Ki Ageng Paijo

Jumat, Mei 29, 2009

Bahwa terlahir sebagai manusia yang cerdas, berdaya ingat kuat, dan pandai bicara sudah disadari betul oleh Paijo, itulah sebabnya dari SD sampai SMA, Paijo selalu bertengger di ranking pertama di kelasnya. Namun sayang, Paijo memiliki watak pemalas, mudah bosan, senang hiburan, dan hobby menempuh jalan pintas. Hal buruk itulah yang membuat Paijo hidup serba kekurangan.

Orang tua Paijo yang buruh tani berlepas tangan setamat Paijo dari SMA. Tak ingin hidup miskin, Paijo hengkang ke Ibukota. Sudah terlalu sering ia mendengar dari orang ramai bahwa di Ibukota sangatlah mudah orang mencari uang, dan ia sangat percaya pada kecerdasannya.

Di Ibukota, Paijo menyewa kamar seadanya di kawasan kumuh pinggiran Ibukota yang dihuni berempat dengan temannya. Ia bekerja apa saja mulai dari pekerjaan kasar sampai kantoran. Namun sifat buruknya telah menghalangi kesuksesannya di Ibukota. Kecerdasannya tidak mampu mengalahkan segala sifat buruknya. Sifatnya yang pembosan dan senang jalan pintas membuat Paijo tak pernah lama bekerja di satu tempat. Akhirnya ia kerja apa saja yang berbau jalan pintas; judi, pasang buntut, menipu, maling, pokoknya apapun yang mudah. Tentu saja pekerjaannya itu tak pernah menjadikannya kaya. Ia harus membayar pajak penghasilan yang cukup banyak untuk para becking. Preman makan preman.

Kini sepuluh tahun sudah Paijo hidup di Ibukota tanpa pekerjaan pasti. Hidupnya masih begitu-begitu saja, tidak ada perubahan apapun. Sampai pada suatu hari sebuah artikel di koran yang memuat kehidupan Paranormal yang kaya raya mengubah kehidupannya.

Dengan uangnya yang tersisa, Paijo membeli berbagai macam buku Primbon, buku Feng Shui, dan berbagai buku ramal-meramal. Ia mulai belajar meramal setiap hari. Ia sadar, untuk menjadi Paranormal, ia harus memberikan kesan mistis kepada semua orang. Maka kepada teman-teman kosnya, ia pamitan bertapa di Banten selama empat puluh hari empat puluh malam. Demikianlah, selama dua bulan Paijo tak tampak batang hidungnya.

Pulang ke kosnya, Paijo berubah total. Ia telah memproklamirkan dirinya menjadi Paranormal bergelar Ki Ageng Paijo. Semua orang di kosnya diramal dan diberi petunjuk-petunjuk tanpa diminta. Ada yang percaya dan patuh, tapi ada juga yang tertawa dan menganggapnya gila.

Namun kesaktian Ki Ageng Paijo mulai terbukti di lingkungan itu hanya dalam waktu sebulan saja. Banyak nasib orang berubah karena ramalan dan mengikuti petunjuk Ki Ageng Paijo. Ada yang mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik, penghasilan yang meningkat, jualan yang semakin laris, bahkan ada juga yang menemukan jodoh. Namun demikian, yang diramal buruk juga menjadi kenyataan.

Mulut manusia adalah sarana iklan yang efektif. Lambat tapi pasti nama Ki Ageng Paijo mulai terkenal di Ibukota. Ramalan dan petunjuknya jitu. Kini tak hanya kalangan bawah saja yang mendatangi Ki Ageng Paijo, tapi kalangan menengah sampai Pejabat mulai berdatangan untuk minta diramal dan diberi petunjuk.

Dalam waktu setahun, Ki Ageng Paijo menjadi orang kaya. Sebuah rumah beserta isinya kini ia tinggali di sebuah kawasan elit Ibukota. Angannya tercapai sudah, hidup enak tanpa keluar keringat, cukuplah dengan ilmu Primbon dan Feng Shui yang keluar dari mulut fasihnya dan dari program sms yang menghasilkan jutaan rupiah per hari.

Kini Ki Ageng Paijo sedikit bisa bertingkah. Tarif konsultasi langsungnya tak lagi terjangkau masyarakat bawah dan menengah. Ia juga tak sembarangan menerima pasien. Hanya orang-orang yang dikategorikan Pejabat dan Pengusaha kaya saja yang bisa minta ramalan dan petunjuk darinya secara langsung. Dan kekayaannya kini bertambah banyak dari waktu ke waktu.

Ki Ageng Paijo mulai mencicipi liburan ke luar negeri. Mula-mula hanya coba-coba ke negeri tetangga, namun lama-lama ketagihan hingga sampai ke negeri jauh. Ia mulai mengelilingi dunia dan mencobai segala kenikmatan dari berbagai penjuru dunia. Keasyikannya itu membuatnya menutup layanan konsultasi langsung. Ia mengandalkan program smsnya saja, namun uangnya terus bertambah dan terus pula memanjakannya.

Menjadi kaya dan terkenal tak mengubah sifat buruk Ki Ageng Paijo. Ia malas memperbarui program smsnya yang usang dan mulai ditinggalkan orang. Kepopulerannya menukik tajam laksana pesawat jatuh seiring dengan menipisnya kekayaannya. Dalam waktu singkat Ki Ageng Paijo kehilangan liburannya, kehilangan rumah dan segala isinya. Kini Ki Ageng menyewa rumah kecil di pinggiran Ibukota.

Ia mencoba memperbaiki keadaannya, namun bintangnya yang telah pudar tak mudah menyala kembali. Tak ada orang yang mendatangi kliniknya. Ki Ageng putar haluan, ia mencoba menulis dan berbicara di media. Tapi tak satu mediapun menerima tulisan dan konsultasinya. Tak putus asa, Ki Ageng membuka layanan ramal-meramal di pasar-pasar dan keramaian di mana saja, namun hal itu tak banyak membantu kehidupannya.

Kepergiannya keliling dunia mulai berbuah, ia dinyatakan positif HIV dan harus dirawat, tapi Ki Ageng tak lagi punya uang. Tak mau jadi pesakitan dan hidup menunggu waktu dalam pengawasan, Ia melarikan diri. Kini ia tak lagi punya tempat tinggal, tapi ia tak menyerah, ia masih yakin kecerdasan dan kefasihan lidahnya masih mampu meraih kembali kejayaannya. Ki Ageng Paijo merasa waktunya semakin dekat dan semakin dekat, namun Ia tak peduli. Ki Ageng terus berkeliling dari halte ke halte, dari terminal ke terminal, dari stasiun ke stasiun menawarkan ramalan kepada setiap orang yang ditemuinya.

"Ramalan dan nasehat jitu, uang kembali bila tak terbukti. Kesuksesan kerja, jualan laris, cepat jodoh, bonus ajian, jimat, dan jampi-jampi. Ayo, hanya buka hari ini...", Ki Ageng Paijo berteriak parau. Tapi tak seorangpun percaya pada seorang gelandangan dekil, bau, dan kurus kering.

[+/-] Selengkapnya...

Andong

Jumat, Mei 22, 2009

Tentu kamu tahu Andong kan? Andong itu adalah kereta kuda besar beroda empat dan ditarik paling sedikit dua ekor kuda yang besar. Memang jarang terlihat Andong ditarik oleh empat ekor kuda, tapi aku pernah melihatnya. Andong itu merupakan kendaraan angkut yang cukup favorit di kota Solo dan sekitarnya termasuk di daerahku. Dengan bentuknya yang besar itu, Andong memang memiliki daya angkut yang luar biasa. Untuk mengangkut orang saja, paling tidak delapan sampai lima belas orang, termasuk anak-anak bisa diangkutnya. Kalo hanya untuk mengangkut barang, pastilah puluhan karung beraspun mampu diangkutnya. Tak jarang aku melihat Andong mengangkut dagangan berupa bongkokan (ikatan) daun jati (biasanya untuk bungkus tempe) sampai tinggiiii sekali, hampir-hampir bentuk asli Andong itu susah dikenali. Kalo saja roda dan kuda-kudanya tidak kelihatan, maka pastilah orang menyangka ada hutan Jati yang sedang berjalan-jalan....

Andong itu memang kendaraan yang unik. Kalo digunakan untuk mengangkut orang, perlengkapan manusiawinya yang berupa plastik hitam yang disebut deklit dilengkap dengan jendela dari plastik bening penutup badan Andong itu akan digelar rapi dan membentuk wujud kendaraan yang anggun sekali laksana kereta kuda kerajaan Inggris Raya sana. Nah kalo hanya digunakan untuk mengangkut barang, pakaian Andong itupun akan dilucuti, digulung habis sampai mblindhis (telanjang) tinggal kerangka dan atap saja. Fungsional banget ya?

Andong itu kendaraan segala cuaca, segala medan, dan segala suasana. Pokoknya asal kudanya oke, semuanya ngikut aja. Jalan pagi, siang, sore, atau malam nggak masalah. Sebagai penerangan di malam hari, Andong itu dilengkapi dengan lampu minyak Jlantah (minyak kelapa) yang bentuknya sangat klasik dan diletakkan di keempat sudutnya sebagai penerangan. Tapi Andong yang mbeling biasanya hanya memiliki satu lampu saja di kanan depan. Pada jaman mobil sudah mulai banyak, Andong itu bahkan memiliki spion besar layaknya truk, entah yang gila itu siapa: pemiliknya, kusirnya, atau yang jual spion. Andong juga nggak masalah jalan di panas terik atau hujan lebat, pokoknya asal kusirnya tahan aja. Di jalan tanah atau becek juga nggak masalah, biasanya kusirnya sudah hapal benar, jalan sebecek apa yang mampu dilalui Andong beserta kudanya.

Tahu nggak, ada juga lho bengkel khusus untuk Andong. Tetanggaku ada yang memiliki bengkel Andong itu. Mulai dari ganti roda, perbaikan dan balancing body, sampai pengecatan semuanya dilayani. Bahkan kadang juga menerima pesanan Andong baru. Yang membedakan bengkel Andong dengan bengkel mobil adalah: bengkel Andong menyediakan juga servis untuk kuda penarik Andongnya. Setiap kuda yang Andongnya masuk bengkel akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, setidaknya rumput segar, katul (sekam padi) yang sehat, mandi keramas, perawatan kuku, sepatu, dan sikat bulu akan didapatkannya.

Aku dan teman-temanku paling senang kalo pulang sekolah ada Andong lewat. Kami akan berebut naik Andong itu diam-diam di bagian belakang. Walaupun bagian belakang biasanya digunakan untuk tempat makanan kuda, namun selalu saja ada ruang bagi kami. Kusir Andong itu sebenarnya nggak suka kalo ada yang naik Andongnya secara illegal seperti itu. Makanya kalo ketahuan, kusir itu pasti akan marah besar. Sebenarnya, karena karakteristik andong yang besar dan berat itu, maka berat anak-anak yang naik di belakang nggak akan terasa, tetapi ada saja temanku yang usil karena nggak kebagian tempat. Mereka akan teriak "Cing Ceng Buk...Cing Ceng Buk..." sebagai isyarat kepada Kusir bahwa ada penumpang gelap di belakang. Nah, kalo sudah begitu, Kusir itu dengan ekspresi wajah dingin seolah-olah nggak ngerti apa-apa akan melambaikan cambuknya yang panjang itu ke belakang untuk menyapu para penumpang gelap itu. "Dlegek!", kamipun misuh-misuh (mengumpat-umpat) sambil berloncatan turun.

[+/-] Selengkapnya...

Pak Rebo yang Setia

Jumat, Mei 15, 2009

Ini cerita tentang Pak Rebo. Pedagang perkakas rumah tangga, kain, dan pakaian keliling yang selalu singgah di desaku setiap hari Rabu. Ya, hanya di hari Rabu itu sajalah Pak Rebo akan singgah di desaku. Kadang di pagi hari, kadang di siang hari, atau kadang juga di sore hari.

Sepanjang pengetahuanku, tak pernah satu kalipun Pak Rebo absen mengunjungi desaku seminggu sekali di hari Rabu itu. Pak Rebo selalu naik sepeda besar (pit kebo) yang bagus bermerk Gazelle (orang-orang di desaku sering menyebutnya dengan pit gacel, e-nya diucapkan seperti e pada kata tebu) yang dilengkapi dengan tuas pengatur gear Hi-Lo dan kalo berjalan selalu berbunyi cik...cik...cik...

Pak Rebo itu orangnya tinggi, berkulit coklat kehitaman, berwajah ganteng dan masih muda, kira-kira berumur 20 tahunan waktu itu. Pak Rebo selalu berpenampilan rapi, selalu memakai kemeja panjang dengan lengan terlipat, celana bahan warna gelap, lengkap dengan sepatu pantalon layaknya pegawai kantoran saja. Bedanya Pak Rebo tidak pernah menggunakan dasi.

Pak Rebo memiliki dua ciri khas yang tidak dimiliki orang lain bahkan di seluruh penjuru dunia. Ciri khas pertamanya adalah sebuah topi laken (topi koboi) warna coklat kehijauan yang selalu bertengger di kepalanya lengkap dengan tali yang melilit sampai di dagunya. Ciri kedua adalah sebuah gigi emas putih yang menggantikan posisi gigi seri sebelah kiri. Dengan gigi itu, kalo sedang tersenyum, maka wajah Pak Rebo yang coklat-kehitaman itu akan semakin kelihatan keren.

Pak Rebo menjual dagangannya dengan cara kredit, Pelanggan boleh membayar barang yang dibelinya dengan cara dicicil sampai kapanpun asal cicilan itu dibayar pada setiap hari Rabu. Berapa saja, ada 5 rupiah ya kasih 5 rupiah, ada 10 rupiah ya dikasih 10 rupiah. Pokoknya fleksibel banget deh. Jangan membayangkan harga dagangan Pak Rebo itu jutaan rupiah. Pada waktu itu baju yang paling mahal saja cuma 200 rupiah. Kebijakan Pak Rebo adalah, sebelum lunas, Pelanggan tidak boleh ngutang lagi. Uang lebon (angsuran) itu akan dicatat dengan rapi dalam sebuah buku yang tebal dan panjang. Tak pernah satu transaksipun yang tak tercatat dalam buku catatannya itu. Makanya hampir semua warga di desaku, terutama ibu-ibu, menjadi Pelanggan setia Pak Rebo. Walaupun kredit dengan cicilan nggak tentu begitu, namun anehnya dagangan Pak Rebo nggak berkurang dari minggu ke minggu berikutnya, bahkan seolah-olah malah kelihatan bertambah dan selalu berganti dengan barang-barang baru.

Sebenarnya Pak Rebo juga dikenal dengan nama lain di desa-desa tetangga. Ada yang mengenalnya sebagai Pak Senen, Pak Selasa, dan Pak Kemis. Memang dalam satu hari, Pak Rebo bisa berkeliling dua sampai empat desa seharian dengan sepeda kerennya itu. Namun aku belum pernah mendengar Pak Rebo berubah menjadi Pak Jumat, Pak Sabtu ataupun Pak Minggu. Yang aku dengar, setiap hari Jumat Pak Rebo ngaso, istirahat. Hari Sabtu kulakan (belanja barang dagangan) ke kota Solo dan hari minggunya pulang ke rumahnya yang berada di kaki gunung lawu sejauh 40 kilometer dari desaku. Pak Rebo memang ngontrak sebuah rumah dekat pasar sana.

Yang aku herankan, Pak Rebo itu belum pernah sekalipun menjual mainan anak-anak. Padahal aku yakin kalo Pak Rebo juga menjual mainan anak-anak pasti laku. Setiap ditanya mainan anak-anak Pak Rebo hanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang bersinar bak meteor itu tanpa menjawab satu patah katapun. Namun entah kenapa anak-anak seperti kami sangat senang kalo Pak Rebo mengunjungi desa kami, aku dan anak-anak lain akan ikut ngrubung (mengerumuni) dagangan Pak Rebo yang baru-baru itu. Kalo lagi beruntung, ibu-ibu kami akan membelikan kaos atau celana kolor yang baru.

Pak Rebo yang masih bujangan waktu itu seringkali ditawari jadi menantu para ibu yang anak perempuannya sudah dewasa. Soalnya ibu-ibu itu menganggap Pak Rebo yang ganteng dan ramah itu pintar mencari uang, satu hal yang menjadi jaminan kesejahteraan putri dan anak keturunan mereka kelak. Namun Pak Rebo hanya tersenyum saja kalo ditawari hal seperti itu. Padahal perempuan yang ditawarkan itu kebanyakan cantik-cantik dan seperti kebanyakan orang desa: jujur, taat, tidak takut miskin, dan sanggup bekerja keras.

Pak Rebo dengan senyum dan penampilannya yang khas itu masih tetap rajin mengunjungi desaku dengan pit gacel tuanya selama puluhan tahun. Bahkan minggu kemarin sewaktu aku pulang ke desaku, setelah puluhan tahun berlalu, di hari Rabu pagi itu aku masih melihat Pak Rebo tua dengan setianya menyusuri jalan-jalan di desaku untuk mengunjungi para Pelanggan setianya dari pintu ke pintu. Dan seperti biasa, masih juga tidak menjual mainan anak-anak.

Dalam penglihatanku, Pak Rebo tua itu masih seperti dulu: tinggi, hitam, ganteng, bertopi laken yang itu-itu juga dan saat senyumnya mengembang, gigi putih berkilat bak meteor itu masih saja cemerlang. Tawaran ibu-ibupun masih berlaku. Tapi bukan para gadis, melainkan para janda yang dulu pernah juga ditawarkan. Itu tak lain karena ternyata Pak Rebo tua itu masih membujang sampai sekarang. Kabarnya, Pak Rebo tua masih setia pada tunangannya nun jauh di desanya sana, yang telah meninggal sebelum mereka sempat menikah....

[+/-] Selengkapnya...

Episode Samijo

Jumat, Mei 08, 2009

Pelan-pelan rombongan Bus Mudik Bersama itu meninggalkan lapangan menuju luar kota. Di dalam bus, Samijo tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun menghuni Ibukota; dia, istrinya, dan dua anak mereka akhirnya bisa mengunjungi kampung halaman tanah kelahirannya. Ia merasakan jiwanya yang telah lama mengeras kembali lunak, lembut dan bahagia.

Samijo masih ingat betul saat semua penghuni kawasan kumuh tempat tinggalnya didata untuk mudik bersama ke kampung halaman sebulan sebelum bulan puasa. "Pokoknya ke semua tujuan, ada lima puluh bus siap mengantar, plus uang saku selama perjalanan dan ongkos balik ke Jakarta!", kata si Pendata tegas meyakinkan. Kata-kata itu seolah menjadi hujan deras di musim kemarau panjang. Semua penghuni yang telah rindu-dendam bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman mereka pun menyambutnya dengan gegap gempita.

Maka, dua bulan penuh sesudah itu tidak ada kata istirahat bagi Penghuni kawasan kumuh itu. Semua Penghuni bersemangat mengais uang ke seluruh penjuru kota untuk bekal ke kampung halaman. Para Penjudi dan kupu-kupu malam tak peduli larangan beroperasi di bulan suci. Para pedagang tak peduli larangan menjual petasan dan tak peduli larangan jualan di bahu jalan. Para Pengemis dan Pemulung keluar masuk perumahan, menyusuri jalanan, perempatan dan lampu merah siang dan malam. Para Copet, Jambret, dan Preman menggila dimana-mana; di bus, di mall, di terminal, di stasiun, dan dimana saja. Semua Penghuni berlomba menumpuk uang, uang, dan uang.

Samijo tak ketinggalan, ia memulung semakin jauh. Memasuki bulan puasa, ia melanglang dari satu masjid ke masjid lain mengais gelas plastik bekas orang buka puasa. Usahanya tak sia-sia, ratusan gelas plastik didapatkannya setiap malam. Ia tahu, di bulan puasa, dia tak bisa berharap banyak mendapatkan gelas plastik itu di siang hari. Duitnya makin banyak terkumpul, dua kali lipat dari bulan biasa. Samijo dan Istrinya senang. Sudah setahun ini mereka berusaha menabung untuk bisa pulang. "Seperti sudah diatur saja.", gumam Samijo. "Uang tabunganku nggak perlu berkurang untuk beli tiket.".

Tak urung Samijo dan keluarganya menghabiskan jatah uang tiket bus mereka untuk membeli pakaian baru dan buah tangan. Akhirnya dua tas besar penuh buah tangan dan satu tas besar berisi pakaian mereka bawa serta. Ia ingin menunjukkan ke semua tetangganya di kampung sana, bahwa tujuh tahun kepergiannya ke Jakarta tidaklah sia-sia. Ia dan keluarganya akan pulang kampung berlebaran sebagai orang kaya.

Kini kawasan kumuh itu hampir kosong. Malam gelap berangin kencang menyisakan sepi dan dingin yang menusuk tulang. Lima sosok manusia dengan sigap menyelinap mengendap-endap berpencar di kawasan itu, bergerak cepat seolah hapal segala sudut kawasan. Menjelang sahur, lima titik api terlihat di kawasan itu. Dalam waktu singkat api mulai membesar, meluas, dan melahap apa saja yang dilaluinya.

Penghuni yang tersisa berteriak ribut, lari lintang pukang sambil berusaha menyelamatkan apa saja yang bisa diraihnya. Saat matahari terbit di ufuk timur, perumahan kumuh itu telah rata dengan tanah, hancur luluh menyisakan kepulan asap di sana-sini.




Maghrib telah lama lewat ketika Samijo dan keluarganya menginjakkan kaki mereka di terminal Pulogadung. Terdorong rasa lelah di perjalanan dan keinginan untuk cepat-cepat beristirahat, mereka bergegas naik mikrolet menuju istana mereka di Ibukota. Di perjalanan, sebentar-sebentar senyum Samijo mengembang, masih terbayang betapa mulianya dia dan keluarganya di kampung halaman tempo hari. Semua orang di kampungnya selalu memandang hormat pada Orang Jakarta dan mengiyakan semua ceritanya. Samijo dan istrinya royal menjaga image mereka sebagai orang Jakarta. "Asal masih cukup untuk pulang ke Jakarta dan makan sehari-dua.", pesan Samijo pada istrinya.

Adzan Isya terdengar lamat-lamat ketika Samijo dan keluarganya turun dari Mikrolet. Samijo dan istrinya kaget melihat kawasan kumuh itu kini berpagar seng, gelap, dan sepi. Samijo dan keluarganya menyingkap pagar dan masuk ke dalam. Di keremangan lampu jalan, hati mereka tersentak dan beku melihat kawasan itu telah rata dengan tanah. Rumah yang telah dihuninya bertahun-tahun sirna dari pandangan mata. Istrinya seketika pingsan, kedua anaknya menangis menjerit-jerit. Kepala Samijo mendadak pening, pandangannya mulai gelap, dan dunia terasa berputar, semakin cepat, dan semakin cepat.

[+/-] Selengkapnya...

Pada Suatu Hari

Jumat, Mei 01, 2009

Kebo Ijo benar-benar sial sepanjang hari ini. Mulai dari bangun tidur sampai tengah hari seolah-olah tidak ada satupun di dunia ini yang bersahabat dengannya. Ia tak habis pikir, apa yang salah dengan dirinya. "Mungkin saja ini hari burukku.", katanya setengah berbisik.

Pagi tadi Kebo Ijo bangun tidur terlambat. Setelah mandi kucing dan pakai seragam, Kebo Ijo menyambar tas kerjanya. Handphone dan dompetnya buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Kebo Ijo sigap naik ojeg ke stasiun kereta api. Baru saja selesai bayar ojeg, datang kereta dari Bogor yang penuh sesak, tapi Kebo Ijo tak peduli, ia menyeruak masuk, tak bisa, akhirnya Kebo Ijo menggelantung di pintu. "Aku tak boleh terlambat sampai ke kantor!", tekatnya dalam hati.

Kereta api melaju cepat, tak peduli penumpang bergelantungan di pintu dan bertebaran di atap-atap gerbong. Menerobos dedaunan yang menjorok di pinggir-pinggir jalan kereta, melewati stasiun demi stasiun. Muka dan tubuh Kebo Ijo berkali-kali menyerempet dedaunan sepanjang rel. Tapi Kebo Ijo tabah.

Lama-lama penumpang mulai berkurang dan Kebo Ijo bisa masuk ke dalam, tapi di dalam kereta masih penuh orang. Udara di dalam kereta panas dan pengap. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Gesekan demi gesekan penumpang yang naik turun membuat baju Kebo ijo lecek, kumal dan bau.

Turun dari kereta, Kebo Ijo baru menyadari tasnya robek melintang terkena pisau silet, handphone dan dompet beserta seluruh isinya lenyap. Kebo Ijo lemas. Kini di sakunya tinggal tersisa uang delapan ribu perak. Tapi kesialannya tidak berhenti sampai disitu, Kebo Ijo ditangkap petugas penjaga pintu keluar karena tak berkarcis. Keluhannya karena kecopetan tak membuat petugas berbaik hati. Karena tak bisa membayar denda, Kebo Ijo disuruh membersihkan toilet dan menandatangani surat pernyataan.

Kebo Ijo naik Mikrolet menuju kantornya, penuh sesak juga. Tapi di tengah jalan penumpang habis, tinggal Kebo Ijo seorang. "Pindah aja ke mikrolet belakang, Bang. Mau muter nih. Bayar seribu aja.", kata Sopir Mikrolet sambil menghentikan kendaraannya. Kebo Ijo pun ganti Mikrolet. Demikianlah, pagi itu Kebo Ijo ganti Mikrolet tiga kali. Dan ia terlambat masuk kantor. Langkahnya gontai menuju ke ruang atasannya. Ia sudah berjanji.

"Kamu sendiri yang berjanji." Kata atasannya sembari memberikan Surat Peringatan Pertama pada Kebo Ijo. "Bila dalam waktu tiga bulan masih sering terlambat juga, dengan terpaksa mas Kebo harus saya pindahkan ke bagian administrasi.". Kebo Ijo tersentak. Itu berarti ia akan kehilangan penghasilan tambahan di lapangan yang jumlahnya lebih besar dari gaji bulanannya.

Takut bencana semakin menderanya, Kebo ijo berniat pulang. Ia ijin pulang lebih awal. Ia percaya hari baik dan hari buruk, maka ia berniat untuk diam saja di rumah sampai hari baiknya tiba. "Biarlah surat kehilangan aku urus besok saja di hari baik .", katanya pada dirinya sendiri.

Jam 13:00 tepat Kebo Ijo sudah berada di terminal, ia tak mau lagi naik kereta api, kapok. Terik matahari yang menyengat membuat Kebo Ijo ingin cepat-cepat mendapatkan bus, ia tak mau pilih-pilih, maka begitu bus PPD reguler lewat. Tanpa pikir panjang Kebo Ijo melangkah naik. Kali ini ia merasa beruntung, bus kosong. Dengan cekatan, Kebo Ijo duduk di kursi belakang Sopir. Hatinya lega.

Bis melaju pelan menyisir jalanan menjaring satu-dua penumpang. Bus masih jalan santai, dan Sopir bus mulai menyalakan rokok. Asapnya mengepul semakin lama semakin banyak. Kebo Ijo mulai terganggu. Sungguh, dia sendiri perokok, tetapi paling tidak suka menghirup asap rokok orang lain. Lama-lama Kebo Ijo tak tahan, bangkit berdiri dan duduk dua bangku ke belakang di pinggir jendela. "Aman.", pikirnya.

Penumpang mulai memenuhi bus, di sebelah Kebo Ijo kini duduk seorang perempuan membawa sebuah tas besar. Tas itu diletakkan di tengah kursi di antara mereka, "Maaf.", kata perempuan itu. Kebo Ijo tersenyum hambar.

Seorang laki-laki pendek, berkulit hitam, gendut, dan berbibir tebal naik dari arah pintu depan. Setelah melihat kesana-kemari, pandangannya tertuju pada bangku Kebo Ijo. "Permisi." Katanya minta duduk. Perempuan itu beringsut dan menarik tasnya ke pinggir. Laki-laki itu duduk di tengah, bibir tebalnya tersenyum pada Kebo Ijo, "Maaf.", katanya pendek. Kebo Ijo berusaha tersenyum. Begitu duduk, badan gendut laki-laki itu menghimpit badannya. Bau keringat penumpang baru yang seperti cuka busuk itu mulai menghantam hidungnya. Kebo Ijo bersabar. "Dasar Bibir Tebal", batinnya.jengkel.

Belum jauh bus berjalan, mata Si Bibir Tebal mulai meredup, meredup dan akhirnya terkatup. Kepalanya menunduk, Si Bibir Tebal mulai tertidur dan mulutnya mulai membuka. Bau nafasnya mulai memenuhi sekitarnya. Kebo Ijo melirik benci, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, bus telah penuh.

Bus memutar, dan mulai memasuki jalanan lurus. Sinar matahari yang mulai condong ke arah barat menimpa sisi bus tempat Kebo Ijo duduk. Angin yang menghembus dari jendela bus tidak banyak membantu meredam panas matahari yang menimpa wajah dan sebagian tubuh Kebo Ijo. Kebo Ijo mandi keringat, terhimpit, terpanggang, tersiksa.

Kepala si Bibir Tebal mulai miring, miring dan mendarat di pundak Kebo Ijo. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya. Kepala si Bibir Tebal kembali ke tempatnya semula. Tapi si Bibir Tebal tetap pulas, kepalanya masih menunduk. Ia mulai mendengkur, nafas baunya mulai ditemani liur yang menetes satu-satu.

Bus sudah melaju setengah perjalanan. Kepala si Bibir Tebal mulai miring lagi, semakin miring dan kembali mendarat di pundak Kebo Ijo. Bau nafas si Bibir Tebal melabrak hidungnya. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya, semakin keras. Kepala Si Bibir Tebalpun kembali ke tempatnya, semakin menunduk. Tapi si Bibir Tebal tetap saja pulas. "Dasar binatang!", batin Kebo Ijo meradang.

Tapi kepala si Bibir mulai miring kembali. Kebo Ijo memajukan tubuhnya untuk menghindari kepala si Bibir Tebal. Tanpa sandaran, tubuh si Bibir Tebal mulai ikut miring dan berada di atas punggung Kebo Ijo, tapi tidurnya sama sekali tidak terganggu. Kemiringan itu membuat bibirnya semakin terbuka dan liur di bibirnya menetes ke punggung Kebo Ijo yang berkeringat. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Pada tetesan kesepuluh, Kebo Ijo baru menyadarinya.

"Bangsat!" Teriaknya keras mengejutkan sopir dan semua penumpang.

Serta-merta Kebo Ijo bangkit dari tempat duduknya, tangan kirinya bergerak mencengkeram rambut si Bibir Tebal, tangan kanannya terayun bertubi-tubi memukul kepala si Bibir Tebal yang tersentak bangun dari tidurnya, kesakitan. Sopir menginjak rem, penumpang datang melerai. Tapi Kebo Ijo sudah kalap, matanya mendelik, mulutnya tak henti-hentinya mengumpat dan kedua tangannya mengayun ke kiri dan ke kanan memukul siapa saja yang datang. Kebo Ijo mengamuk membabi buta...

[+/-] Selengkapnya...