyota Alphard, sebuah tv 29 inc, sebuah tv plasma 50 inc , dua buah vcd player, seperangkat home teather, uang tunai 1 milyar rupiah dan sejumlah perhiasan yang disembunyikan di bawah almari di dalam kamarnya, satu set sofa mewah, sebuah piano, tiga ikan arowana merah dan dua perkutut kesayangannya, tiga ribu ekor ayam, dan satu ton telur ayam.


Tulisan Terkait :
>>> Sayembara


[+/-] Selengkapnya...

Boneka Barbie untuk si Adik

Kamis, Agustus 27, 2009

Hari masih pagi ketika hujan rintik-rintik mengguyur Jakarta. Sinar mentari pagi redup tertutup mendung, seredup hati Sontoloyo yang gundah gulana, bingung, dan marah. Kalender baru menapakkan kakinya di angka sebelas tadi malam, dan di sakunya tinggal tersisa uang tujuh puluh enam ribu rupiah, tidak kurang dan tidak lebih.

Sebelum berangkat kantor pagi tadi, anak perempuannya yang berulang tahun hari ini kembali menagih janjinya untuk membelikan sebuah boneka Barbie yang pandai menyanyi dan menari yang pernah dilihatnya di Mall sejak dua setengah tahun yang lalu. Janji yang selalu tertunda-tunda dari tahun ke tahun.

Sontoloyo tersenyum pahit, ia berjongkok, mengusap kepala anaknya, memeluknya, dan berulang kali mencium kedua pipi sang buah hati. "Bapak berjanji akan membawakan Adik sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari malam ini.", Sontoloyo berkata getir sambil kembali memeluk dan menciumi kedua pipi si bungsu. Sang anak berjingkrak kegirangan, berlari-lari melapor neneknya di dapur.

Sesungguhnya, hampir setiap saat Sontoloyo berduka memikirkan kehidupannya yang tak juga beranjak dari garis merah selama bertahun-tahun lamanya. Pikirannya bingung, tak tahu bagaimana cara merubah kehidupannya. Hatinya marah pada ketidakmampuannya dalam menjamin perekonomian keluarga. Sungguh, ia dan istrinya bekerja sebagaimana orang lain bekerja, namun penghasilan mereka yang pas-pasan dan bahkan seringkali minus, semakin memperberat beban kehidupan mereka dari bulan ke bulan.

Turun dari bus, Sontoloyo ragu. Ia ingat, hari ini ia harus bayar arisan sebesar lima puluh ribu rupiah. Bila digunakan untuk membayar arisan itu, dan ternyata tidak menang, maka ia tak akan lagi punya ongkos untuk transport bekerja sampai akhir bulan. Sontoloyo sudah berhutang pada semua teman kantornya, maka tak mungkin lagi ia menambah kuota. Kegundahan jiwanya, kebingungan pikirannya, dan kemarahan hatinya kini mencapai puncaknya. Seiring dengan keputusasaannya, sebersit bisikan dari neraka membelokkan langkah Sontoloyo menjauh dari kantornya.

Langkah Sontoloyo terhenti menjelang pasar. Perhatiannya terpusat pada sebuah toko grosiran di seberang Kelurahan yang ramai dikunjungi pembeli, tak ada tukang parkir di toko itu. Dengan cepat Sontoloyo mengamati dan mempelajari lingkungan sekelilingnya. Sontoloyo segera mengambil posisi, berdiri di depan toko layaknya tukang parkir, menurunkan posisi topinya dan memperbaiki kaca mata hitamnya, menanti kesempatan.

Sebuah Revo model terbaru berhenti persis di samping Sontoloyo. Dengan masih mengenakan helm, pengendaranya bergegas turun dan setengah berlari menuju toko, tanpa mematikan motor. Seperti ikan kelaparan melihat umpan, Sontoloyo bergerak secepat angin. Dalam sekejap ia sudah duduk di atas Revo model terbaru itu.

"Kena lu!", batin Sontoloyo saat motor itu berada dalam cengkeramannya. Dengan cepat motor dikebut menjauhi pasar, ia tahu betul harus pergi kemana. Di benaknya sudah terbayang uang satu juta lima ratus ribu rupiah dalam genggaman. Hari ini Ia akan membelikan sang buah hatinya sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari. Boneka yang akan menjadi kebanggaan anaknya dan belum pernah seorang anakpun di lingkungannya yang memilikinya.

"Maling! Maling! Maling!", teriakan orang ramai bersahut-sahutan, berestafet, dan memancing berbagai reaksi orang di sepanjang jalan untuk menghentikan Sontoloyo.

"Bluggg!". Sebuah lemparan batu sebesar kepalan tangan mendarat keras di punggung Sontoloyo. Keseimbangannya hilang, laju motor yang dikendarainya oleng. Sontoloyo terjungkal mencium aspal. Dan dalam sekejap tubuhnya diterjang tendangan dan pukulan orang ramai.




Sementara itu di kantor, segenap rekan kerja Sontoloyo menggerutu menunggu kedatangannya, hanya Sontoloyo seorang yang sampai tengah hari belum juga kelihatan batang hidungnya untuk setor uang arisan. Pada hari seperti itu, memperoleh kepastian siapa yang mendapatkan arisan adalah lebih penting daripada ketemu Presiden. Bagi yang menang arisan, serta-merta nafasnya akan menjadi panjang, dan bagi yang tidak menang arisan akan segera tahu kepada siapa harus mengajukan injury time sampai hari gajian tiba.

"Biarlah aku yang nombokin dulu.", suara Jeng Susy sang bandar arisan memecah kebekuan suasana.

"Tapi ingat ya, kalo Sontoloyo yang menang, arisannya buat aku duluan." lanjut Jeng Susy penuh harap, ia juga belum menang arisan sampai saat ini. Semua Peserta setuju, mereka pasrah karena tidak satu orangpun yang berani mengambil resiko itu. Ya kalo Sontoloyo menang arisan hari ini, kalo tidak, bisa rugi besar, ibarat tertusuk gunting, luka di dua tempat. Sudah menjadi rahasia umum adanya, bahwa uang yang sudah dipinjamkan ke Sontoloyo susah ditagih kembali.

Dan siang hari itu, Sontoloyo benar-benar memenangkan arisan sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah, tunai!

[+/-] Selengkapnya...

Sayembara

Sabtu, Agustus 22, 2009

Mau tidak mau, denmas Guscul harus berlapang dada kehilangan segalanya; ya hartanya, ya harga dirinya, dan mungkin juga pendukungnya. Kekalahannya dalam pemilihan Bupati di Pilkada tahun ini menyisakan puing-puing kebanggaan dan rasa percaya dirinya sebagai seorang calon Bupati. Walaupun pada awalnya denmas Guscul sudah meniatkan dengan sepenuh hati untuk siap kalah, namun tak urung kekalahannya itu membuat dirinya kecewa lahir dan batin. Tapi ia tak tahu harus kecewa pada siapa, kepada partai yang mengusungnya, kepada team suksesnya, kepada para dukunnya, kepada para pendukungnya, atau kepada negerinya.

Denmas Guscul memeras otak, memikirkan cara mengembalikan harta kekayaannya yang hampir kering untuk dana kampanye dan tetek bengeknya. Ia memang memiliki beberapa perusahaan kecil dan menengah, tetapi dengan kondisi perekonomian yang kurang kondusif saat ini, maka adalah hal yang sudah cukup baik, apabila perusahaannya itu bisa sekedar bertahan hidup.

Hari itu seluruh anggota keluarga dikumpulkan, istrinya yang asli perempuan Jerman, dan empat anaknya yang semuanya sekolah di Amrik diajak berunding bagaimana memperbaiki perekonomian keluarga. Semua pendapat dan ide mengalir dari otak cemerlang keluarga denmas Guscul, mulai dari ide curang sampai ide halal untuk jangka pendek mapupun jangka panjang, semuanya ditumpahkan dalam diskusi keluarga hari itu. Tapi dari pagi sampai menjelang subuh, tak satupun ide yang berhasil melewati uji kelayakan untuk dijalankan, semuanya beresiko tinggi atau membutuhkan modal yang tidak sedikit. Semua orang terpekur diam mencari ilham. Tiba-tiba Rara Cublak, putri tertua denmas Guscul yang kuliah di UCLA angkat bicara, "Adakan Sayembara Berhadiah!". Dan semua orang yang kelelahan itu terhenyak, seperti bangun dari mimpi.

Setelah persiapan sebulan lamanya, sayembara itupun diumumkan ke seluruh penjuru negeri, bahkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai media. Sayembara menjawab sebuah pertanyaan berhadiah seorang putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk dijadikan istri!

Syaratnya mudah saja, berlaku untuk semua orang dari berbagai bangsa yang sudah cukup umur dan cukup duit, tak peduli perjaka, duda, maupun yang sudah menikah. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 500.000,- atau USD 50. Uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun. Mengisi formulir pendaftaran, dan selanjutnya tinggal menjawab sebuah pertanyaan yang dikirimkan melalui surat atau email. Ya, hanya sebuah pertanyaan saja! Dan yang terakhir, keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Dan para jurinya tak tanggung-tanggung, mereka adalah sepuluh Profesor ternama dari berbagai disiplin ilmu dari dalam dan luar negeri.

Profil Rara Cublak pun beredar dimana-mana; di koran, di majalah, di tv, di radio, dan di internet. Mulai dari profil yang berupa text, foto, sampai video tersedia. Di website resmi sayembara itu bahkan tersedia layanan live chatting dengan Rara Cublak pada jam-jam tertentu. Tentu saja, Rara Cublak pasang aksi elegan dan berusaha semaksimal mungkin untuk menaklukkan hati semua lelaki yang chatting dengannya. Ia ingin membuat kesan, bahwa Rara Cublak adalah perempuan yang nilainya jauh melebihi nilai uang sebesar USD 50 dan sebuah pertanyaan sederhana. Rara Cublak adalah perempuan yang pantas menjadi istri yang baik, seimbang, penyayang, penuh perhatian, penuh cinta, penuh kehangatan, dan kesetiaan.

Karena hal ihwal mengenai sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu tidak tercantum dalam undang-undang, maka setelah melalui perdebatan yang ramai dan alot, akhirnya malah tak diperlukan ijin dari Depsos. Salah satu penyebabnya adalah, karena tidak mungkin menyerahkan hadiahnya ke depsos apabila hadiah tidak diambil atau tidak ada pemenangnya. Tapi tak urung masalah sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu menjadi agenda DPR untuk membahas perlu tidaknya dimasukkan ke undang-undang penyelenggaraan sayembara berhadiah.

Dalam waktu singkat, peserta sayembara dari berbagai penjuru dunia membludak. Mula-mula satu-dua orang saja, kemudian puluhan, kemudian ratusan, kemudian ribuan, kemudian puluhan dan ratusan ribu. Memasuki bulan ketiga, angkanya sudah menyentuh jutaan laki-laki dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia yang mendaftarkan diri. Bahkan ada juga yang mengikuti sayembara itu lebih dari satu kali pendaftaran, dan itu tidak dilarang. Telepon Contact Center panitia sayembara berdering tiada henti 24 jam sehari, 7 hari seminggu, bahkan bandwidth website sayembara itu harus ditambahkan secara berkala karena mulai kehabisan bandwidth setiap tiga hari sekali. Bersamaan dengan itu, uang mulai mengalir tiada henti ke rekening denmas Guscul. Dalam waktu 70 hari, 20 hari sebelum sayembara ditutup, jumlahnya telah jauh melampaui harta bendanya yang lenyap ditelan pilkada dan bisa jadi telah melampaui kekayaan Bill Gates!

Protes para istri dari seluruh penjuru dunia mengalir deras, menuntut agar sayembara tidak boleh diikuti oleh laki-laki yang sudah beristri. Denmas Guscul mencoba mengulur waktu dengan perdebatan kusir di forum selama berhari-hari dengan dalih yang dibuat-buat, seperti misalnya hak asasi setiap orang untuk mengikuti sayembara apa saja di dunia ini. Tujuannya hanya satu, ia akan menerapkan tuntutan para istri itu sehari dua hari menjelang penutupan sayembara. Dan dengan demikian, ia akan diuntungkan dengan uang pendaftaran dari peserta sayembara yang sudah beristri, uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun.

Begitu sayembara ditutup, team korespondensi bekerja cepat mengirimkan surat penjelasan terhadap kesalahan jawaban dari setiap Peserta. Surat tersebut dicetak dalam format yang sama dan ditandatangani secara manual oleh para Profesor, kemudian dikirim balik ke Peserta melalui email dalam bentuk certified scan atau pos. Ucapan terima kasih dan foto Rara Cublak yang tersenyum manis dicantumkan di akhir surat.

Ketika surat terakhir dikirimkan ke Peserta, keluarga denmas Guscul pesta syukuran. Harta benda mereka telah kembali berlipat ganda tanpa harus mengorbankan putrinya untuk dinikahkan dengan pria tak dikenal melalui sayembara.

Sementara itu, semua peserta membaca komentar atas jawaban mereka tanpa bisa membantah, selain jawabannya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang sempurna, juga karena keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Yang ikut satu kali mendapatkan jawabannya keliru, yang ikut dua kali atau lebih juga mendapatkan jawabannya keliru. Penjelasan dari sepuluh profesor ternama secara ilmiah tak terbantahkan, tak ada yang menjawab benar atas pertanyaan, mana yang lebih dulu diciptakan Tuhan, ayam atau telor? dan tidak ada seorangpun yang jawabannya benar, apapun itu jawabannya.


Tulisan Terkait :
>>> Kampanye



[+/-] Selengkapnya...

Si Bayangan Hitam

Sabtu, Agustus 15, 2009

Wuuussshhh! Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, berzigzag mendahului motor Wa'ong dari sisi kiri. Sedikit lagi, maka si Bayangan Hitam itu akan menyerempet si Dawuk, motor kesayangan Wa'ong. "Diamput!", umpat Wa'ong kaget. Ia dapat memprediksi kecepatan si Bayangan Hitam itu sekitar 100 km per jam, 40 kilometer di atas kecepatannya saat ini. Merasa kesal, Wa'ong segera tancap gas mengejar si Bayangan Hitam yang tidak punya sopan santun itu. Begitu dekat, Wa'ong terkesiap ketika mengetahui bahwa si Bayangan Hitam itu adalah seorang perempuan!

Perempuan hitam itu memang benar-benar hitam segala-galanya. Motornya matic hitam. Jaketnya hitam. Celananya hitam. Sepatunya hitam. Sarung tangannya hitam. Helm dan kacanya hitam. Rambutnya yang lurus melambai ditiup angin itu juga hitam. Wa'ong jadi panas hatinya. Ia merasa, bahwa yang berhak mengenakan atribut hitam-hitam itu sebenar-benarnya ya cuma dirinya di sepanjang jalan Parung-Cinere-Pondok Labu-Fatmawati. Bukankah dia dikenal dengan julukan Black Widow Lover? Ketua organisasi The Black Fire and Clouds Bikers Community?

Seperti tahu kalo dibuntuti, si Bayangan Hitam mempercepat laju motornya di tengah arus lalu lintas yang mulai menggeliat ramai pagi itu. Zig-zagnya yang semakin menggila membuat hati Wa'ong tambah panas. Si Dawuk, motor tua terbitan tahun 98 yang setia menemaninya sejak kuliah itu tambah digenjot sejadi-jadinya, namun tak juga mampu mengejar si Bayangan Hitam. Sebagai Biker berpengalaman, Wa'ong tak mau terpancing ugal-ugalan. Menjelang tikungan setan memasuki jalan lurus Cinere, Wa'ong melambatkan kendaraannya. Dan si Bayangan Hitam menghilang di tengah keramaian lalu lintas pagi itu.

Sudah sebulan ini Wa'ong mengambil jalan Parung-Cinere sebagai alternatif pengganti jalan Mampang-Pondok Labu yang rusak parah. Dan tiga minggu belakangan, bayangan hitam itu selalu membalap motornya dari arah kiri dengan kecepatan tinggi selepas pertigaan Parung Bingung. Wa'ong benar-benar penasaran. Tak pernah si Dawuk mengecewakannya selama ini. Motor tuanya itu sudah dimodifikasi sedemkian rupa agar dapat berlari kencang dan lincah, namun sudah tiga minggu ini, si Dawuk tak juga bisa mengejar si Bayangan Hitam itu.

Pagi itu Wa'ong mengedarai si Dawuk dengan santai, ia bertekat tak lagi mau terpancing si Bayangan Hitam. Namun ia heran karena sudah jauh melewati tikungan Parung Bingung tapi si Bayangan Hitam tak juga datang membalap dirinya. Di saat hatinya bingung bertanya-tanya, tiba-tiba ia melihat si Bayangan Hitam sedang jongkok di sisi motornya di pinggir jalan, kaca helmnya terbuka menampakkan wajah elok si Bayangan Hitam yang bertolak belakang dengan penampilannya yang serba hitam. Terdorong oleh jiwa kesetiakawanan sesama Biker, Wa'ong segera menepikan motornya.

"Kenapa mbak?", tanya Wa'ong sopan, padahal hatinya meronta antara rasa penasaran, senang, dan penuh harap.

"Nggak tahu nih mas, tau-tau mati aja nih motor.", jawab si Bayangan Hitam menatap Wa'ong dengan wajah sedih.

Deg! jantung Wa'ong berdesir saat mata belok si Bayangan Hitam yang bening sejuk bak air sungai pegunungan itu sayu menatap mata merahnya. Maka tanpa banyak bicara, Wa'ong segera turun tangan. Dasar Biker kawakan, sebentar saja motor si Bayangan Hitam hidup kembali.

"Terima kasih ya mas.", senyum si Bayangan Hitam yang sudah melepas helmnya.

Tiba-tiba sebuah ciuman lembut mendarat di pipi Wa'ong. Bersamaan dengan itu Wa'ong terbangun. "Diamput!", umpat Wa'ong menyesali mimpinya yang terputus.

Begitulah, sudah lima malam berturut-turut Wa'ong selalu memimpikan si Bayangan Hitam. Anehnya mimpi Wa'ong seperti untaian kisah. Mimpi kenalan, jalan-jalan, dan kemudian pacaran. Dan seperti yang sudah-sudah, begitu sebuah ciuman mendarat di pipinya, Wa'ong tergagap, bangun, dan secara otomatis mulutnya mengumpat, "Diamput!".

Wa'ong kini bingung. Wajahnya kuyu dan pikirannya kusut. Di pagi hari ia selalu gagal mengejar si Bayangan Hitam. Tapi di malam harinya, di dunia mimpi, mereka sudah sedemikian akrab layaknya berpacaran. Wa'ong bagai mengejar bayangannya sendiri. Sedemikian dekat, tetapi tak bisa dipegang.

Hari Minggu pagi itu, Wa'ong bergerak mencari informasi si Bayangan Hitam. Iseng-iseng ia makan bubur ayam yang mangkal di dekat tikungan Parung Bingung. Semalam adalah mimpi terindahnya dengan si Bayangan Hitam. Wa'ong dan si Bayangan Hitam berjanji akan sehidup semati selamanya.

"Bang, kenal perempuan hitam-hitam yang suka naik motor lewat sini pagi-pagi nggak?", tanya Wa'ong sambil menikmati semangkuk bubur ayam lezat yang masih hangat.

"Maksudnya perempuan yang pakai matic hitam?", tanya Tukang Bubur terkejut.

"Iya, kenapa Bang?", tanya Wa'ong tak sabaran sambil menyebutkan sebuah nama, nama si Bayangan Hitam.

"O, perempuan itu tinggal di kampung belakang situ mas. Tapi dia sudah meninggal karena kecelakaan di tikungan situ satu setengah bulan yang lalu, ketabrak motor lain yang lagi balapan.", Tukang Bubur itu memberikan penjelasan panjang lebar.

"Sayang mas, padahal ia masih muda, masih perawan, dan cantik lagi.", lanjut Tukang Bubur sambil memberikan air minum ke Wa'ong.

Wa'ong terpana, seketika nafsu makannya hilang dan jantungnya berdetak kencang. Ia teringat pada janjinya untuk sehidup semati dengan si Bayangan Hitam itu semalam.


Tulisan Terkait :

>>> Wa'ong



[+/-] Selengkapnya...

Pakdhe Koplo

Sabtu, Agustus 08, 2009

Orang itu kalo lagi beruntung tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, kreditnya sebesar lima puluh juta rupiah telah disetujui dan bisa segera diambil kalo transfer gajinya sudah terbukti masuk ke rekening bank itu. Ditambah lagi berita anak sulungnya lolos PMDK di Fakultas Teknik Sipil UNS. Dan yang paling membahagiakannya adalah ia memiliki pacar baru yang sungguh cantik jelita bak bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan pakdhe Koplo.

Pacar baru? Tidak salah! Walaupun Pakdhe Koplo telah menikah dan memiliki empat orang anak, namun ia adalah seorang penggemar berat daun muda. Dan untuk urusan yang satu itu pakdhe Koplo berani bersaing dengan siapa saja, dan ia rela berkorban apa saja untuk memenangkan persaingan itu. Konon, Pakdhe Koplo hapal benar berbagai macam tipe perempuan dan bagaimana menaklukkannya. Tidak hanya sekali dua kali kelakuan buruknya itu mengakibatkan ia didamprat istrinya yang super galak. Tapi Pakdhe Koplo punya ilmu topeng sakti. Dengan ilmu topengnya itu, Pakdhe Koplo bisa berpura-pura menyesal, sedih, menangis meraung-raung menciumi telapak kaki istrinya, dan melolong-lolong meminta ampun berhari-hari sampai hati istrinya luluh. Namun itu tidak lama, beberapa minggu kemudian, hobinya lirak-lirik daun muda itu akan kambuh lagi secara otomatis.

Sudah sebulan ini Pakdhe Koplo berteman dengan seorang perempuan jelita yang dikenalnya di stasiun Gambir. Tidaklah perlu diceritakan bagaimana mereka berkenalan, itu rahasia pakdhe Koplo yang tidak bisa dimengerti sembarang orang. Intinya, pakdhe Koplo kini mabuk kepayang terkena panah asmara si jelita. Bahkan pakdhe Koplo sudah berani apel ke rumah kos si Jelita sepulang kerja. Tentu saja, kata lembur, meeting, macet, dan sejenisnya menjadi pelindung setianya dari kecurigaan istrinya.

Sebagaimana layaknya orang yang sedang jatuh cinta, pakdhe Koplo sekonyong-konyong menjadi buta, tuli, dan dungu. Hanya saja tangannya semakin mahir berkelana, dan bibirnya lincah membual sana-sini mengobral janji dan berkata-bersyair elok mengalahkan cipta karya para Pujangga. Tapi siapa yang butuh syair? Pacaran itu ya butuhnya duit! Tak urung, pelan dan pasti isi kantong dan tabungan pakdhe Koplopun terkuras. Bagi pakdhe Koplo, uang habis tidaklah masalah, yang penting ia bisa berdekat-dekatan dengan si Jelita. Jer Basuki Mawa Bea, kata orang Jawa, keberhasilan memerlukan pengorbanan.

Si Jelita memang piawi bermain api. Kadang ia jinak bagai merpati, kadang ganas melilit bagai naga, dan kadang manja bagai anak babi. Ia permainkan hati pakdhe Koplo sampai batas kekuatannya, tarik-ulur, tarik-ulur, dan tarik-ulur. si Jelita bermain cantik, boleh pandang dan sedikit pegang, begitu aturan mainnya. Dan hanya itu! Sikap si Jelita membuat pakdhe Koplo semakin terengah-engah, penasaran dan tergila-gila, tapi ia tak mampu berbuat banyak. Akibatnya mulut pakdhe Koplo semakin ringan mengucap janji mengobral bualan, jiwa-raganyapun kian jauh meninggalkan keluarganya.

Akhirnya hari yang paling ditunggu-tunggu Pakdhe Koplo tiba: mencairkan uang pinjaman di Bank. Pagi-pagi betul Si Jelita telah dijemput untuk menemaninya akad kredit, bukan istrinya. Di depan petugas Bank ia akui si Jelita sebagai istrinya. Sret-sret, tanda tangan akad kredit dengan cepat dilakukan, dan lima puluh juta rupiahpun segera memenuhi tas si Jelita.

"Kamu yang bawa, untuk pantes-pantesnya.", kata Pakdhe Koplo genit mengedipkan sebelah matanya pada si Jelita.

Senyum mengembang di bibir sejoli haram itu. Bukannya pulang ke rumah atau menyetor uangnya ke Bank, Pakdhe Koplo malah belanja seharian. Di akhir hari, sepuluh juta rupiah bablas menjadi gelang, kalung, cincin, anting, dan jam tangan untuk si Jelita. Ciuman kecil yang mendarat di pipi kiri-kanan Pakdhe Koplo membuatnya semakin dungu. Akhirnya acara diteruskan dengan pulang ke kost si Jelita.

"Minum dulu mas", si Jelita tersenyum manis menyuguhkan sirup dingin untuk pakdhe Koplo.

Pakdhe Koplo tersenyum bahagia. Dalam hitungan detik, segelas sirup itu mengalir, membasahi, dan menyegarkan kerongkongannya yang kering...



Suara adzan subuh membangunkan pakdhe Koplo. Gelap gulita. Kepalanya berdenyut, sakit dan pusing. Limbung pakdhe Koplo bangun dari sofa, langkahnya tertatih, tangannya menggapai-gapai mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, ia dapatkan jam dinding menunjukkan pukul 4:40 pagi. Rasa kagetnya membuat kesadaran dan kekuatannya kembali. Ia segera bergegas mencari si Jelita di dalam rumah, di luar rumah, di jalan-jalan, di kebun-kebun, tapi ia tidak menemukan jejak si Jelita, tidak juga tasnya. Hati pakdhe Koplo tercekat. Bayangan uang lima puluh juta rupiah dan si Jelita silih berganti memenuhi batok kepalanya. Bayangan itu berganti dengan cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Pakdhe Koplo pingsan untuk kedua kalinya.

Pembaca yang budiman, Orang itu kalo sedang sial tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, selama lima tahun kedepan ia harus mencicil hutangnya ke Bank tiap bulan, hutang yang tak sepeserpun dinikmatinya. Belum lagi Pakdhe Koplo harus berusaha keras membayar uang kuliah anaknya yang diterima di Fakultas Teknik Sipil UNS. Pakdhe Koplo juga harus menghadapi amukan istrinya yang pasti marah besar. Dan yang paling menyedihkan adalah, hari ini Pakdhe Koplo telah kehilangan si Jelita yang perwujudannya bagaikan Bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kesengsaraan pakdhe Koplo.

[+/-] Selengkapnya...

Biduan Pujaan

Sabtu, Agustus 01, 2009

Konon, kata sahibul hikayat, hanya ada dua waktu yang paling disukai para Karyawan. Yang pertama adalah waktu gajian, dan yang kedua adalah waktu pulang kerja. Namun bagi Gambleh, pulang kerja tepat pada waktunya bukanlah hal yang favorit, setidak-tidaknya dalam dua pekan terakhir ini. Di saat rekan-rekannya sibuk ngantri di depan mesin absen sidik jari 10 menit sebelum jam kerja berakhir, Gambleh masih saja memelototi komputer di meja kerjanya. Ia baru akan pulang satu jam setelah jam kerja berakhir. Gambleh sama sekali tidak bermaksud untuk lembur, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang kantor.

Karena statusnya yang seorang jomblo kesepian, maka tak ada barang sesuatupun di dunia ini yang bisa melarang Gambleh keluyuran sepulang kerja. Biasanya, Gambleh akan keluyuran di Mall-mall dengan maksud yang sebenar-benarnya adalah untuk mencari jodoh yang tak juga kunjung datang. Namun dua minggu belakangan, Gambleh mulai meninggalkan Mall. Ia merasa sangat berbahagia apabila tiba di stasiun Tebet tepat waktu. Bukan untuk naik kereta kosong ke Bogor, tetapi semata-mata untuk menjumpai wanita pujaan hatinya.

Wanita pujaan Gambleh itu sesungguhnya adalah seorang Biduan Dangdut yang selalu "manggung" di stasiun Tebet selepas maghrib sampai menjelang Isya. Ia ditemani crew dangdutnya yang terdiri dari seorang pemain keyboard, seorang pemain ketipung, seorang pemain gitar dan seorang operator sound system merangkap Operator Kantong Permen. Disebut demikian, karena pada lagu kedua, Sang Operator akan mulai berjalan dari satu sudut stasiun ke sudut yang lain membawa kantong bekas permen Relaxa kosong untuk meminta uang saweran kepada para calon penumpang kereta api yang menunggu di sepanjang peron stasiun.

Sang Biduan itu tidak tinggi dan tidak pendek. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan selalu memakai celana jeans biru dan t-shirt putih yang ketat. Badannya yang padat berisi tergambar jelas dalam pakaian seperti itu, dan hal itu membuat mata Gambleh jarang berkedip. Gaya menyanyinya sederhana saja, tidak sebinal Inul Daranista dan tidak seganas Dewi Persik. Paling-paling hanya sekedar goyang bahu atau goyang sebelah kaki. Tapi bagi Gambleh, itu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan bayangan-bayangan gila di otak kotornya.

Pada mulanya, Gambleh masih bisa menahan diri untuk tidak ikutan joget bersama Biduan itu, walaupun hatinya melonjak-lonjak terbakar asmara. Memang suatu kebetulan bahwa Biduan dan Crewnya berada di sisi yang berseberangan dengan peron tempatnya menunggu kereta ke Bogor. Tapi tak urung, lama-lama Gambleh terhanyut juga, kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama, kemudian tangan dan kakinya mulai ikut bergerak, dan akhirnya seluruh tubuhya bergoyang, tak peduli pada ratusan calon penumpang lain di sekelilingnya.

Gambleh memang tidak salah bila sampai jatuh hati pada Biduan itu. Selain tubuhnya yang bagus, suaranya juga sangat merdu. Dan bagi Gambleh, suara itu laksana belaian yang lembut, meliuk, menukik, berputar-putar sebelum akhirnya menembus dan membuai hatinya yang kesepian. Ia begitu terkesima pada Biduan itu, sehingga tak kurang dari lima ribu perak selalu ia pindahkan dari kantongnya ke kantong permen Sang Operator.

Dalam waktu singkat, Sang Biduan tahu kalo Gambleh adalah donatur tertinggi di stasiun Tebet. Maka di hari-hari berikutnya ia melambaikan tangan dan mengedipkan mata pada Gambleh yang bergoyang-goyang sendirian di seberang peron. Demikianlah, Gambleh dan biduan itu semakin hari semakin dekat dan semakin lengket, menyanyi dan berjoget bersama. Tentu saja, pajaknya juga bertambah dengan sendirinya, dua puluh ribu adalah saweran minimal Gambleh untuk Sang Biduan pujaan hatinya...




Sore itu Gambleh keasyikan main game Poke. Ketika sadar, ia sudah terlambat pulang satu jam dari biasanya. Sambil memaki dirinya sendiri, Gambleh cepat-cepat meninggalkan kantornya. Berharap masih bisa berjumpa dengan Biduan pujaan hatinya, Gambleh buru-buru naik ojek ke Stasiun Tebet. Hatinya galau; rasa rindu, cinta, dan khawatir bercampur-baur menjadi satu. Berkali-kali Gambleh mengkomando Si Tukang Ojek untuk memacu motornya secepat mungkin.

Sampai di stasiun, Gambleh lega karena sayup-sayup terdengar nyanyian Sang Biduan yang seolah melolong, merindu, dan memanggil-manggil Gambleh yang tak kunjung datang. Terdorong oleh rasa gembira, kangen, dan cinta yang membara, Gambleh buru-buru melompat dari ojek dan berlari melintasi rel menuju peron seberang. Di pikirannya hanya ada Sang Biduan pujaan. Malam ini ia bertekat akan memberikan seratus ribu rupiah untuk Sang Pujaan Hati sebagai hukuman atas keterlambatannya. Wajah Gambleh merona cerah, senyumnya mengembang, tangannya melambai-lambai, dan matanya tak berkedip memandang Sang Biduan pujaan di peron seberang. Pada saat yang bersamaan, dari arah Jakarta meluncur kereta api Depok Express berbobot 320 ton berkecepatan 110 km per jam. Dan semua orang di stasiun Tebet bahkan tak lagi sempat membuka mulut mereka untuk memberi peringatan.....

[+/-] Selengkapnya...

Bila Kegelapan Mendatangimu

Sabtu, Juli 25, 2009

Di masa kecilku, aku memiliki rasa takut pada kegelapan seperti anak kecil pada umumnya. Hal itu berlangsung lama bahkan sampai aku sekolah di SD, sampai pada suatu malam, ayahku, Pendekar Seruling Sakti, merubah rasa takut itu menjadi sebuah keberanian, keindahan, dan harapan baru.

“Bangunlah, nak. Sudah saatnya kutunjukkan padamu sebuah rahasia yang tersembunyi dari mata hati yang tertutup.”, kata ayahku membangunkanku di tengah malam yang gelap dan dingin di musim kemarau panjang tahun itu.

Berdua kami menyusuri jalan desa yang sepi dan berbatu menuju persawahan nan luas di sebelah timur desa kami. Dorongan rasa takut pada kegelapan, membuat tanganku terus berpegangan pada tangan kekar ayahku yang perkasa. “Perhatikan sekelilingmu Nak, dan cobalah untuk menepis rasa takut dari hatimu. Kamu akan segera menemukan bahwa kenyataan tidaklah semenakutkan bayangan gelap yang melingkupi hatimu itu.”, bisik ayahku menguatkan langkahku yang terasa semakin berat.

Sesampainya kami di bukit kecil di tengah persawahan yang luas itu, kamipun duduk di bawah pohon asam tua yang sudah setua jaman itu sendiri. “Perhatikan alam di sekitarmu baik-baik, nak. Dan cobalah untuk menyatu dengannya.”. kata ayahku sembari mengeluarkan seruling sakti yang terkenal di seantero jagat persilatan itu. Dengan lembut, ayahku meniup seruling itu memecah keheningan malam yang dingin dan gelap dengan irama meliuk menyentuh kalbu.

Ajaib, semakin aku memperhatikan sekelilingku, kusadari betapa indahnya alam persawahan di malam itu. Ribuan kunang-kunang yang berkelip indah di kegelapan malam dan cahaya jutaan bintang di langit yang hitam menjadikan malam itu terang-benderang. Desir tiupan angin dingin, suara gemericik air dari parit yang mengalir di tengah persawahan, dan merdunya irama seruling ayahku menambah syahdu suasana di malam itu. Pelan tapi pasti, ketakutan di hatiku mulai mencair, berubah menjadi ketenangan, kehangatan, dan perasaan tenteram yang sulit digambarkan. Sungguh, sebuah malam yang indah dan menghayutkan…

“Nak, lihatlah. Kunang-kunang telah menghilang, dan cahaya bintang mulai memudar. Sebentar lagi fajar kan datang menjelang.” Kata ayahku menyadarkanku. “Mari kita pulang.”, katanya lagi sambil berdiri.

“Anakku, jangan lagi mata hatimu tertutup oleh ketakutan pada kegelapan. Karena setiap kegelapan memiliki cahaya dan keindahannya sendiri. Hanya mata hati yang terbebas dari ketakutan yang mampu melihat keindahan itu. Ketakutan juga akan membuat hati kita sibuk dengannya, sehingga melupakan sang fajar harapan yang akan selalu datang di setiap penghujung malam.”, Kata ayahku sambil mengelus rambutku.

“Nak, dalam perjalanan hidupmu kelak, ujian kegelapan mungkin akan datang sekali waktu. Hadapilah dengan tersenyum dan tetap bergerak laksana gerak angin, bintang dan kunang-kunang, karena telah kau tahu, selalu ada keindahan malam dan fajar harapan disana. Keindahan dan fajar yang mungkin saja lebih baik dari hari kemarin dan hari kemarinnya lagi.”, lanjut ayahku sambil tersenyum. Dan sejak saat itu tak pernah lagi aku takut pada kegelapan...


Tulisan Terkait :

[+/-] Selengkapnya...

Mabok...

Sabtu, Juli 18, 2009

Hidup orang itu ibarat roda, kadang di atas, kadang di bawah. Seringkali orang tidak tahu kapan ia akan berada di atas atau kapan ia berada di bawah. Kalo lagi di atas, kehidupan akan terasa serba enak, semua kebutuhan tersedia, dan apa-apa bisa dibeli. Namun bila sedang di bawah, semuanya terasa serba kekurangan, serba sulit, dan serba salah. Nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe.

Den Bei dan keluarganya hidup miskin bertahun-tahun lamanya. Walaupun gajinya bertambah setiap tahun, namun semakin lama gaji itu malah semakin tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bagaimana tidak, gajinya naik paling banter 10% per tahun, sementara itu nilai inflasi melebihi prosentase kenaikan gajinya. Maka gajinya itupun semakin terseok-seok mengejar kebutuhan hidup yang semakin mahal. Sembako mahal, transportasi mahal, biaya sekolah mahal dan hutang Den Bei semakin menumpuk dari bulan ke bulan.

Den Bei mencoba ikut-ikut cari pinjaman di koperasi, siapa tahu bisa buat modal dagang kecil-kecilan di rumahnya. Begitu pinjaman cair, maka uang itu tak sempat berlama-lama di tangan Den Bei. Habis dalam sekejap untuk melunasi hutang-hutangnya, dan bayangan dagang di rumahpun amblas menyisakan potongan gaji dari bulan ke bulan. Tak urung istrinya hanya bisa melongo setiap akhir bulan, jatahnya dipotong payroll tanpa ampun.

Tapi Den Bei tidak pernah putus asa, ia selalu yakin bahwa dia akan sukses suatu hari nanti dan mencapai hidup enak sebelum usia tua. Sebenarya hal yang memotivasi Den Bei untuk selalu bersemangat adalah impiannya untuk memiliki sebuah kamar khusus yang akan digunakannya untuk main game kapan saja dia mau, sebuah kamar kedap suara yang dilengkapi dengan layar LCD besar, konsol game yang lengkap dan sound system yang dahsyat menggelegar. Maklumlah Den Bei adalah seorang maniak ding-dong di masa remajanya.

Dan akhirnya sampai jugalah saat yang ditunggu-tunggu itu, Den Bei diterima bekerja di sebuah pabrik makanan kelas atas di negeri ini, posisinya tak tanggung-tanggung: manager departemen purchasing! Den Bei megalahkan ratusan kandidat lain seantero negeri. Ia sangat bangga. Kini ia membawa mobil dinas kemana-mana, gajinya besar, bajunya berdasi, dan handphonenya sudah mirip komputer.

Semakin hari Den Bei semakin merasakan betapa basahnya departemen yang ia pimpin, hatinya senang, raut ketuaan di wajahnya mulai menghilang tertutup lemak yang mulai melapisi sekujur tubuhnya. Hubungannya dengan vendor semakin terjalin akrab dan hal itu membuat dirinya semakin happy.

Hal pertama-tama yang dilakukan Den Bei adalah meminta istrinya berhenti bekerja. Ia ingin istrinya kelihatan cantik sepanjang waktu dan tidak malu-maluin bila suatu saat harus ikut dirinya dalam kegiatan kantor. Di bulan kedua, semua hutangnya lunas tanpa tersisa, bahkan untuk beberapa temannya diberinya lebihan sebagai tanda terima kasih. Di bulan ketiga, sebuah sepeda motor baru bertengger di garasi rumahnya. Dan menginjak bulan kelima, impiannya memiliki studio game di rumahnya terkabul sudah. Dan ia menamainya dengan sebutan The Bunker.

Den Bei mulai keranjingan main game di bunkernya. Semua jenis game ia beli sebagai koleksi. Mulai dari tetris, balapan, sampai game strategy semua ia punya. Bila sedang asyik main game Den Bei tidak mau diganggu bahkan oleh istri dan anaknya sekalipun. Ia beruntung istri dan anaknya tidak ada satupun yang suka main game, mereka lebih suka shopping di mall melebihi apapun.

Begitulah, siang kerja, malam main game merupakan kegiatan wajib Den Bei sehari-hari. Ia bahkan memplesetkan lagu pok ame-ame belalang kupu-pupu menjadi siang kerja keras, kalo malam main game! Istri dan anaknya tak pernah peduli pada kegiatannya, yang penting bagi mereka sealu tersedia cukup uang untuk shopping, dan itu sudah cukup.

Memasuki bulan kedelapan, perusahaan mulai mencium ketidakberesan pada kinerja Den Bei. Sering terlambat dan tidak masuk kerja dengan berbagai alasan mewarnai hari-harinya. Operasional purchasing mulai terganggu gara-gara approval yang terlambat, dan jarangnya dilakukan evaluasi kerja mingguan. Beberapa departemen lain mulai mengeluhkan kinerja departemen purchasing. Rapat koordinasi seringkali berjalan dalam kebuntuan karena ketidakhadiran Den Bei.

Management cepat bertindak, Den Bei dipanggil menghadap. Sehari, seminggu, dua minggu den bei mulai tertib kembali, namun memasuki minggu ketiga, kegemarannya pada game mengalahkan segalanya. Ia kembali sering terlambat dan tidak masuk kerja. Den Bei lupa daratan dan melupakan hal terpenting dalam hidupnya: sumber penghasilan dan pengorbanan.

Akhirnya Den Bei hanya bisa bertahan sampai akhir bulan kesepuluh. Kini ia dan isrinya tak lagi punya sumber penghasilan. Den Bei sempat sedih sebentar, namun segera terhibur dengan koleksi game yang dimilikinya. Ia optimis bahwa suatu hari nanti ia akan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Ia mulai mengirimkan lamaran kemana-mana, tapi kini saingan di luar semakin banyak, dan kesempatannya semakin tipis.

Tiga bulan berlalu sudah dan Den Bei masih tetap menganggur. Tapi hal itu tak terlihat merisaukan hatinya. Main game jalan terus. Omelan istrinya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Semakin hari tabungan Den Bei semakin menipis. Tapi keasyikannya main game telah membuat Den Bei buta dan tuli terhadap kondisi keuangannya.

Pelan tapi pasti putaran roda kehidupan Den Bei dan keluarganya membawa mereka kembali ke bawah. Kehidupan mereka kembali sulit, serba susah, dan serba salah. Istrinya sudah kembali bekerja, namun Den Bei masih menganggur. Bunkernya telah lama kosong melompong, isinya sudah ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin hari semakin mahal. Tapi Den Bei tetap optimis, suatu hari bunker itu akan terisi kembali dengan perangkat yang jauh lebih baik, dan ia semakin gencar melamar kerja kemana-mana. Ia harus memutar roda ke posisi atas, harus dan harus...

Demikianlah, nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe....

[+/-] Selengkapnya...

Hantu!

Sabtu, Juli 11, 2009

Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa di pedesaan banyak memedi (hantu), apalagi di jaman dulu saat listrik belum masuk. Hampir tiap hari, di sekolah dan di tempat-tempat umum di desaku ada saja yang bercerita tentang memedi itu. Makanya, walaupun aku ini seorang penakut, namun sudah terbiasa mendengar cerita menakutkan tentang memedi itu dan juga tahu berjenis-jenis memedi yang hidup di sekitar desaku.

Bila kamu mengira memedi hanya muncul di malam hari, maka perlu aku sampaikan, bahwa memedi di desaku itu tidak pernah peduli pada hal itu, mereka bisa saja menampakkan diri di malam atau siang hari. Frekuensi kemunculan mereka di malam hari hanya beda-beda tipis dibandingkan pemunculan mereka di siang hari. Bahkan, kalo kamu mengira bahwa memedi hanya muncul di saat sepi atau saat orang sedang sendirian, itu juga kurang tepat. Karena ada juga memedi yang justru seolah-olah ingin dilihat orang ramai.

Memedi yang paling menghebohkan sepanjang sejarah di desaku adalah memedi oncor (hantu obor). Memedi itu menurut cerita orang-orang tua, muncul beberapa waktu sebelum dan sesudah peristiwa G30S. Pemunculan pertama memedi itu hampir bersamaan dengan penampakan Lintang Gubug Penceng (Bintang Biduk Besar) yang menyala terang dan kelihatan dekat sekali di langit sebelah tenggara. Memedi oncor selalu muncul setelah maghrib, di sebelah selatan desaku. Mula-mula terlihat di tengah sawah sebuah obor yang muncul dari dalam tanah. Kemudian diikuti oleh obor-obor yang lain satu demi satu sampai jumlahnya puluhan-ratusan dan bahkan mungkin juga ribuan. Obor-obor itu kemudian berputar-putar sambil mengeluarkan suara riuh-rendah namun tidak jelas. Kadang mendekat dan kadang menjauh dari desa. Kalo ada penduduk desa yang memberanikan diri mendekati obor-obor itu, anehnya obor-obor itu akan menjauh dan menjaga jarak. Kalo orang-orang yang mendekat itu kembali ke desa, obor-obor itu juga akan mendekat kembali. Sampai menghilangnya hantu obor itu sampai sekarang, tidak ada seorangpun yang pernah tahu bentuk sebenarnya dari memedi itu, kecuali nyala obor di kejauhan dan suara yang riuh-rendah....

Di belakang rumah kakekku, dulu tumbuh sebatang pohon Kolang-kaling (Pohon Aren). Di pohon itulah tinggal mahluk halus yang disebut Wewe Gombel. Wewe itu kalo menampakkan diri, selalu di siang hari dalam bentuk wanita telanjang dada, berambut panjang terurai namun awut-awutan (tak tertata) yang menutupi wajahnya dan berpayudara panjang sampai ke tanah. Disebut Wewe Gombel karena Wewe itu memiliki gombal (kain) yang ajaib. Barang siapa yang bisa memiliki gombalnya si Wewe itu, maka dia akan bisa menghilang dengan cara menutupi kepalanya dengan gombal si Wewe itu. Aku jadi ingat film Harry Potter dengan jubah menghilangnya itu, jangan-jangan jubah Harry Potter itu tak lain adalah gombalnya Wewe yang tinggal di pohon Kolang-kaling belakang rumah kakekku tempo dulu... :-)


Wewe itu biasanya akan menampakkan diri hanya pada anak-anak saja yang kebetulan main-main di dekat situ, konon si Wewe itu menginginkan anak untuk disusui dengan payudaranya yang luar biasa itu. Anak yang sudah disusui Wewe itu akan bisa menghilang dan bergerak secepat angin. Ia juga akan diberi Popok Wewe yang akan menjadikannya selalu beruntung dan kaya raya. Aku atau teman-temanku sering melihat Wewe itu kalo sedang main di belakang rumah kakekku, namun anehnya hanya satu anak saja yang bisa melihat. Kalo sudah begitu ya kami akan lari tungang-langgang. Aku memang terobsesi memiliki kesaktian semacam itu, tapi siapa sih yang mau nyusu ke Wewe itu....

Aku dan teman-temanku juga sering mencari Jangkrik (cengkerik) atau Belut di sawah di malam hari. Kami menggunakan obor untuk penerangan. Awalnya kami akan mencari di persawahan sekitar desa, tapi lama-lama pasti akan makin ke tengah menjauhi pedesaan. Walaupun jarang, cepat atau lambat kami pasti ketemu dengan berbagai memedi. Yang paling sering adalah Keblak, memedi ini tidak berwujud, tetapi hanya berupa suara saja. Suaranya seperti benda jatuh, sangat keras dan terasa dekat sekali: Bluugg!!! atau juga Memedhon yang muncul tiba-tiba di grumbul (semak-semak dengan pepohonan di tengah sawah) dekat sungai.

Saat mencari Jangkrik atau belut di sawah, tidak jarang kami juga melihat Clorot, yaitu seberkas sinar yang terbang meluncur seperti meteor besar dari satu lokasi ke lokasi lainnya di tengah sawah atau tempat angker semacam kuburan tua. Kalo itu sih dapat dipastikan bukan memedi, tetapi Tosan Aji atau Wesi Aji, yaitu senjata pusaka yang ora omah (tidak memiliki tuan). Clorot itu warnanya juga macam-macam. Ada yang merah menyala, ada yang biru kehijauan seperti cahaya bintang, atau juga kuning keputihan yang menyilaukan.

Kata orang-orang tua, Clorot itu kebanyakan adalah senjata pusaka kuno dari jaman kerajaan dahulu kala dan akan selalu berpindah-pindah mencari orang yang tepat untuk disuwitani (diikuti). Sebenarnya tidaklah susah untuk mendapatkan tosan aji itu, cukup bersemedi di malam-malam tertentu di tempat-tempat angker yang biasa terdapat Clorot, dan pasti akan ada salah satu senjata pusaka yang mendatangi. Tapi hati-hati karena senjata pusaka itu bisa datang dalam bentuk apa saja: ular besar, macan, singa, beruang atau bahkan wanita cantik. Kalo kuat menghadapi mereka maka dipastikan mereka akan ikut, tapi kalo kalah: apabila tidak kehilangan nyawa pasti orang itu akan menjadi gila...


Tulisan Terkait :
>>> Kisah Kebon Suwung
>>> Senjata Sakti


[+/-] Selengkapnya...