Asmaradana

Sabtu, September 26, 2009

Pelan-pelan Bandot memacu motornya menyusuri jalanan Jakarta yang basah oleh bekas air hujan di sore hari itu. Genangan air di sana-sini memantulkan semburat cahaya jingga menandai pergantian siang dan malam. Satu dua bintang bersinar redup menghiasi langit biru di ufuk timur menemani perjalannya pulang dari pesta perkawinan Lea, mantan pacarnya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Bandot merenung dan berusaha memahami arti cinta dan kehidupan.

Sore hari itu, untuk keduabelas kalinya hati Bandot hancur berkeping-keping saat harus menelan ungkapan, bahwa cinta tidak harus memiliki. Sungguh, lahir batin Bandot sangat tidak menyukai ungkapan itu. Bagi Bandot, ungkapan itu bagaikan momok yang menghantuinya setiap kali dirinya mencintai seorang wanita. Dan berkali sudah Bandot harus menjadi korban ungkapan sial itu.

Bandot teringat pada tembang Macapat Asmaradana yang sering dinyanyikannya sewaktu SD di kampung halamannya nun jauh di pedalaman tanah Jawa, "Gegarane wong akrami (pedoman orang berumah tangga), dudu bandha dudu rupa (bukan harta, bukan penampilan), amung ati pawitane (modalnya hanya hati), luput pisan kena pisan (kadang sekali jadi, kadang nihil nggak jadi-jadi), yen gampang luwih gampang (bila mudah, segalanya menjadi sangat mudah), yen angel angel kalangkung (bila sulit, semuanya menjadi serba sulit), tan kena tinumbas arta (tak bisa dibeli dengan uang)". Bandot tak tahu lagi apakah syair tembang itu masih bisa dipercaya kebenarannya.

"Diinnn diiinnn!!!", klakson Trailer menyadarkan lamunannya. Ia segera membelokkan motornya ke jalur lambat. "Hampir saja.", batin Bandot bersyukur, namun kegalauan hati dan pikirannya tak juga sirna. Masih terbayang jelas dalam angannya, masa-masa indah berpacaran dengan Lea. Touring bersama, berangkat dan pulang kerja bersama, ke Dufan, ke Ragunan, ke Taman Mini, Nonton di PI, jalan-jalan ke Mall selalu berdua dan penuh cinta-kasih. ""Ahhh!!", Bandot menghela nafas panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, dan matanya terasa panas oleh linangan air mata kepedihan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.



Setahun yang lalu, Bandot harus merelakan pacar kesebelasnya. Semuanya berawal dari sebab yang itu-itu juga, ketika sang pacar meminta untuk segera menikah. Bandot pusing tujuh keliling, ia tahu tabungannya tak seberapa, masih kost, dan dengan gajinya yang sekarang, Bandot takut tak mampu memimpin bahtera rumah tangga mereka ke taraf sejahtera. "Aku belum siap", Kilah Bandot. "Bagaimana kalo tahun depan?", Bandot mencoba bernegosiasi. Sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Tidak disangka-sangka, empat bulan kemudian datanglah undangan pesta perkawinan pacarnya yang memaksa Bandot untuk kesekian kalinya tegar menyaksikan kekasih hatinya bersanding dengan pria lain. Bandot menghela nafas panjang,"Wahai, begitu cepatnya orang berpindah ke lain hati"

Sejak saat itu, Bandot bertekat tak mau lagi kehilangan kekasih. "Lea harus menjadi pacar terakhirku. Sebelas kali gagal sudah lebih dari cukup. Lea harus menjadi ibu dari anak-anakku", tekat Bandot semenjak mereka jadian. Maka empat bulan yang lalu, ketika Lea memintanya untuk menikahinya, Bandot menjawab tegas, "Baiklah, dik. Bulan depan kita menikah." Bandot buru-buru mengajukan kredit multiguna ke bank rekanan perusahaannya, lumayanlah 30 juta tanpa agunan pasti cukup untuk biaya pernikahan dan mengontrak sebuah rumah mungil selama dua tahun. Kredit cair dalam dua minggu, dan lamaranpun siap diajukan.

Dengan hati berbunga-bunga Bandot berangkat ke kampung halamannya untuk menjemput kedua orang tuanya. Bertahun-tahun tak pulang membuat Bandot rindu pada semuanya: pada orang tuanya, sanak saudaranya, teman-teman sepermainannya, sawah-sawah, kebun-kebun, sungai, jalanan, pohon-pohon, sapi-sapi, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bebek-bebek, angsa-angsa, tanah, udara, air, awan, rembulan, matahari, bintang-bintang, langit, semuanya. Dan seluruh kampung halaman seolah bersorak gembira menyambut kedatangannya, Bandot yang orang Jakarta.

Kampung halaman Bandot masih jauh dari modern, terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan asri. Sawah ladang, kebun, hutan, dan sungai memagari rumah-rumah di perkampungannya. Setelah bertahun-tahun ditinggal ke Ibukota, masih banyak hal yang belum berubah. Semua orang mandi dan mencuci baju di sungai, pagi dan sore hari. Dua hari di kampung halamannya Bandot kembali terbiasa dengan kehidupan masa kecilnya.

Sore hari itu, Bandot terlihat riang menaiki kerbau pamannya sepanjang jalan setapak menuju sungai untuk dimandikan. "Nostalgia", katanya. Semua orang tertawa, tapi Bandot tak peduli. "Kapan lagi aku bisa naik kerbau, sebentar lagi menikah, naik yang lain!", teriak Bandot setengah bercanda. Dan orang-orangpun kembali tertawa. Ketika melihat Bandot duduk terayun-ayun pelan di punggung kerbau, tiba-tiba semua orang membayangkan Bandot menaiki........, dan tawapun kembali pecah berderai menembus seluruh pelosok desa. Bandot bingung, apa yang sedang ditertawakan orang-orang. Tetapi ketika menyadari gerakan duduknya, Bandot pun terbahak-bahak, lebih keras dari tawa semua orang.

Sampai di bibir sungai, tiba-tiba rombongan kerbau gaduh dan berlarian, kaget oleh ular sawah sebesar paha yang melintas di jalan setapak itu. Bandot yang tak siap terjatuh dari punggung kerbau, terinjak-injak, terguling-guling, masuk sungai, memar, lecet-lecet, dan patah kaki. Akhirnya, hampir sebulan lamanya Bandot harus menginap di kampung halamannya, lamaran batal, tertunda. Dan selama itu Bandot harus berurusan dengan mbah Waong, dukun patah tulang di desanya.

Genap sebulan kemudian, Bandot kembali ke Ibukota dengan sisa-sisa uangnya yang semakin berkurang untuk menyumbang saudara misannya yang dua minggu lagi menikah. Ia ragu untuk meneruskan niatnya melamar Lea, uangnya sudah berkurang banyak. Ketakutannya tak mampu menyejahterakan bahtera rumah tangga kembali menjalari hatinya, apalagi sekarang ia terbebani oleh cicilan hutang. Bandot bingung, ia malu berterus terang pada teman-temannya dan juga pada Lea kekasihnya.

Lea yang menunggu-nunggu dilamar mulai bosan, Bandot yang kebingungan tak juga melamar. Hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Dan tiga bulan semenjak peristiwa itu, sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda mendarat di meja kerja Bandot. "Duhh Gusti.", keluh Bandot, "Ini yang kedua belas kalinya."

Mendung jingga semakin jelas tergambar di langit biru kota Jakarta mengawali pergantian siang dan malam. Dengan suara pelan tertahan oleh kepedihan hatinya, Bandot menggumamkan Macapat Asmaradana, "Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta". Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib syahdu memecah angkasa raya mengiringi derasnya air mata di pipi Bandot.

[+/-] Selengkapnya...

Diamput !!!

Sabtu, September 19, 2009

Gareng menarik nafas panjang. Seiring dengan alunan nafasnya, Ia berusaha menata dan mempertajam panca inderanya. Matanya menatap tajam jalan lurus di depannya. Bayangan demi bayangan berbagai peristiwa dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya yang sedang fokus berkonsentrasi. Suara geraman motor di sekelilingnya lambat laun menghilang dari telinganya. Tangannya erat bersiaga menggenggam setang motornya. Pelan tapi pasti hatinya mulai terasa mantap, dan ia merasakan dirinya siap memenangkan balapan tarikan ketujuh malam itu. Enam tarikan pertama telah dimenangkannya dengan gemilang. Tinggal satu kali tarikan lagi, dan uang lima puluh juta rupiah akan berada dalam genggamannya. Ia tahu betul, Koh Li Cheng, sang bandar taruhan, tak pernah mengingkari janjinya.

Sejak masuk kuliah delapan tahun silam sampai bekerja di sebuah perusahaan swasta saat ini, Gareng hampir tak pernah absen dari aktivitas balapan liar setiap malam minggu di berbagai lokasi. Namanya harum terkenal di dunia bawah tanah balapan liar sebagai The Flash, pembalap yang tak terkalahkan. Dari dunia itu pulalah Gareng mampu membiayai kuliah dan kehidupannya dari berbagai kemenangannya. Semua orang memaklumi bahwa balapan liar tak lepas dari taruhan bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dan setiap Pembalap memiliki harganya sendiri sebagaimana halnya para pemain sepakbola dunia.

Malam itu, Gareng benar-benar tampil sempurna. Si Cocor Merah, motor RX-King tuanya membabat habis semua lawannya tanpa ampun dengan jarak kemenangan yang cukup jauh. Koh Li Cheng tersenyum puas. Ia tahu, malam itu merupakan malam terakhir jagoannya memberikan keuntungan ratusan juta rupiah padanya. Sebelum balapan, Gareng menyatakan akan mengundurkan diri dari dunia balap liar untuk fokus pada masa depannya. Dan sebagai tanda terima kasih, Koh Li Cheng menjanjikan lima puluh juta rupiah, cash. Hitung-hitung juga sebagai hadiah ulang tahun Sang Pembalap pada hari itu.

Tak ada seorangpun yang tahu, bahwa sebenarnya Gareng sedang gundah gulana. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya menafsirkan sikap Limbuk, pacar terkasihnya, sebulan belakangan ini. Sejak Gareng serius meminta Limbuk menikah dengannya sebulan yang lalu, Limbuk seperti menjauhi dirinya. Apalagi Gareng mengetahui bahwa sudah beberapa bulan belakangan ini Limbuk terlihat akrab dengan Waong, teman kuliah Gareng yang sekantor dengan kekasihnya itu.

Gareng menyadari betapa bencinya Limbuk pada balapan liar, dan selama ini kekasihnya itu tak pernah tahu bahwa dirinya adalah salah seorang jawaranya. Gareng curiga, jangan-jangan saat ini Limbuk sudah tahu jati dirinya dari Waong dan kemudian berusaha menjauhinya. Hanya Waong yang selama ini tahu jati dirinya. Keragu-raguan hatinya menimbulkan keinginan untuk jujur pada sang kekasih dan mengakhiri petualangannya di dunia balap liar. Ia yakin kekasihnya pasti akan bersenang hati. Gareng paham betul bahwa tidak ada seorang istripun yang menginginkan suaminya memiliki aktivitas yang membahayakan jiwanya.

Tapi keinginan untuk berterus terang itu belum juga mendapatkan jalan. Bahkan sudah dua malam Minggu yang lalu Gareng terpaksa harus balik kanan dari rumah sang kekasih yang tak berada di tempat, dan tak bisa dihubungi. Gareng frustasi, pikiran buruknya mulai mengarah ke Waong. Namun hati kecilnya berkeras menuntunnya pada kesabaran. Gareng berjuang melawan sergapan rasa rindu pada kekasih hatinya. Pengalamannya dalam menyingkirkan emosi saat berlaga di arena balap sedikit banyak membantunya mengatasi kegundahan hatinya dari waktu ke waktu.

Malam Minggu itu Gareng kembali menelan ludah ketika untuk kesekian kalinya harus balik kanan dari rumah sang kekasih. Tapi ia bertekat, besok pagi ia akan menjelaskan semuanya pada kekasih hatinya, ya semuanya, dan ia harus mendapatkan jawaban lamarannya saat itu juga.

Pikiran kalutnya semakin mendorong Gareng untuk mengakhiri petualangannya di dunia balap liar malam itu juga. Pelan-pelan si Cocor Merah diarahkan ke arena balap. Mulanya Gareng hanya ingin pamitan pada para bandar dan rekan-rekannya, namun tawaran Koh Li Cheng dan bujukan rekan-rekan sejawatnya untuk mengukir prestasi terakhir mampu membelokkan hatinya untuk kembali ke aspal.

Dugaan Gareng tidaklah meleset. Pada hari yang sama saat ia mengutarakan keinginannya menikahi sang kekasih, Waong membeberkan jati diri Gareng tanpa sepengetahuannya. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan didorong oleh rasa persahabatannya yang tulus. "Hanya kamu yang bisa menghentikannya.", pinta Waong pada Limbuk sore hari itu. Siasatpun diatur. Kejutan disiapkan di hari ulang tahun Gareng. Di hari itu Limbuk akan menerima pinangan kekasihnya di arena balap dan sekaligus menghentikan aktivitasnya itu untuk selama-lamanya. Dan mulailah Limbuk bersandiwara berhari-hari lamanya, sampai saat itu tiba.

Malam itu langit cerah tak berawan, terang lampu jalanan tak mampu meredupkan kerlipan milyaran bintang di kegelapan angkasa raya. Mercy Waong pelan menyusuri jalanan menuju arena balap, ia dan Limbuk berniat menanti Gareng di ujung track. Tak henti-hentinya keduanya tersenyum membayangkan wajah Gareng saat menerima kejutan. Gegap gempita suara motor yang berlaga di arena mulai terdengar semakin jelas dan semakin keras. Keduanya semakin mendekati arena balap bekas landas pacu yang panjang membentang itu. Senyum Waong dan Limbuk semakin mengembang, diiringi obrolan dan tawa ringan sekali-sekali.

Di arena balap, tujuh motor melaju beriringan dengan kecepatan sekurang-kurangnya 150 km per jam. Gareng memimpin paling depan, senyumnya mengembang membayangkan wajah Limbuk sang kekasih hati. "Besok kamu akan menjadi milikku", bisik hatinya riang.

Tiba-tiba sebuah Mercy melintas memotong jalan di depan lintasan pada jarak 100 meter. Lampu si Cocor Merah sekilas menyorot kaca depan mobil yang terbuka, wajah Limbuk sang kekasih hati terlihat jelas disana. Gareng gugup, ia berusaha menghentikan laju si Cocor Merah sekuat tenaga. Decit ban beradu aspal memecah malam, tapi tak juga mampu menghentikan laju si Cocor Merah.

"Reeeeeeennngggggg!!!!", tak sadar mulutku menjerit keras.

"Bluuug!"

Kudapati tubuhku berada di lantai, di bawah tempat tidur.

"Diampuutt!!"

[+/-] Selengkapnya...

Buntut!

Sabtu, September 12, 2009

Togog yakin betul, bahwa usaha yang dilakukan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil pada akhirnya. Demikian juga pada upayanya yang kontinyu dalam membeli nomor buntut dua minggu sekali, ia yakin, suatu ketika nanti pasti akan menang. Dan kalo sudah begitu, dirinya tidak lagi perlu bekerja. Ia bercita-cita akan membeli beberapa buah becak untuk disewakan, sedangkan dirinya sendiri akan pensiun sebagai tukang becak untuk selama-lamanya.

Sebagai penggemar nomor buntut, maka secara otomatis, Togog juga seorang penggemar takwil mimpi. Tak heran kalo ia memiliki berbagai macam buku takwil mimpi yang telah menemaninya sejak puluhan tahun yang lalu, sejak ia menjadi seorang penarik becak selepas SMA. tentu saja Togog sudah hampir hapal semua isinya di luar kepala. Selama ini, takwil mimpi buku-buku itu telah banyak membantunya memenangkan nomor buntut. Paling tidak sekali dalam dua bulan Togog memenangkan nomor buntut, walaupun nilainya tidak begitu besar. Kemenangannya yang tak pasti itulah yang membuatnya semakin penasaran, ketagihan, dan getol dalam menggeluti dunia nomor buntut.

Togog tidak sendirian, hampir semua temannya sesama penarik becak di pinggiran kota besar itu adalah pemain nomor buntut. Bedanya Togog tidak senang berjudi sebagaimana mereka, ia murni pemain nomor buntut. Waktu luang saat menunggu penumpang lebih banyak digunakannya untuk tidur-tidur ayam berharap mendapatkan mimpi bagus, Togog yakin bahwa mimpi orang setengah tidur itu lebih mujarab dibanding mimpi orang yang tidur pulas.

Sebagaimana sebagian besar pengemudi becak di pinggiran kota itu, Togog juga seorang perantau. Desanya terletak 100 km ke arah pedalaman. Ia pulang sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali, membawa uang penghasilannya untuk istri dan dua anaknya yang menginjak remaja. Di pinggiran kota itu, ia tidak menyewa rumah, pemborosan. Untuk urusan tidur, cukup di becaknya saja atau sekali-kali tidur di pos kamling. Urusan mandi dan cuci pakaian cukup numpang di kelurahan. Begitulah, sudah hampir dua puluh tahun kehidupan seperti itu dijalaninya, bukannya tak ingin berubah, tetapi Togog berpendapat, saatnya saja yang belum tiba, saat ia menang nomor buntut 4 angka sekaligus, dan hanya itulah satu-satunya harapan menuju hidup yang lebih baik.

Menjadi perantau seperti Togog bukanlah hal yang mudah. Sebagai laki-laki, ia juga punya hasrat yang sama terhadap wanita sebagaimana laki-laki normal lainnya. Walaupun ia mencoba bertahan dan setia, namun lama-lama Togog tergoda juga oleh wanita, seorang janda beranak satu yang masih muda, pedagang tahu di pasar lama yang menjadi langganannya sejak dua bulan terakhir. Walaupun sama-sama menyukai, namun keduanya masih bisa menahan diri, terhalang oleh himpitan perekonomian masing-masing. Puber keduanya yang semakin membara, membuat Togog mulai melupakan anak dan istrinya di kampung. Dan cinta itu membuat Togog semakin rajin bermimpi, menakwilkan mimpi, dan membeli nomor buntut skala besar.

Demikianlah, pada akhirnya keyakinannya berbuah juga. Sore itu Togog memenangkan nomor buntut sebesar 30 juta rupiah, hasil otik-atik dari gabungan tanggal lahirnya dan tanggal lahir si janda muda. Maka malam itu seluruh tukang becak, bandar buntut dan anak buahnya berpesta kambing guling dan tuak di lapangan bola sampai menjelang subuh. Akibatnya, di pagi harinya, tak ada satu becakpun yang beroperasi, dan kabar berita kemenangan Togog segera tersebar cepat di pinggiran kota itu.

Untuk pertama kali dalam sejarah kehidupannya, baru kali ini Togog memberikan uang kepada istrinya sebesar 8 juta rupiah, hampir dua puluh lima kali lipat dari jumlah biasanya. Tapi Togog tak berlama-lama di rumah, berbekal uang 20 juta sisanya ia segera kembali ke kota, hasratnya terhadap si janda muda dan keinginannya untuk menjadi juragan becak semakin menggebu-gebu. Tentu saja Togog tak berterus terang, ia hanya menyampaikan keinginannya menjadi pengusaha becak di kota, dan istrinya yang kaya mendadak itu tersenyum merestuinya, ia bahagia memiliki suami yang baik dan setia, dan ia bangga memiliki suami seorang calon pengusaha becak di kota.

Pertama-tama yang dilakukan Togog sesampainya di kota adalah pensiun sebagai tukang becak. Becak sewaannya itu dikembalikan ke pemiliknya yang sebentar lagi akan jadi saingannya. Kedua, Togog menemui si janda muda untuk menyampaikan maksudnya, ketiga, Togog mengontrak sebuah rumah untuk mendukung cita-citanya, ia ingin punya markas besar untuk armadanya. Keempat, Togog menikahi si janda muda secara sederhana saja. Karena kedekatannya degan oknum kelurahan, semua surat-surat dengan mudah diurusnya. Demikian juga pihak keluarga si janda muda, dengan mudah ditaklukkannya dengan segepok uang. Agar tak mengganggu bulan madunya, si janda segera diboyong ke rumah kontrakannya, sedangkan anak si janda dititipkan ke saudaranya dengan imbalan segepok uang juga. Seminggu kemudian sebuah Vario baru parkir di rumah kontrakan Togog, dibeli secara kredit dan semua surat dibuat atas nama si janda muda sebagai bukti cintanya.

Kabar Togog menikah lagi akhirnya sampai juga ke telinga istri tuanya. Dan proses perceraian dengan istri tuanya itu berjalan begitu cepat. Lima juta rupiah lagi akhirnya melayang dari kantong Togog untuk urusan yang satu itu. Tapi Togog lega, setidak-tidaknya kehidupan barunya tak lagi terbebani oleh istri dan dua anaknya yang mulai membencinya lahir dan batin.

Kini uang di tangan Togog tak lagi genap 3 juta rupiah, tapi Togog tak peduli. Ia bertindak seolah-olah sedang membalas dendam terhadap kemiskinannya selama ini. Tiap hari pekerjaannya hanya pacaran saja dengan istri barunya. Ia telah lupa pada tujuannya untuk menjadi seorang juragan becak. Uangnya kian menipis dari hari ke hari, dan satu-satunya harapannya adalah kembali ke nomor buntut. Tapi keberuntungan agaknya tak lagi menyertainya, sudah tiga bulan ini ia tak juga menang satu kalipun, dan uangnya semakin menipis.

Menginjak bulan kelima, uangnya benar-benar habis dan nomor buntutnya tak juga membuahkan kemenangan. Togog kebingungan membiayai hidup dan cicilan motornya yang sudah menunggak dua bulan, apalagi istrinya kini sedang hamil muda. Ia mencoba bergabung dengan tukang ojek di ujung jalan, tapi karena harus membayar uang administrasi satu juta rupiah, Togog mundur. Ia mencoba menjadi ojek mandiri di mana saja ada kesempatan, di pasar, di stasiun, di terminal, di mana saja. Tapi menjadi ojek mandiri tidaklah mudah, karena semua tempat sudah diduduki oleh organisasi ojek setempat. Togog bertambah bingung, uang penghasilan dari ngojek tak cukup untuk mencicil motornya. Begitulah, menjelang akhir bulan keenam, Vario itu ditarik dealer.

Istri Togog mulai uring-uringan saban hari, ada-ada saja masalahnya. Togog mencoba bekerja serabutan, menjadi kenek tukang batu, kuli di pasar, penjaga malam pengganti, tukang cuci motor, tapi tak ada satupun yang cocok baginya. Makin hari, hari kelahiran anaknya semakin dekat dan semakin dekat. Togog semakin bingung, akhirnya ia kembali lagi ke pekerjaan lamanya sebagai tukang becak.

Malam itu Togog termangu menunggu penumpang di becaknya, pikirannya melamunkan perjalanan hidupnya. Ia merasa betapa kehidupannya kembali lagi dari awal seperti dua puluh tahun yang lalu. Tiba-tiba ia merasa rindu pada mantan istri dan anak-anaknya di desa. Togog mendesah pelan, tak mungkin ia kembali ke masa lalu. Satu-satunya harapan yang tersisa di hatinya adalah memenangkan kembali nomor buntut itu sekali lagi. Dan matanya mulai terpejam mencari mimpi-mimpi baru untuk nomor buntut berikutnya.

[+/-] Selengkapnya...

Kampanye

Sabtu, September 05, 2009

Pak Boss benar-benar nervous berat pagi itu. Sejak semalam dirinya nggak bisa tidur. Pikirannya berusaha keras menciptakan tema dan rencana urut-urutan topik yang layak diucapkan, dan hatinya sibuk mereka-reka dan membakukan gaya bicara dan bahasa tubuh yang akan digunakannya untuk berorasi. Yup! Siang hari itu Pak Boss harus tampil di podium, berbicara perkara politik di depan massa untuk pertama kalinya sebagai caleg dari Partai Anu dalam sebuah kampanye akbar di lapangan sepakbola di pinggir kota.

Sebagai seorang juragan ayam potong dan ayam petelur yang tersohor di daerahnya, sebenarnya Pak Boss sangat fasih berbicara dan terbiasa menghadapi orang banyak. Tetapi karena tingkat pendidikannya yang rendah dan ketidakpeduliannya pada masalah politik selama ini, mau nggak mau Pak Boss mesti banyak belajar. Dan semakin banyak belajar, semakin ia menyadari betapa masih banyak langit di atas langit, itulah yang membuat Pak Boss grogi kalo bicara politik.

Dalam Pemilu tahun ini, Pak Boss didaftar dan lolos sebagai caleg sebuah partai baru. Dan Pak Boss sangat bersemangat bergabung dalam Partai Anu yang masih baru itu, soalnya pengusaha kaya seperti pak Boss itu telah sampai pada tahap pencarian jati diri melalui popularitas dan kedudukan alias jabatan. Lagipula, sekarang ini di belakang namanya telah bertengger huruf MM berikut semua sertifikat yang diperlukan yang dibelinya dengan sejumlah uang yang cukup.

Berbulan-bulan lamanya Pak Boss menempa dirinya dengan ilmu kecalegan dan politik. Selain dibina oleh partai, Pak Boss juga menyewa beberapa mahasiswa jurusan sospol tingkat akhir untuk mengajarinya berbagai hal menyangkut seluk-beluk politik negeri ini. Sungguh, tidak mudah bagi orang seusianya untuk belajar hal-hal baru, apalagi kalo sudah menyentuh masalah hapal-menghapal. Lha iya to, setidak-tidaknya Pak Boss harus tahu perjalanan politik bangsa ini sejak jaman kerajaan Medang Kamulan sampai saat ini dengan segala teorinya.

Sejak pagi hari, massa pendukung yang sebagian besar adalah para tetangga, sanak saudara, dan pegawainya sendiri mulai berdatangan, berkumpul di halaman rumah Pak Boss yang luas. Sebagian besar naik motor dan ada juga yang berjalan kaki. Pak Boss menyediakan angkutan berupa dua buah truk dan dua buah pickup yang biasanya digunakan untuk mengangkut ayam atau telor. Panitia mulai mendaftar peserta dan membagikan kupon. Tentu saja, panitia cukup pintar untuk tidak memberikan amplop di awal kegiatan karena setelah menerima amplop, biasanya peserta kampanye kabur begitu saja pulang ke rumah sambil membawa sate untuk keluarganya.

Hari itu rumah Pak Boss benar-benar heboh untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, mengurusi diri sendiri dan mengurusi urusan orang lain, bersiap-siap melakukan kampanye menuju lapangan yang berjarak 10 km dari rumah Pak Boss. Didorong oleh rasa senang dan kebanggaannya, Pak Boss telah menginstruksikan kepada seluruh anggota keluarganya, sanak saudaranya, dan segenap pegawainya tanpa kecuali untuk pergi kampanye ke lapangan. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, betapa Pak Boss tidak hanya piawi dalam bisnis ayam, tetapi juga seorang orator ulung yang dapat disetarakan dengan Bung Karno.

Akhirnya iring-iringan kampanye diberangkatkan juga, paling depan adalah iring-iringan sepeda motor, disusul kemudian oleh barisan mobil. Pak Boss berada di mobil Alphard hitam di posisi terdepan bersama segenap keluarganya. Iring-iringan itu pelan-pelan meninggalkan rumah dan peternakannya dalam keadaan kosong melompong tanpa penjagaan.

Di lapangan telah berkumpul massa dari berbagai penjuru. Pak Boss harus mengikuti acara kampanye dari awal. Dan menunggu waktu pidato adalah sebuah siksaan berat bagi Pak Boss, walaupun wajahnya tersenyum cerah dan kakinya masih menginjak bumi, namun sebenarnya pikiran dan hatinya gamang melayang tak menentu oleh rasa cemas, gugup, takut, bangga, dan senang. Keinginannya untuk melakukan orasi total dan mengagumkan semua orang semakin kuat. Tetapi menghadapi massa hiruk-pikuk yang sedemikian banyak, membuat hatinya terbelah antara keinginan dan ketakutan, dan itu menjadi beban mental yang luar biasa. Pikirannya mulai panik, dan otaknya mulai lupa pada semua rancangan orasinya. Berkali-kali ia menyeka wajahnya yang berpeluh, berusaha menenangkan diri dan mengingat-ingat semua hapalannya. Ia semakin gugup saat massa di lapangan gegap gempita menyahut setiap yel-yel partai yang disampaikan sang protokol.

"Maaf Pak Boss, Bapak Camat menginstruksikan untuk dijemput. Mohon ijin pinjam mobil Bapak.", seorang lelaki rapi bertubuh tegap berambut cepak berpakaian hitam-hitam layaknya searang ajudan dengan emblem partai terselip di dada berkata dengan nada berat penuh wibawa.

"Silahkan-silahkan.", jawab Pak Boss gugup sembari menyerahkan kunci Alphardnya sambil tersenyum sebisanya. Rasa senang dan bangganya semakin bertambah mendengar Pak Camat akan menghadiri kampanye akbar itu, namun di sisi lain, muncul rasa ketakutannya bila salah-salah dalam berorasi di depan Pak Camat, dan hal itu menjadi masalah baru di hatinya. Kegalauan hati dan pikirannya dengan cepat melalaikan segenap kewaspadaannya.

Begitu lagu mars partainya selesai dikumandangkan, maka Pak Boss segera maju ke podium disambut gemuruh yel-yel dan tepuk tangan massa. Kegugupannya menghambat langkah kakinya yang terasa bersepatu besi seberat satu ton, tangannya gemetar memegang mike, pandangannya nanar mengarah ke langit mencoba menghindari menatap massa, tapi hal itu tak menolongnya dari kegugupan. Keringatnya mengalir semakin deras. Ia mencoba menguatkan hati dan jiwanya. Tiba-tiba ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, mulutnya mencoba meneriakkan yel-yel partai, tetapi kegugupannya menyebabkannya keseleo lidah. Seluruh massa tertawa. Wajah Pak Boss merah padam, ia coba lagi berteriak, tapi salah lagi. Seiring dengan tawa massa yang semakin gemuruh, tubuh Pak Boss jatuh berdebum mencium lantai podium, ia pingsan karena malu tanpa seorangpun yang sempat memeganginya.



Pak Boss dan keluarganya pulang ke rumah dengan perasaan hancur, apalagi saat mengetahui rumah dan peternakannya dalam kondisi acak-acakan. Di akhir hari itu, setelah dihitung-hitung dengan seksama, Pak Boss kehilangan sebuah toyota Alphard, sebuah tv 29 inc, sebuah tv plasma 50 inc , dua buah vcd player, seperangkat home teather, uang tunai 1 milyar rupiah dan sejumlah perhiasan yang disembunyikan di bawah almari di dalam kamarnya, satu set sofa mewah, sebuah piano, tiga ikan arowana merah dan dua perkutut kesayangannya, tiga ribu ekor ayam, dan satu ton telur ayam.


Tulisan Terkait :
>>> Sayembara


[+/-] Selengkapnya...