Maling Sakti

Sabtu, Juni 27, 2009

Ini kisah tentang Maling tradisional yang beroperasi di desa-desa semasa aku kecil. Ada yang maling semata-mata untuk bertahan hidup karena bisa jadi mereka malas bekerja, atau hanya untuk kareman (hobby), atau juga untuk menguji dan mencari ilmu kesaktian serta kekayaan.

Semua Maling jaman dulu itu pastilah orang yang sakti. Sudah berkali-kali aku melihat dengan mata kepala sendiri di masa lalu, bagaimana Maling yang tertangkap dipukuli, diinjak-injak, dan dijadikan bola sepak, namun tidak merasakan sakit apalagi mati sesudahnya. Malah kelihatannya mereka enjoy banget kalo dipukuli. Berdarah-darah dan berteriak kesakitan memang iya, itu sih wajar, tapi setelah si Maling cuci muka, maka dalam sekejap mata, semua luka akan tertutup dan pulih kembali seperti sedia kala, sungguh mirip debus saja.

Sebenarnya orang desa kami tahu benar, bahwa sesakti apapun Maling, pasti akan luntur kesaktiannya kalo disabet dengan daun Kelor, namun anehnya saat menangkap Maling tidak ada seorangpun yang menggunakan daun Kelor itu, mungkin karena memang daun Kelor itu termasuk barang langka di desaku atau bisa jadi para penduduk desa merasa kasihan, apalagi kalo Malingnya adalah Maling kambuhan yang hanya maling untuk hobby, sekedar menuruti jiwanya yang sakit.

Maling yang tertangkap selalu saja di waktu yang sama, yaitu sesaat menjelang subuh sekitar jam tiga atau empat pagi, atau di saat bedhug tengange, sekitar jam delapan atau sembilan pagi. Memang ada juga kok Maling yang beroperasi di pagi atau siang hari. Maling seperti itu disebut Nayap. Kata orang-orang tua, saat seperti itu memang saat pengapesan (sial) bagi seorang Maling, istilahnya kamanungsan (ketahuan mata manusia) karena sudah kesiangan.

Kalo ada Maling yang ketahuannya di waktu malam, hampir tidak pernah ada ceritanya Maling itu tertangkap walau dikejar kemanapun juga. Konon Maling yang sakti bisa merubah diri menjadi belut saat ketemu sungai, atau Maling itu bisa jadi memiliki Aji Sepi Angin yang bisa membuatnya bergerak secepat angin, atau bahkan ada juga Maling yang memiliki Aji Panglimunan yang membuatnya tak terlihat mata.

Namun demikian, sekali-kali Maling juga bisa ketanggor (kena batunya) kalo nekat beroperasi di rumah orang-orang sakti semisal Pak Bayan. Rumah Pak Bayan itu dipasangi Rajah Kalacakra (jimat berbentuk tulisan melingkar) yang membuat Maling kerjanya hanya keliling-keliling saja di dalam rumah seperti orang bingung.

Di desaku memang ada ronda malam, tetapi seperti yang terjadi dimana-mana, Maling itu selalu saja lebih pintar dari Peronda yang jumlahnya hanya sekitar tiga atau empat orang saja. Peronda biasanya berkeliling desa dari rumah ke rumah sekitar pukul satu malam sambil mengumpulkan beras jumputan (sejumput beras yang disediakan pemilik rumah) yang ditaruh di emperan (serambi) rumah. Beras itu akan ditampung dan dijual untuk mengisi kas Desa. Jarang sekali Peronda memergoki maling. Kalopun mereka menangkap Maling, itu karena yang punya rumah berteriak-teriak. Mungkin saja yang punya rumah nggak mempan disirep atau memang malingnya sudah kamanungsan.

Maling itu menggunakan berbagai cara untuk masuk ke rumah orang. Maling yang sakti juga tahu di malam apa dia harus bekerja agar memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Saat beroperasi, mula-mula si Maling Sakti akan merapal (membaca) mantra ilmu sirep dan menaburkan tanah kuburan ke atap rumah. Hal itu akan membuat semua penghuni rumah turu kepati (tertidur pulas seperti orang mati). Kalo dia kesulitan membongkar pintu atau jendela, ia akan mbabah (menggali) tanah, karena hampir semua lantai rumah di desa kami masih tanah juga. Baru deh dia akan leluasa masuk ke rumah. Kadangkala, Maling itu sempat juga makan sesuatu dari dapur karena kelaparan, kalo sudah begitu si Maling pasti buang hajat di dalam rumah juga, ini sudah merupakan hukum permalingan.

Barang-barang yang dicolong Maling itu antara lain sepeda, radio, uang, perhiasan, pakaian, atau ayam. Di desa kami itu, ayam memang biasanya tidur di dapur. Tapi kadang-kadang hewan ternak besar semisal kambing atau sapi pun bisa juga jadi sasaran.

Nah, Maling yang mampu mencuri hewan ternak besar semisal kerbau, sapi, atau kambing tanpa ketahuan itulah Maling yang dianggap bener-bener sakti. Betapa tidak, bagaimana caranya si Maling bisa menuntun hewan sebesar itu melintasi desa-desa di tengah malam tanpa ada yang curiga dan menghentikannya? Kabarnya Maling yang bisa mencuri hewan ternak besar memiliki aji Panglimunan atau memiliki Popok Wewe yang bisa membuatnya tak terlihat dan tak terdengar oleh manusia.

Yang mengerikan kalo ada Maling yang sedang mencari kesaktian atau kekayaan. Mereka mencari benda-benda untuk dijadikan jimat. Dan benda-benda itu hanya ada di orang yang sudah mati. Misalnya saja mereka mencuri kain kafan orang yang mati di hari Selasa atau Jumat Kliwon agar bisa menghilang saat memakainya sebagai selubung sebagaimana Harry Potter dengan kain ajaibnya. Atau bahkan juga memotong lidah orang yang mati di hari tertentu itu agar bisa jadi kaya raya.

Makanya kalo ada yang mati di hari-hari keramat itu pasti keluarga yang masih hidup jadi repot karena harus nungguin kuburannya selama tiga hari tiga malam. Yang lebih repot lagi kalo ada orang bergigi emas yang mati. Karena walaupun sudah diumumkan saat mau dikubur bahwa gigi emasnya telah dilepas, biasanya Maling Gigi Emas akan tetap menggali kuburan si mati. Wah pokoknya ribet banget deh. Lha iya, kalo matinya di hari keramat, tinggal ditungguin tiga hari tiga malam beres. Lha kalo yang mati bergigi emas, sampai kapan harus nungguin itu kuburan?


Tulisan Terkait :
>>> Senjata Sakti
>>> Gigi Emas


[+/-] Selengkapnya...

Kisah Kebon Suwung

Sabtu, Juni 20, 2009

Kebon Suwung adalah julukan bagi sebidang tanah tak berpenghuni yang terletak di tepi jalan menuju ke pasar di sebelah utara desaku, tak jelas siapa yang memilikinya. Kebon suwung itu memanjang sekitar dua ratus meter di kiri-kanan jalan tanpa pagar. Disebut Kebon Suwung (Kebon Kosong) karena selain tidak berpenghuni juga jauh dari rumah penduduk, sehingga keadaannya sepi, baik siang maupun malam. Kebun itu tidak ada yang mengelola sehingga hanya ditumbuhi pohon-pohonan laksana sebuah hutan kecil.

Dulu, kebon suwung itu terkenal angker sehingga orang tidak berani melewatinya sendirian di malam hari. Bukan takut dibegal (dirampok), tetapi takut memedi (hantu) penghuni Kebon Suwung yang punya hobi mengganggu orang itu. Konon memedi penghuni kebon suwung itu ada tiga; Jim Papringan (jin bambu), Memedhon, dan Glundhung Pringis.

Jim Papringan itu pekerjaannya merebahkan pohon-pohon bambu secara tiba-tiba untuk menghalangi jalan orang yang lewat, terutama orang yang bersepeda. "Krosaaakk", saat pohon bambu tiba-tiba rebah, pingsan pulalah orang yang sedang lewat disana. Kalo sudah pingsan, maka sadar-sadar orang itu akan terbangun di regol (pos ronda) kampung sebelah di pagi hari beserta sepedanya, tanpa tahu siapa yang mindahin. Penolaknya cuma satu, saat mau melewati Kebon Suwung itu orang harus permisi dulu. "Kula nuwun mbah, putune dherek langkung" (Permisi kakek, cucu numpang lewat) sambil membunyikan bel sepeda tiga kali. Dengan cara itu orang lewat dijamin lolos dari gangguan Jim Papringan.

Memedhon pekerjaannya menjelma dari sebentuk noktah putih di atas tanah menjadi sebentuk mahluk putih yang besar dan tinggi sekali dalam waktu singkat. Efeknya tidak sedahsyat rebahnya pohon bambu karena tanpa suara, tetapi orang akan dhengkelen (shock, terpaku, kaku tidak bisa bergerak) saat melihatnya, mau lari nggak bisa bergerak, mau berteriak tenggorokan rasanya kaku, akhirnya tanpa sadar kencing di celana. Orang yang melihat Memedhon akan sadar kembali setelah ditepuk bahunya oleh orang lain yang kebetulan lewat setelahnya. Lha kalo nggak ada orang lain yang lewat? Setelah beberapa waktu orang itu bisa sadar sendiri dalam keadaan menangis seperti bayi, aneh...

Memedi Glundhung Pringis itu pada dasarnya adalah sebentuk kepala manusia tanpa badan yang selalu meringis, namun Glundhung Pringis itu bisa menjelma menjadi apa saja sebelum menakut-nakuti orang; jadi buah durian, buah nangka, bola, bahkan bisa pula berujud ayam. Bedanya dengan kedua lelembut lainnya, Glundhung Pringis membawa rejeki bagi orang yang ditakutinya. Lho kok bisa? Nggak tau juga deh, tapi buktinya memang begitu kok. Coba simak cerita di bawah ini tentang si Glundhung Pringis.

Pernah pada suatu malam sekitar jam tiga dini hari. Seorang mbok Bakul (ibu-ibu pedagang) berangkat untuk belanja barang dagangan ke pasar sendirian dengan menggendong tenggok (bakul dari bambu) kosong. Sampai di Kebon Suwung, mbok Bakul itu melihat seekor pitik babon (ayam betina) di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang pitik babon itu segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam tenggok dengan harapan bisa dijual di pasar. Lama-kelamaan tenggok yang digendongnya makin terasa berat. Dengan penuh rasa heran, tenggok kemudian diturunkan untuk diperiksa. Di keremangan cahaya bulan, pitik babon yang tadi ditangkapnya itu ternyata telah berubah menjadi Memedi Glundhung Pringis (kepala orang yang sedang meringis), tentu saja mbok bakul itu jatuh pingsan. Namun setelah peristiwa itu, konon dagangannya laris bukan main.

Ada lagi kisah Blantik Wedhus (pedagang kambing) yang pulang dari kota Solo naik sepeda nemu durian di Kebon Suwung malam-malam. Durian dimasukkan ke keranjang tempat kambingnya. Jaman dulu Blantik kambing membawa bronjong (keranjang bambu) di boncengan belakang sebelah kiri dan kanan untuk memboncengkan kambing dagangannya. Sesampainya di rumah, durian di bronjong segera diambilnya, namun ditangan Blantik itu, mendadak durian berubah menjadi Glundhung Pringis. Langsung saja si Blantik pingsan. Namun setelah itu usahanya maju, dari blantik kambing bertambah blantik sapi dan singkat ceritanya, Blantik itu menjadi orang kaya.

Kembali ke Kebon Suwung, di masa itu tidak ada seorangpun yang berani tinggal disana. Pernah beberapa kali orang mendirikan rumah di sana. Walaupun sudah memberi sajen (persembahan) kepada lelembut dan didatangkan juga Modin (penghulu) untuk ngaji Yasinan, tapi penghuni rumah itu selalu saja sakit-sakitan ganti berganti bahkan tak jarang kesurupan (kerasukan), akhirnya mereka tidak betah dan pindah dari sana.

Keangkeran Kebon Suwung mulai sirna setelah seseorang menemukan sebuah arca di tengah kebon itu. Gara-gara ada yang mengatakan itu arca emas, maka sejak itu ramailah orang datang dari berbagai penjuru mencari arca lainnya. Mula-mula muncul isu, bahwa arca hanya bisa didapat dengan semedi (bertapa), maka ramailah orang duduk bertapa di bawah-bawah pepohonan. Tak mendapatkan apa-apa dari semedinya, orang mulai menggali-gali tanah, pohon-pohon banyak yang ditebangi, Kebon Suwung berubah jadi lapangan. Walaupun tidak lagi ditemukan arca, namun sejak itu Kebon Suwung telah terlanjur rame, banyak orang jualan sampai malam dan kalo sore rame pemuda main bola. Mungkin itu sebabnya ketiga lelembut penghuninya tidak lagi betah tinggal lama-lama di Kebon Suwung itu.

[+/-] Selengkapnya...

Arca Sapi Emas

Sabtu, Juni 13, 2009

Seluruh penduduk desa Baderan serta merta geger demi mendengar kabar bahwa mBah Jayeng menemukan sebuah arca sapi emas di kebon suwung selatan desa. Mbah Jayeng menemukan arca itu setelah bertapa di bawah pohon beringin yang berumur ratusan tahun di kebon itu selama tujuh hari tujuh malam. Mula-mula dua orang wartawan lokal dari Kabupaten mengunjungi rumah mBah Jayeng, tak lama kemudian berita penemuan arca sapi emas itu mulai tersebar ke seluruh pelosok Nusantara.

Kini rumah mBah Jayeng ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Petugas dinas purbakala Kabupaten datang meneliti, tapi pergi lagi tanpa berbuat apapun. Isu-isu tentang keajaiban arca mulai berkembang; arca hanya terlihat seperti arca tanah liat oleh Petugas Dinas Purbakala sehingga tidak jadi diambil, atau isu arca bisa menyembuhkan penyakit, mendatangkan rejeki dan jodoh, dan sebagainya dan sebagainya. Dikabarkan seorang Konglomerat yang sembuh dari sakitnya setelah melihat arca itu dibantu do'a mBah Jayeng, membangun jalan desa sebagai rasa terima kasih. Maka makin berbondong-bondonglah orang datang ke rumah mBah Jayeng di Baderan.

Arca sapi sebesar kaleng Coca-Cola berwarna kuning bermata batu permata merah itu diletakkan di atas meja di dalam rumah bambu mBah Jayeng. Di sebelahnya dinyalakan lampu minyak kelapa dan diletakkan semangkuk air bunga mawar. Bau kemenyan yang dibakar di bawah meja menimbulkan suasana mistis menghipnotis di keremangan rumah itu. Orang bergiliran satu per satu menonton arca emas itu. Tentu saja tidak gratis, mereka harus mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan dimasukkan ke dalam kotak amal, uang seribu rupiah sudah tidak laku lagi. Bagi yang ingin minta didoakan secara khusus kepada sapi itu oleh mBah Jayeng akan dipungut uang lima puluh ribu rupiah, tidak kurang.

Waktu terus berlalu, berita tentang arca sapi berkembang sampai ke sejarah terjadinya dikait-kaitkan dengan kerajaan dan tokoh sejarah masa silam. Pembahasan arca sapi emas secara historis maupun fiktif terus diada-adakan dan ditiup-tiupkan dengan gencar lewat surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet. Kisah serial arca sapi emas bahkan mulai diproduksi dalam bentuk komik, cerbung, cersil, maupun sandiwara radio.

Penduduk desa Baderan mulai kecipratan rejeki, ada yang jadi tukang parkir, penjual makanan, tukang sablon dan penjual kaos, baju, dan topi bergambar arca sapi, pembuat atau penjual souvenir arca sapi, dan juga pemandu ke tempat-tempat keramat seputar desa Baderan. Puluhan juta rupiah mengalir ke Baderan setiap harinya. Orang desa mulai merangkak kaya. Perekonomian mulai membaik. Setelah setahun berlalu, tidak ada lagi orang miskin di Baderan, setidaknya setiap rumah memiliki satu sepeda motor.

Desa Baderan mendapatkan perhatian khusus dari Pemda. Fasilitas umum, jalan raya, sarana transportasi, sekolah, dan pasar didirikan, diperbaiki atau dikembangkan dengan cepat seolah berpacu dengan derasnya propaganda di media masa. Penduduk dibina untuk mandiri, dan menjadi agen-agen perekonomian desa. Usaha Pemda tidak sia-sia, roda perekonomian mulai berputar kencang seiring berlalunya waktu. Kini Baderan dan sekitarnya telah menjadi daerah yang mandiri dan makmur.

Dua tahun berlalu sudah sejak arca emas ditemukan di Baderan. Kini arca emas sudah tidak lagi menarik perhatian orang, tapi desa Baderan dan sekitarnya sudah terlanjur maju dan mandiri secara ekonomi. Beberapa Konglomerat bahkan menanamkan usaha di bidang agribisnis di desa itu. Orang-orang yang datang ke Baderan kini tidak lagi berkeinginan untuk menonton arca emas itu tetapi untuk mencari kerja atau berbisnis.

Pagi itu Bapak Bupati membuka rapat koordinasi pembangunan ekonomi daerah di ruang rapat Kabupaten. Semua Pejabat Kabupaten, para Camat, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat, dan beberapa Konglomerat menghadiri rapat itu. "Seperti yang sudah kita rencanakan, kini Baderan dan sekitarnya telah menjadi kota mandiri.", sambut Pak Bupati. "Sekarang saatnya kita lakukan secara paralel di tiga desa yang sudah kita rencanakan sebagai sentra ekonomi Kabupaten kita. Kami mohon dukungan penuh semua pihak untuk kesuksesan program ini."

Demikianlah, beberapa hari kemudian ramai berita di surat kabar; ditemukan keris empu Gandring di Desa Banaran. Dan dua minggu kemudian, bintang jatuh di desa Argo Puro, batu meteoritnya masih menancap di tanah. Dan di bulan berikutnya, dilahirkan bayi ajaib yang sudah bisa mengaji dan meramal di desa Tawang Rejo. Wartawan lokal berdatangan, Petugas Dinas Purbakala datang dan pergi lagi. Isu-isu ajaib mulai bertiup, berkembang, dan terus berkembang. Orang-orang dari seluruh Nusantara mulai berbondong-bondong mengunjungi lokasi, fasilitas umum mulai dibangun, penduduk mulai dibina, dan Konglomerat mulai menanamkan modalnya.....

[+/-] Selengkapnya...

Bocah mBeling

Sabtu, Juni 06, 2009

Anak-anak itu memang seperti kain yang putih. Bisa jadi kotor kalo diletakkan di tempat yang kotor dan juga akan tetap bersih apabila diletakkan di tempat yang bersih. Itu tak lain karena anak-anak itu selalu saja memiliki kebiasaan untuk meniru tindakan orang lain yang membuatnya tertarik, perbuatan baik atau tidak baik. Anak-anak memang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalaupun sudah bisa membedakannyapun, biasanya lingkunganlah yang berperan.

Begitu juga denganku dan teman-temanku semasa kecil. Kami memandang dan meniru sesuatu itu tergantung dari lingkungan dimana kami berada. Di lingkungan orang-orang yang baik, kami akan meniru yang baik-baik. Sebaliknya, mudah sekali kami meniru yang buruk-buruk setelah berada di lingkungan orang-orang yang berkelakuan buruk pula seperti yang akan aku tuturkan di bawah ini.

Berjudi menggunakan kartu adalah hal yang biasa kami temui di tempat orang hajatan. Jadi, keesokan harinya, aku dan teman-temanku akan mengumpulkan bekas kartu remi atau domino untuk kami pakai "berjudi" di bawah barongan (rumpun bambu) atau di tempat tersembunyi lainnya. Seperti orang-orang dewasa, kami juga "berjudi" memakai uang beneran lho. Kalah judi sih bukan masalah besar bagi kami, yang paling apes (sial) itu ya kalo lagi gayeng (sedang ramai-ramainya) main judi lalu kepergok Bapak-bapak kami. Hukumannya tak lain dan tak bukan ya disuruh baris dan disabeti penjalin (dipukuli rotan). "Sing mbok tiru ki sapa ta leeee? Arep dha dadi bajingan apa piye, he? -- Yang kalian tiru itu siapa sih naakkkk? Mau jadi Bajingan apa?--" Selepas disabeti penjalin, biasanya kami akan kapok, tapi kapok Lombok. Kapok Lombok itu ya kapoknya kalo lagi dihukum. Besok-besoknya, kalo ada orang hajatan lagi, ya ngumpulin kartu lagi, dan tentu saja "judi" lagi di bawah barongan.

Kalo aku dan teman-temanku menonton orang-orang yang berjoget sambil mabok saat pentas ndangdutan, maka minum Ciu (sejenis minuman keras dibuat dari fermentasi tebu yang efek maboknya jauh lebih dahsyat dibanding Wisky) juga kami anggap sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru. Soalnya kami ini takut bener pada orang mabok, jadi kami menganggap orang mabok itu hebat. Besoknya kami biasanya akan patungan untuk membeli Ciu, kalo ditanya yang jual, kami bilang disuruh Kakek untuk jamu. Orang-orang tua di desaku memang biasa minum Ciu untuk menjaga kesehatan, aneh ya? Ciu itu kami minum beramai-ramai di kebon pohung (kebun ketela pohon) yang rimbun di pinggir desa. Walaupun tanpa iringan musik dangdut, minum Ciu itu ternyata asyik juga kok. Nah kalo sudah mabok, kami akan tertidur sampai sore. Bangun-bangun kepala terasa pusing dan berat. Kamu tahu nggak bagaimana rasanya mabok? Kalo sudah mabok, kepala rasanya ringaaann banget, tapi semua benda di sekeliling kita terasa berputar. Asyik memang. Namun ya itu, setiap kali mencoba jalan pasti roboh. Kalo sudah mabok terlalu berat, maka sebelum tertidur pasti ada acara muntah-muntah, "Hoooeeekkk...hooeekkk!!!" Bersamaan dengan itu, dari mulut-mulut kecil yang celaka itu juga meluncur ringan pisuhan (umpatan) orang mabok.

Yang paling konyol adalah pengalamanku merokok untuk pertama kalinya di suatu siang di hari Lebaran. Aku dan dua temanku mula-mula mencuri rokok Klobot (rokok yang bungkusnya dari daun jagung) isi tiga batang dari pancenan (sesajen) di malam Lebaran di rumah kakekku. Siangnya, kami mencari tempat persembunyian untuk merokok. Setelah berputar-putar, akhirnya kami masuk ke dalam sebuah drum kayu bekas merendam kedelai untuk membuat Tahu di belakang rumah kakekku. Beberapa saat kemudian, kami bertigapun asyik-masyuk menghisap rokok Klobot itu diam-diam, walaupun terasa gatal di leher, kami berusaha keras untuk tidak batuk agar tetap aman. Bodohnya, kami tidak pernah berpikir bahwa dari jauh, drum kayu itu tentu saja kelihatan kemedus (berasap) seperti puncak merapi yang mau meletus. Maka belum sempat habis satu batang, dengan cepat kamipun ketahuan Kakekku. Seperti yang sudah-sudah, hukumannya adalah berbaris dan disabeti penjalin. "Sing mbok tiru ki sapa ta leeee? Arep dha dadi bajingan apa piye, he? -- Yang kalian tiru itu siapa sih naakkkk? Mau jadi penjahat apa?--" Coba tebak, sehabis disabeti penjalin, kami kapok lombok atau kapok beneran?

[+/-] Selengkapnya...