Boneka Barbie untuk si Adik

Kamis, Agustus 27, 2009

Hari masih pagi ketika hujan rintik-rintik mengguyur Jakarta. Sinar mentari pagi redup tertutup mendung, seredup hati Sontoloyo yang gundah gulana, bingung, dan marah. Kalender baru menapakkan kakinya di angka sebelas tadi malam, dan di sakunya tinggal tersisa uang tujuh puluh enam ribu rupiah, tidak kurang dan tidak lebih.

Sebelum berangkat kantor pagi tadi, anak perempuannya yang berulang tahun hari ini kembali menagih janjinya untuk membelikan sebuah boneka Barbie yang pandai menyanyi dan menari yang pernah dilihatnya di Mall sejak dua setengah tahun yang lalu. Janji yang selalu tertunda-tunda dari tahun ke tahun.

Sontoloyo tersenyum pahit, ia berjongkok, mengusap kepala anaknya, memeluknya, dan berulang kali mencium kedua pipi sang buah hati. "Bapak berjanji akan membawakan Adik sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari malam ini.", Sontoloyo berkata getir sambil kembali memeluk dan menciumi kedua pipi si bungsu. Sang anak berjingkrak kegirangan, berlari-lari melapor neneknya di dapur.

Sesungguhnya, hampir setiap saat Sontoloyo berduka memikirkan kehidupannya yang tak juga beranjak dari garis merah selama bertahun-tahun lamanya. Pikirannya bingung, tak tahu bagaimana cara merubah kehidupannya. Hatinya marah pada ketidakmampuannya dalam menjamin perekonomian keluarga. Sungguh, ia dan istrinya bekerja sebagaimana orang lain bekerja, namun penghasilan mereka yang pas-pasan dan bahkan seringkali minus, semakin memperberat beban kehidupan mereka dari bulan ke bulan.

Turun dari bus, Sontoloyo ragu. Ia ingat, hari ini ia harus bayar arisan sebesar lima puluh ribu rupiah. Bila digunakan untuk membayar arisan itu, dan ternyata tidak menang, maka ia tak akan lagi punya ongkos untuk transport bekerja sampai akhir bulan. Sontoloyo sudah berhutang pada semua teman kantornya, maka tak mungkin lagi ia menambah kuota. Kegundahan jiwanya, kebingungan pikirannya, dan kemarahan hatinya kini mencapai puncaknya. Seiring dengan keputusasaannya, sebersit bisikan dari neraka membelokkan langkah Sontoloyo menjauh dari kantornya.

Langkah Sontoloyo terhenti menjelang pasar. Perhatiannya terpusat pada sebuah toko grosiran di seberang Kelurahan yang ramai dikunjungi pembeli, tak ada tukang parkir di toko itu. Dengan cepat Sontoloyo mengamati dan mempelajari lingkungan sekelilingnya. Sontoloyo segera mengambil posisi, berdiri di depan toko layaknya tukang parkir, menurunkan posisi topinya dan memperbaiki kaca mata hitamnya, menanti kesempatan.

Sebuah Revo model terbaru berhenti persis di samping Sontoloyo. Dengan masih mengenakan helm, pengendaranya bergegas turun dan setengah berlari menuju toko, tanpa mematikan motor. Seperti ikan kelaparan melihat umpan, Sontoloyo bergerak secepat angin. Dalam sekejap ia sudah duduk di atas Revo model terbaru itu.

"Kena lu!", batin Sontoloyo saat motor itu berada dalam cengkeramannya. Dengan cepat motor dikebut menjauhi pasar, ia tahu betul harus pergi kemana. Di benaknya sudah terbayang uang satu juta lima ratus ribu rupiah dalam genggaman. Hari ini Ia akan membelikan sang buah hatinya sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari. Boneka yang akan menjadi kebanggaan anaknya dan belum pernah seorang anakpun di lingkungannya yang memilikinya.

"Maling! Maling! Maling!", teriakan orang ramai bersahut-sahutan, berestafet, dan memancing berbagai reaksi orang di sepanjang jalan untuk menghentikan Sontoloyo.

"Bluggg!". Sebuah lemparan batu sebesar kepalan tangan mendarat keras di punggung Sontoloyo. Keseimbangannya hilang, laju motor yang dikendarainya oleng. Sontoloyo terjungkal mencium aspal. Dan dalam sekejap tubuhnya diterjang tendangan dan pukulan orang ramai.




Sementara itu di kantor, segenap rekan kerja Sontoloyo menggerutu menunggu kedatangannya, hanya Sontoloyo seorang yang sampai tengah hari belum juga kelihatan batang hidungnya untuk setor uang arisan. Pada hari seperti itu, memperoleh kepastian siapa yang mendapatkan arisan adalah lebih penting daripada ketemu Presiden. Bagi yang menang arisan, serta-merta nafasnya akan menjadi panjang, dan bagi yang tidak menang arisan akan segera tahu kepada siapa harus mengajukan injury time sampai hari gajian tiba.

"Biarlah aku yang nombokin dulu.", suara Jeng Susy sang bandar arisan memecah kebekuan suasana.

"Tapi ingat ya, kalo Sontoloyo yang menang, arisannya buat aku duluan." lanjut Jeng Susy penuh harap, ia juga belum menang arisan sampai saat ini. Semua Peserta setuju, mereka pasrah karena tidak satu orangpun yang berani mengambil resiko itu. Ya kalo Sontoloyo menang arisan hari ini, kalo tidak, bisa rugi besar, ibarat tertusuk gunting, luka di dua tempat. Sudah menjadi rahasia umum adanya, bahwa uang yang sudah dipinjamkan ke Sontoloyo susah ditagih kembali.

Dan siang hari itu, Sontoloyo benar-benar memenangkan arisan sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah, tunai!

[+/-] Selengkapnya...

Sayembara

Sabtu, Agustus 22, 2009

Mau tidak mau, denmas Guscul harus berlapang dada kehilangan segalanya; ya hartanya, ya harga dirinya, dan mungkin juga pendukungnya. Kekalahannya dalam pemilihan Bupati di Pilkada tahun ini menyisakan puing-puing kebanggaan dan rasa percaya dirinya sebagai seorang calon Bupati. Walaupun pada awalnya denmas Guscul sudah meniatkan dengan sepenuh hati untuk siap kalah, namun tak urung kekalahannya itu membuat dirinya kecewa lahir dan batin. Tapi ia tak tahu harus kecewa pada siapa, kepada partai yang mengusungnya, kepada team suksesnya, kepada para dukunnya, kepada para pendukungnya, atau kepada negerinya.

Denmas Guscul memeras otak, memikirkan cara mengembalikan harta kekayaannya yang hampir kering untuk dana kampanye dan tetek bengeknya. Ia memang memiliki beberapa perusahaan kecil dan menengah, tetapi dengan kondisi perekonomian yang kurang kondusif saat ini, maka adalah hal yang sudah cukup baik, apabila perusahaannya itu bisa sekedar bertahan hidup.

Hari itu seluruh anggota keluarga dikumpulkan, istrinya yang asli perempuan Jerman, dan empat anaknya yang semuanya sekolah di Amrik diajak berunding bagaimana memperbaiki perekonomian keluarga. Semua pendapat dan ide mengalir dari otak cemerlang keluarga denmas Guscul, mulai dari ide curang sampai ide halal untuk jangka pendek mapupun jangka panjang, semuanya ditumpahkan dalam diskusi keluarga hari itu. Tapi dari pagi sampai menjelang subuh, tak satupun ide yang berhasil melewati uji kelayakan untuk dijalankan, semuanya beresiko tinggi atau membutuhkan modal yang tidak sedikit. Semua orang terpekur diam mencari ilham. Tiba-tiba Rara Cublak, putri tertua denmas Guscul yang kuliah di UCLA angkat bicara, "Adakan Sayembara Berhadiah!". Dan semua orang yang kelelahan itu terhenyak, seperti bangun dari mimpi.

Setelah persiapan sebulan lamanya, sayembara itupun diumumkan ke seluruh penjuru negeri, bahkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai media. Sayembara menjawab sebuah pertanyaan berhadiah seorang putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk dijadikan istri!

Syaratnya mudah saja, berlaku untuk semua orang dari berbagai bangsa yang sudah cukup umur dan cukup duit, tak peduli perjaka, duda, maupun yang sudah menikah. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 500.000,- atau USD 50. Uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun. Mengisi formulir pendaftaran, dan selanjutnya tinggal menjawab sebuah pertanyaan yang dikirimkan melalui surat atau email. Ya, hanya sebuah pertanyaan saja! Dan yang terakhir, keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Dan para jurinya tak tanggung-tanggung, mereka adalah sepuluh Profesor ternama dari berbagai disiplin ilmu dari dalam dan luar negeri.

Profil Rara Cublak pun beredar dimana-mana; di koran, di majalah, di tv, di radio, dan di internet. Mulai dari profil yang berupa text, foto, sampai video tersedia. Di website resmi sayembara itu bahkan tersedia layanan live chatting dengan Rara Cublak pada jam-jam tertentu. Tentu saja, Rara Cublak pasang aksi elegan dan berusaha semaksimal mungkin untuk menaklukkan hati semua lelaki yang chatting dengannya. Ia ingin membuat kesan, bahwa Rara Cublak adalah perempuan yang nilainya jauh melebihi nilai uang sebesar USD 50 dan sebuah pertanyaan sederhana. Rara Cublak adalah perempuan yang pantas menjadi istri yang baik, seimbang, penyayang, penuh perhatian, penuh cinta, penuh kehangatan, dan kesetiaan.

Karena hal ihwal mengenai sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu tidak tercantum dalam undang-undang, maka setelah melalui perdebatan yang ramai dan alot, akhirnya malah tak diperlukan ijin dari Depsos. Salah satu penyebabnya adalah, karena tidak mungkin menyerahkan hadiahnya ke depsos apabila hadiah tidak diambil atau tidak ada pemenangnya. Tapi tak urung masalah sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu menjadi agenda DPR untuk membahas perlu tidaknya dimasukkan ke undang-undang penyelenggaraan sayembara berhadiah.

Dalam waktu singkat, peserta sayembara dari berbagai penjuru dunia membludak. Mula-mula satu-dua orang saja, kemudian puluhan, kemudian ratusan, kemudian ribuan, kemudian puluhan dan ratusan ribu. Memasuki bulan ketiga, angkanya sudah menyentuh jutaan laki-laki dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia yang mendaftarkan diri. Bahkan ada juga yang mengikuti sayembara itu lebih dari satu kali pendaftaran, dan itu tidak dilarang. Telepon Contact Center panitia sayembara berdering tiada henti 24 jam sehari, 7 hari seminggu, bahkan bandwidth website sayembara itu harus ditambahkan secara berkala karena mulai kehabisan bandwidth setiap tiga hari sekali. Bersamaan dengan itu, uang mulai mengalir tiada henti ke rekening denmas Guscul. Dalam waktu 70 hari, 20 hari sebelum sayembara ditutup, jumlahnya telah jauh melampaui harta bendanya yang lenyap ditelan pilkada dan bisa jadi telah melampaui kekayaan Bill Gates!

Protes para istri dari seluruh penjuru dunia mengalir deras, menuntut agar sayembara tidak boleh diikuti oleh laki-laki yang sudah beristri. Denmas Guscul mencoba mengulur waktu dengan perdebatan kusir di forum selama berhari-hari dengan dalih yang dibuat-buat, seperti misalnya hak asasi setiap orang untuk mengikuti sayembara apa saja di dunia ini. Tujuannya hanya satu, ia akan menerapkan tuntutan para istri itu sehari dua hari menjelang penutupan sayembara. Dan dengan demikian, ia akan diuntungkan dengan uang pendaftaran dari peserta sayembara yang sudah beristri, uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun.

Begitu sayembara ditutup, team korespondensi bekerja cepat mengirimkan surat penjelasan terhadap kesalahan jawaban dari setiap Peserta. Surat tersebut dicetak dalam format yang sama dan ditandatangani secara manual oleh para Profesor, kemudian dikirim balik ke Peserta melalui email dalam bentuk certified scan atau pos. Ucapan terima kasih dan foto Rara Cublak yang tersenyum manis dicantumkan di akhir surat.

Ketika surat terakhir dikirimkan ke Peserta, keluarga denmas Guscul pesta syukuran. Harta benda mereka telah kembali berlipat ganda tanpa harus mengorbankan putrinya untuk dinikahkan dengan pria tak dikenal melalui sayembara.

Sementara itu, semua peserta membaca komentar atas jawaban mereka tanpa bisa membantah, selain jawabannya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang sempurna, juga karena keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Yang ikut satu kali mendapatkan jawabannya keliru, yang ikut dua kali atau lebih juga mendapatkan jawabannya keliru. Penjelasan dari sepuluh profesor ternama secara ilmiah tak terbantahkan, tak ada yang menjawab benar atas pertanyaan, mana yang lebih dulu diciptakan Tuhan, ayam atau telor? dan tidak ada seorangpun yang jawabannya benar, apapun itu jawabannya.


Tulisan Terkait :
>>> Kampanye



[+/-] Selengkapnya...

Si Bayangan Hitam

Sabtu, Agustus 15, 2009

Wuuussshhh! Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, berzigzag mendahului motor Wa'ong dari sisi kiri. Sedikit lagi, maka si Bayangan Hitam itu akan menyerempet si Dawuk, motor kesayangan Wa'ong. "Diamput!", umpat Wa'ong kaget. Ia dapat memprediksi kecepatan si Bayangan Hitam itu sekitar 100 km per jam, 40 kilometer di atas kecepatannya saat ini. Merasa kesal, Wa'ong segera tancap gas mengejar si Bayangan Hitam yang tidak punya sopan santun itu. Begitu dekat, Wa'ong terkesiap ketika mengetahui bahwa si Bayangan Hitam itu adalah seorang perempuan!

Perempuan hitam itu memang benar-benar hitam segala-galanya. Motornya matic hitam. Jaketnya hitam. Celananya hitam. Sepatunya hitam. Sarung tangannya hitam. Helm dan kacanya hitam. Rambutnya yang lurus melambai ditiup angin itu juga hitam. Wa'ong jadi panas hatinya. Ia merasa, bahwa yang berhak mengenakan atribut hitam-hitam itu sebenar-benarnya ya cuma dirinya di sepanjang jalan Parung-Cinere-Pondok Labu-Fatmawati. Bukankah dia dikenal dengan julukan Black Widow Lover? Ketua organisasi The Black Fire and Clouds Bikers Community?

Seperti tahu kalo dibuntuti, si Bayangan Hitam mempercepat laju motornya di tengah arus lalu lintas yang mulai menggeliat ramai pagi itu. Zig-zagnya yang semakin menggila membuat hati Wa'ong tambah panas. Si Dawuk, motor tua terbitan tahun 98 yang setia menemaninya sejak kuliah itu tambah digenjot sejadi-jadinya, namun tak juga mampu mengejar si Bayangan Hitam. Sebagai Biker berpengalaman, Wa'ong tak mau terpancing ugal-ugalan. Menjelang tikungan setan memasuki jalan lurus Cinere, Wa'ong melambatkan kendaraannya. Dan si Bayangan Hitam menghilang di tengah keramaian lalu lintas pagi itu.

Sudah sebulan ini Wa'ong mengambil jalan Parung-Cinere sebagai alternatif pengganti jalan Mampang-Pondok Labu yang rusak parah. Dan tiga minggu belakangan, bayangan hitam itu selalu membalap motornya dari arah kiri dengan kecepatan tinggi selepas pertigaan Parung Bingung. Wa'ong benar-benar penasaran. Tak pernah si Dawuk mengecewakannya selama ini. Motor tuanya itu sudah dimodifikasi sedemkian rupa agar dapat berlari kencang dan lincah, namun sudah tiga minggu ini, si Dawuk tak juga bisa mengejar si Bayangan Hitam itu.

Pagi itu Wa'ong mengedarai si Dawuk dengan santai, ia bertekat tak lagi mau terpancing si Bayangan Hitam. Namun ia heran karena sudah jauh melewati tikungan Parung Bingung tapi si Bayangan Hitam tak juga datang membalap dirinya. Di saat hatinya bingung bertanya-tanya, tiba-tiba ia melihat si Bayangan Hitam sedang jongkok di sisi motornya di pinggir jalan, kaca helmnya terbuka menampakkan wajah elok si Bayangan Hitam yang bertolak belakang dengan penampilannya yang serba hitam. Terdorong oleh jiwa kesetiakawanan sesama Biker, Wa'ong segera menepikan motornya.

"Kenapa mbak?", tanya Wa'ong sopan, padahal hatinya meronta antara rasa penasaran, senang, dan penuh harap.

"Nggak tahu nih mas, tau-tau mati aja nih motor.", jawab si Bayangan Hitam menatap Wa'ong dengan wajah sedih.

Deg! jantung Wa'ong berdesir saat mata belok si Bayangan Hitam yang bening sejuk bak air sungai pegunungan itu sayu menatap mata merahnya. Maka tanpa banyak bicara, Wa'ong segera turun tangan. Dasar Biker kawakan, sebentar saja motor si Bayangan Hitam hidup kembali.

"Terima kasih ya mas.", senyum si Bayangan Hitam yang sudah melepas helmnya.

Tiba-tiba sebuah ciuman lembut mendarat di pipi Wa'ong. Bersamaan dengan itu Wa'ong terbangun. "Diamput!", umpat Wa'ong menyesali mimpinya yang terputus.

Begitulah, sudah lima malam berturut-turut Wa'ong selalu memimpikan si Bayangan Hitam. Anehnya mimpi Wa'ong seperti untaian kisah. Mimpi kenalan, jalan-jalan, dan kemudian pacaran. Dan seperti yang sudah-sudah, begitu sebuah ciuman mendarat di pipinya, Wa'ong tergagap, bangun, dan secara otomatis mulutnya mengumpat, "Diamput!".

Wa'ong kini bingung. Wajahnya kuyu dan pikirannya kusut. Di pagi hari ia selalu gagal mengejar si Bayangan Hitam. Tapi di malam harinya, di dunia mimpi, mereka sudah sedemikian akrab layaknya berpacaran. Wa'ong bagai mengejar bayangannya sendiri. Sedemikian dekat, tetapi tak bisa dipegang.

Hari Minggu pagi itu, Wa'ong bergerak mencari informasi si Bayangan Hitam. Iseng-iseng ia makan bubur ayam yang mangkal di dekat tikungan Parung Bingung. Semalam adalah mimpi terindahnya dengan si Bayangan Hitam. Wa'ong dan si Bayangan Hitam berjanji akan sehidup semati selamanya.

"Bang, kenal perempuan hitam-hitam yang suka naik motor lewat sini pagi-pagi nggak?", tanya Wa'ong sambil menikmati semangkuk bubur ayam lezat yang masih hangat.

"Maksudnya perempuan yang pakai matic hitam?", tanya Tukang Bubur terkejut.

"Iya, kenapa Bang?", tanya Wa'ong tak sabaran sambil menyebutkan sebuah nama, nama si Bayangan Hitam.

"O, perempuan itu tinggal di kampung belakang situ mas. Tapi dia sudah meninggal karena kecelakaan di tikungan situ satu setengah bulan yang lalu, ketabrak motor lain yang lagi balapan.", Tukang Bubur itu memberikan penjelasan panjang lebar.

"Sayang mas, padahal ia masih muda, masih perawan, dan cantik lagi.", lanjut Tukang Bubur sambil memberikan air minum ke Wa'ong.

Wa'ong terpana, seketika nafsu makannya hilang dan jantungnya berdetak kencang. Ia teringat pada janjinya untuk sehidup semati dengan si Bayangan Hitam itu semalam.


Tulisan Terkait :

>>> Wa'ong



[+/-] Selengkapnya...

Pakdhe Koplo

Sabtu, Agustus 08, 2009

Orang itu kalo lagi beruntung tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, kreditnya sebesar lima puluh juta rupiah telah disetujui dan bisa segera diambil kalo transfer gajinya sudah terbukti masuk ke rekening bank itu. Ditambah lagi berita anak sulungnya lolos PMDK di Fakultas Teknik Sipil UNS. Dan yang paling membahagiakannya adalah ia memiliki pacar baru yang sungguh cantik jelita bak bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan pakdhe Koplo.

Pacar baru? Tidak salah! Walaupun Pakdhe Koplo telah menikah dan memiliki empat orang anak, namun ia adalah seorang penggemar berat daun muda. Dan untuk urusan yang satu itu pakdhe Koplo berani bersaing dengan siapa saja, dan ia rela berkorban apa saja untuk memenangkan persaingan itu. Konon, Pakdhe Koplo hapal benar berbagai macam tipe perempuan dan bagaimana menaklukkannya. Tidak hanya sekali dua kali kelakuan buruknya itu mengakibatkan ia didamprat istrinya yang super galak. Tapi Pakdhe Koplo punya ilmu topeng sakti. Dengan ilmu topengnya itu, Pakdhe Koplo bisa berpura-pura menyesal, sedih, menangis meraung-raung menciumi telapak kaki istrinya, dan melolong-lolong meminta ampun berhari-hari sampai hati istrinya luluh. Namun itu tidak lama, beberapa minggu kemudian, hobinya lirak-lirik daun muda itu akan kambuh lagi secara otomatis.

Sudah sebulan ini Pakdhe Koplo berteman dengan seorang perempuan jelita yang dikenalnya di stasiun Gambir. Tidaklah perlu diceritakan bagaimana mereka berkenalan, itu rahasia pakdhe Koplo yang tidak bisa dimengerti sembarang orang. Intinya, pakdhe Koplo kini mabuk kepayang terkena panah asmara si jelita. Bahkan pakdhe Koplo sudah berani apel ke rumah kos si Jelita sepulang kerja. Tentu saja, kata lembur, meeting, macet, dan sejenisnya menjadi pelindung setianya dari kecurigaan istrinya.

Sebagaimana layaknya orang yang sedang jatuh cinta, pakdhe Koplo sekonyong-konyong menjadi buta, tuli, dan dungu. Hanya saja tangannya semakin mahir berkelana, dan bibirnya lincah membual sana-sini mengobral janji dan berkata-bersyair elok mengalahkan cipta karya para Pujangga. Tapi siapa yang butuh syair? Pacaran itu ya butuhnya duit! Tak urung, pelan dan pasti isi kantong dan tabungan pakdhe Koplopun terkuras. Bagi pakdhe Koplo, uang habis tidaklah masalah, yang penting ia bisa berdekat-dekatan dengan si Jelita. Jer Basuki Mawa Bea, kata orang Jawa, keberhasilan memerlukan pengorbanan.

Si Jelita memang piawi bermain api. Kadang ia jinak bagai merpati, kadang ganas melilit bagai naga, dan kadang manja bagai anak babi. Ia permainkan hati pakdhe Koplo sampai batas kekuatannya, tarik-ulur, tarik-ulur, dan tarik-ulur. si Jelita bermain cantik, boleh pandang dan sedikit pegang, begitu aturan mainnya. Dan hanya itu! Sikap si Jelita membuat pakdhe Koplo semakin terengah-engah, penasaran dan tergila-gila, tapi ia tak mampu berbuat banyak. Akibatnya mulut pakdhe Koplo semakin ringan mengucap janji mengobral bualan, jiwa-raganyapun kian jauh meninggalkan keluarganya.

Akhirnya hari yang paling ditunggu-tunggu Pakdhe Koplo tiba: mencairkan uang pinjaman di Bank. Pagi-pagi betul Si Jelita telah dijemput untuk menemaninya akad kredit, bukan istrinya. Di depan petugas Bank ia akui si Jelita sebagai istrinya. Sret-sret, tanda tangan akad kredit dengan cepat dilakukan, dan lima puluh juta rupiahpun segera memenuhi tas si Jelita.

"Kamu yang bawa, untuk pantes-pantesnya.", kata Pakdhe Koplo genit mengedipkan sebelah matanya pada si Jelita.

Senyum mengembang di bibir sejoli haram itu. Bukannya pulang ke rumah atau menyetor uangnya ke Bank, Pakdhe Koplo malah belanja seharian. Di akhir hari, sepuluh juta rupiah bablas menjadi gelang, kalung, cincin, anting, dan jam tangan untuk si Jelita. Ciuman kecil yang mendarat di pipi kiri-kanan Pakdhe Koplo membuatnya semakin dungu. Akhirnya acara diteruskan dengan pulang ke kost si Jelita.

"Minum dulu mas", si Jelita tersenyum manis menyuguhkan sirup dingin untuk pakdhe Koplo.

Pakdhe Koplo tersenyum bahagia. Dalam hitungan detik, segelas sirup itu mengalir, membasahi, dan menyegarkan kerongkongannya yang kering...



Suara adzan subuh membangunkan pakdhe Koplo. Gelap gulita. Kepalanya berdenyut, sakit dan pusing. Limbung pakdhe Koplo bangun dari sofa, langkahnya tertatih, tangannya menggapai-gapai mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, ia dapatkan jam dinding menunjukkan pukul 4:40 pagi. Rasa kagetnya membuat kesadaran dan kekuatannya kembali. Ia segera bergegas mencari si Jelita di dalam rumah, di luar rumah, di jalan-jalan, di kebun-kebun, tapi ia tidak menemukan jejak si Jelita, tidak juga tasnya. Hati pakdhe Koplo tercekat. Bayangan uang lima puluh juta rupiah dan si Jelita silih berganti memenuhi batok kepalanya. Bayangan itu berganti dengan cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Pakdhe Koplo pingsan untuk kedua kalinya.

Pembaca yang budiman, Orang itu kalo sedang sial tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, selama lima tahun kedepan ia harus mencicil hutangnya ke Bank tiap bulan, hutang yang tak sepeserpun dinikmatinya. Belum lagi Pakdhe Koplo harus berusaha keras membayar uang kuliah anaknya yang diterima di Fakultas Teknik Sipil UNS. Pakdhe Koplo juga harus menghadapi amukan istrinya yang pasti marah besar. Dan yang paling menyedihkan adalah, hari ini Pakdhe Koplo telah kehilangan si Jelita yang perwujudannya bagaikan Bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kesengsaraan pakdhe Koplo.

[+/-] Selengkapnya...

Biduan Pujaan

Sabtu, Agustus 01, 2009

Konon, kata sahibul hikayat, hanya ada dua waktu yang paling disukai para Karyawan. Yang pertama adalah waktu gajian, dan yang kedua adalah waktu pulang kerja. Namun bagi Gambleh, pulang kerja tepat pada waktunya bukanlah hal yang favorit, setidak-tidaknya dalam dua pekan terakhir ini. Di saat rekan-rekannya sibuk ngantri di depan mesin absen sidik jari 10 menit sebelum jam kerja berakhir, Gambleh masih saja memelototi komputer di meja kerjanya. Ia baru akan pulang satu jam setelah jam kerja berakhir. Gambleh sama sekali tidak bermaksud untuk lembur, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang kantor.

Karena statusnya yang seorang jomblo kesepian, maka tak ada barang sesuatupun di dunia ini yang bisa melarang Gambleh keluyuran sepulang kerja. Biasanya, Gambleh akan keluyuran di Mall-mall dengan maksud yang sebenar-benarnya adalah untuk mencari jodoh yang tak juga kunjung datang. Namun dua minggu belakangan, Gambleh mulai meninggalkan Mall. Ia merasa sangat berbahagia apabila tiba di stasiun Tebet tepat waktu. Bukan untuk naik kereta kosong ke Bogor, tetapi semata-mata untuk menjumpai wanita pujaan hatinya.

Wanita pujaan Gambleh itu sesungguhnya adalah seorang Biduan Dangdut yang selalu "manggung" di stasiun Tebet selepas maghrib sampai menjelang Isya. Ia ditemani crew dangdutnya yang terdiri dari seorang pemain keyboard, seorang pemain ketipung, seorang pemain gitar dan seorang operator sound system merangkap Operator Kantong Permen. Disebut demikian, karena pada lagu kedua, Sang Operator akan mulai berjalan dari satu sudut stasiun ke sudut yang lain membawa kantong bekas permen Relaxa kosong untuk meminta uang saweran kepada para calon penumpang kereta api yang menunggu di sepanjang peron stasiun.

Sang Biduan itu tidak tinggi dan tidak pendek. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan selalu memakai celana jeans biru dan t-shirt putih yang ketat. Badannya yang padat berisi tergambar jelas dalam pakaian seperti itu, dan hal itu membuat mata Gambleh jarang berkedip. Gaya menyanyinya sederhana saja, tidak sebinal Inul Daranista dan tidak seganas Dewi Persik. Paling-paling hanya sekedar goyang bahu atau goyang sebelah kaki. Tapi bagi Gambleh, itu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan bayangan-bayangan gila di otak kotornya.

Pada mulanya, Gambleh masih bisa menahan diri untuk tidak ikutan joget bersama Biduan itu, walaupun hatinya melonjak-lonjak terbakar asmara. Memang suatu kebetulan bahwa Biduan dan Crewnya berada di sisi yang berseberangan dengan peron tempatnya menunggu kereta ke Bogor. Tapi tak urung, lama-lama Gambleh terhanyut juga, kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama, kemudian tangan dan kakinya mulai ikut bergerak, dan akhirnya seluruh tubuhya bergoyang, tak peduli pada ratusan calon penumpang lain di sekelilingnya.

Gambleh memang tidak salah bila sampai jatuh hati pada Biduan itu. Selain tubuhnya yang bagus, suaranya juga sangat merdu. Dan bagi Gambleh, suara itu laksana belaian yang lembut, meliuk, menukik, berputar-putar sebelum akhirnya menembus dan membuai hatinya yang kesepian. Ia begitu terkesima pada Biduan itu, sehingga tak kurang dari lima ribu perak selalu ia pindahkan dari kantongnya ke kantong permen Sang Operator.

Dalam waktu singkat, Sang Biduan tahu kalo Gambleh adalah donatur tertinggi di stasiun Tebet. Maka di hari-hari berikutnya ia melambaikan tangan dan mengedipkan mata pada Gambleh yang bergoyang-goyang sendirian di seberang peron. Demikianlah, Gambleh dan biduan itu semakin hari semakin dekat dan semakin lengket, menyanyi dan berjoget bersama. Tentu saja, pajaknya juga bertambah dengan sendirinya, dua puluh ribu adalah saweran minimal Gambleh untuk Sang Biduan pujaan hatinya...




Sore itu Gambleh keasyikan main game Poke. Ketika sadar, ia sudah terlambat pulang satu jam dari biasanya. Sambil memaki dirinya sendiri, Gambleh cepat-cepat meninggalkan kantornya. Berharap masih bisa berjumpa dengan Biduan pujaan hatinya, Gambleh buru-buru naik ojek ke Stasiun Tebet. Hatinya galau; rasa rindu, cinta, dan khawatir bercampur-baur menjadi satu. Berkali-kali Gambleh mengkomando Si Tukang Ojek untuk memacu motornya secepat mungkin.

Sampai di stasiun, Gambleh lega karena sayup-sayup terdengar nyanyian Sang Biduan yang seolah melolong, merindu, dan memanggil-manggil Gambleh yang tak kunjung datang. Terdorong oleh rasa gembira, kangen, dan cinta yang membara, Gambleh buru-buru melompat dari ojek dan berlari melintasi rel menuju peron seberang. Di pikirannya hanya ada Sang Biduan pujaan. Malam ini ia bertekat akan memberikan seratus ribu rupiah untuk Sang Pujaan Hati sebagai hukuman atas keterlambatannya. Wajah Gambleh merona cerah, senyumnya mengembang, tangannya melambai-lambai, dan matanya tak berkedip memandang Sang Biduan pujaan di peron seberang. Pada saat yang bersamaan, dari arah Jakarta meluncur kereta api Depok Express berbobot 320 ton berkecepatan 110 km per jam. Dan semua orang di stasiun Tebet bahkan tak lagi sempat membuka mulut mereka untuk memberi peringatan.....

[+/-] Selengkapnya...