tag:blogger.com,1999:blog-41913654808907261702024-03-16T09:52:13.528+07:00Cerita Pendek | Kisah | DongengCerita pendek, kisah, dongeng tentang apa saja yang terlintas di pikiran...masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.comBlogger64125tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-10990945574860407892009-10-17T23:22:00.000+07:002010-02-14T01:20:08.422+07:00Marunda<div style="text-align: justify;">Jolowok mengendarai motornya asal saja tanpa tujuan, tanpa semangat. Kadang pelan, kadang cepat, kadang berhenti lalu jalan lagi. Ia baru saja mensurvey rumah calon pembeli komputer kreditan dari tokonya, namun hari masih terlalu siang untuk kembali ke toko. Tiba-tiba motornya dibelokkan ke kiri mengikuti jalan berbatu. Sebuah tulisan cat di sebuah triplek seadanya telah menarik perhatiannya: "Jalan ke Pantai" tulisan itu disertai dengan tanda panah asal jadi. Beberapa waktu kemudian ia mendapati dirinya berada di sebuah warung di pantai Marunda.<span id="fullpost"><br />
<br />
"Silahkan, Mas. Mau minum atau makan?", tanya seorang perempuan setengah baya , gendut, dan menor. Dari bibir merahnya tersungging sebuah senyuman nakal.<br />
<br />
"Minum aja, Bu. Fanta pakai es.", jawab Jolowok ikut tersenyum, geli. Di matanya, perempuan menor itu terlihat seperti kuda nil memakai bedak.<br />
<br />
Jolowok menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Di sepanjang pantai berdiri warung berderet-deret diantara empang-empang. Beberapa orang terlihat memancing di empang-empang seputar warung. Ia merasa asing. Pantai ini tidak seperti pantai-pantai lain yang pernah ia kunjungi.<br />
<br />
"Numpang ke toilet, Bu", Jolowok baru sadar bahwa ia menahan buang air kecil sejak tadi.<br />
<br />
"Masuk aja, Mas. terus, mentok belok kiri."<br />
<br />
Jolowok terheran-heran saat mengetahui bahwa bagian belakang warung itu terdapat beberapa bilik bertirai kain di kanan kiri lorong yang dilaluinya. Hatinya sibuk menerka-nerka, tapi masih belum mengerti juga. Tiba-tiba seorang perempuan muda berbaju daster tipis keluar dari bilik, hampir menabrak dirinya.<br />
<br />
"Maaf, Mas.", perempuan itu sedikit terkejut dan kemudian berlalu ke depan warung.<br />
<br />
Ketika kembali ke tempatnya semula, perempuan yang tadi hampir menabraknya telah duduk di depan mejanya. Deg! Jantung Jolowok terasa terhenti, jiwanya terpesona pada kejelitaan perempuan muda itu.<br />
<br />
"Kenalkan Mas, itu adik saya, Hoyi", perempuan menor itu berkata dari balik etalase makanan.<br />
<br />
Jolowok tersenyum, Hoyi tersenyum, Perempuan menor itu juga tersenyum. Dalam waktu singkat merekapun akrab dalam obrolan panjang yang sesekali diiringi tawa dan canda mesum yang keluar dari mulut si menor. Tak sadar Jolowok nambah minum, nambah kacang, nambah kue, nambah kerang rebus, nambah mie rebus, nambah kerupuk. Akhirnya, pulang menjelang maghrib, 50 ribu rupiah melayang dari dompet Jolowok, tapi Jolowok puas.<br />
<br />
"Disini ramainya kalo malam, Mas. Coba aja besok malam Minggu kesini. Ntar Hoyi temenin jalan-jalan di pantai deh."<br />
<br />
Entahlah, mengapa Jolowok merasakan dirinya hidup kembali setelah ngobrol dengan Hoyi. Hidup dari kebosanannya berumah tangga selama 12 tahun yang menurutnya hanya begitu-begitu saja. Selama ini Jolowok berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik, tak pernah neko-neko, cenderung lugu, dan hidupnya terkesan lurus-lurus saja. Tetapi semenjak pertemuannya dengan Hoyi, Jolowok merasakan semangat baru yang luar biasa. Diam-diam </span><span id="fullpost">Jolowok</span><span id="fullpost"> mulai tertarik, suka, dan jatuh cinta pada Hoyi.<br />
<br />
Sepanjang jalan Jolowok tersenyum-senyum sendiri. Bayangan demi bayangan mulai tergambar di otaknya, semakin lama semakin jelas dan membias menjadi berbagai rencana dan reka daya.<br />
<br />
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Jolowok mulai kecanduan Hoyi. Kepiawian Hoyi dalam mengelola perselingkuhannya dengan Jolowok telah menjadikan Jolowok menjadi budak yang manis bagi Hoyi. Hoyi mampu menjadi pendengar yang baik, Hoyi mampu memberi saran dan masukan cerdas tanpa berkesan menggurui, Hoyi mampu melontarkan canda dan gurauan segar, dan Hoyi juga mampu melayani kebutuhan Jolowok semuanya, dengan sempurna. Pelan namun pasti, istri dan kedua anaknya tersingkir dari lubuk hati dan pikirannya.<br />
<br />
Kini Jolowok mulai berani mengutip uang "lolos survey", "uang pengiriman", atau "uang instalasi" dari pelanggan tokonya, semata-mata untuk membiayai perselingkuhannya dengan Hoyi, bahkan uang belanja bulanan keluarganya mulai disunat sedikit demi sedikit.<br />
<br />
Menginjak bulan ketiga, istri Jolowok mulai curiga dan mulai bertanya-tanya. Setiap Jolowok pulang malam, Ia mengendus-endus baju suaminya itu, tapi ia tak menjumpai bau parfum, atau tanda-tanda perselingkuhan lainnya. Yang ada cuma bau keringat Jolowok yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Lepas dari baju, diam-diam istri Jolowok membongkar tas kerja dan dompet suaminya yang tengah terlelap. Tapi semuanya bersih: tak ada foto, surat, bon, atau catatan apapun yang mengindikasikan sebuah perselingkuhan. Istri Jolowok kebingungan. Firasat perempuannya mengatakan, suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain, tapi kecurigaannya tak menemukan bukti. Ia tidak tahu, bahwa suaminya memiliki baju ganti di warung Hoyi.<br />
<br />
"Aku merusakkan TV plasma HDTV 53" di toko. Itu murni kesalahanku.", jawab Jolowok saat diinterogasi sang istri mengenai potongan uang belanja.<br />
<br />
"Setiap bulan, harga TV itu harus aku cicil dari gajiku."<br />
<br />
"Itulah sebabnya, aku sering pulang malam, lembur biar cepat selesai cicilannya."<br />
<br />
"Awas ya, aku potong burungmu kalo berani selingkuh!", ancam sang istri galak.<br />
<br />
Ia pernah membaca artikel, bahwa karyawan seumuran suaminya, setengah mapan, dan sering berhubungan dengan pelanggan itu rawan perselingkuhan. Ia bertekat tak akan membiarkan hal itu terjadi, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia merasa selama ini pelayanannya pada suaminya tidak berkurang walaupun dirinya sendiri capek setelah bekerja hampir seharian penuh di sebuah perusahaan laundry. Belum lagi ia masih harus memasak dan mencuci baju keluarganya di malam hari. Nonton TV saja hampir-hampir tak sempat lagi. Satu-satuya kesempatan baginya untuk beristirahat hanya di hari Minggu.<br />
<br />
"Sumpah! potong saja kalo aku selingkuh!", Jolowok berkata tegas penuh percaya diri. Hati nuraninya telah seratus persen tertutup sosok Hoyi. Ia merasa harus tegas dalam berbohong dan berpura-pura, agar benar-benar terlihat jujur dan serius.<br />
<br />
"Ingat ya, Mas. Dulu kamu yang mengejar-ngejar aku dan memintaku menjadi istrimu! sekarang....", Istri Jolowok mulai mengungkit-ungkit masa lalu dan mulai terisak-isak di depan Jolowok. Dari mulutnya terus meluncur kata-kata panjang-pendek bercampur isak-tangis sepanjang malam.<br />
<br />
Jolowok sendiri tidak mengerti kata-kata istrinya. Yang ia rasakan, kehidupan mereka hanya begitu-begitu saja dari dulu. Pergi kerja pagi-pagi, pulang seringkali malam, di malam hari ia dapati dirinya dan sang istri yang sudah kecapekan tanpa gairah, tanpa kehangatan, dingin-beku-miskin komunikasi. Anak-anak yang bandel, ribut, dan menjengkelkan membuatnya tak bisa istirahat tenang di rumah. Baginya anak-anaknya itu seolah-olah sumber masalah yang tak pernah habis. Bodoh di sekolah, tingkah-lakunya tidak sopan, kerjanya main, jajan, dan nonton tv melulu sepanjang hari. Jolowok merasa tak ada gunanya membiayai sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kehidupannya, kehidupan keluarganya. Jolowok bosan, tidak ada sesuatu yang dinamis, tak ada sesuatu yang beda dan baru, tak ada sesuatu yang mampu membangkitkan gairah hidup dan menciptakan kehangatan seperti yang diberikan oleh Hoyi.<br />
<br />
Sejak saat itu Jolowok berhati-hati, Ia jarang keluar malam agar istrinya tidak curiga. Sebagai gantinya, Jolowok mengorbankan waktu kerjanya. Ia datang menemui Hoyi selepas survey atau mengantar barang ke pelanggan.<br />
<br />
Sabtu sore itu, sepulang kerja lembur, Jolowok tak menjumpai istri dan kedua anaknya di rumah. Tak ada pesan apa-apa, semua barang masih ada di tempatnya. Jolowok mencoba menelepon, tapi handphone istrinya tidak aktif. "Ah, paling-paling ke Mall dengan anak-anak. Kebetulan.", gumam Jolowok. Ia berniat menemui Hoyi yang sudah hampir seminggu tidak dikunjunginya. Kepergiannya itu akan digunakannya sebagai alasan mencari istri dan kedua anaknya. Rasa cinta dan kangen pada selingkuhannya yang membuta telah membuat diri </span><span id="fullpost">Jolowok </span><span id="fullpost">kehilangan nurani dan logika yang sehat.<br />
<br />
Jam masih menunjukkan pukul 7 malam ketika Jolowok sampai di pantai Marunda yang mulai ramai pengunjung. Deburan ombak berbaur suara karaoke Ratih Purwasih menyambutnya memasuki warung remang si Menor. Dua-tiga pelanggan dan pasangannya terlihat asyik berduaan di sudut-sudut ruangan, tapi tak kelihatan sosok Hoyi, juga sosok si Menor.<br />
<br />
"Pasti nungguin di bilik.", batin Jolowok penuh keyakinan.<br />
<br />
Hatinya yang sudah dikuasai nafsu asmara itu mendorongnya untuk melangkah cepat-cepat menuju bilik, tak sabar. Sampai di depan bilik, dengan cepat Jolowok menyibak tirai sambil tersenyum lebar. "Aku datang, say...", </span><span id="fullpost">Jolowok</span><span id="fullpost"> tak mampu melanjutkan kata-katanya. Senyumnya lenyap, langkahnya tertahan, dan wajahnya pucat membeku. Di keremangan bilik berlampu 5 watt itu, tampak istrinya duduk di dipan bambu sambil menyeringai. Tangannya yang memegang sebilah pisau dapur dilambai-lambaikan ke arahnya, memberi tanda agar mendekat. "Sini, sini mas, duduk dekat sini. Biar mudah aku memotongnya!", seru sang istri lembut mengancam.<br />
<br />
Tiba-tiba </span><span id="fullpost">Jolowok</span><span id="fullpost"> merasakan tubuhnya ringan, melayang, hanyut dalam irama nyanyian karaoke Ratih Purwasih, dan meluruh bersama debur ombak pantai Marunda.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-15048445742655209312009-10-10T16:03:00.000+07:002010-02-14T01:19:49.821+07:00Kukila<div style="text-align: justify;">Seorang lelaki tua berlari-lari sepanjang jalan Pemuda di tengah hari bolong di bawah terik matahari yang membakar kota Jakarta. Peluh mengalir membanjiri sekujur tubuhnya. Sebuah tas kecil menggantung di pundaknya yang kurus. Tangan kirinya memegang sangkar berselubung kain hitam tipis. Tangan kanannya melambai-lambai ke udara, dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "<span style="font-style: italic;">Kyai</span>, <span style="font-style: italic;">Kyai</span>, turun <span style="font-style: italic;">Kyai</span>!".<span id="fullpost"><br />
<br />
<hr /><br />
<br />
"Aku bangga padamu, <span style="font-style: italic;">Le</span>", kata Ki Bayan tersenyum pada anaknya, Joko Umbaran, saat keduanya duduk-duduk di teras rumah menikmati malam purnama sebulan yang lalu. Joko Umbaran diam, matanya menatap kedua anaknya yang ceria bermain <span style="font-style: italic;">Gobak sodor</span> bersama sepupu-sepupu mereka di halaman. Liburan sekolah hampir berakhir, kemarin pagi Joko Umbaran datang dari Jakarta untuk menjemput kedua anaknya yang sedang liburan di rumah <span style="font-style: italic;">eyang</span>nya yang berada di lereng selatan Gunung Lawu yang terpencil itu.<br />
<br />
"Kamu sudah <span style="font-style: italic;">mriyayeni</span>, melebihi derajat Bapakmu yang cuma <span style="font-style: italic;">wong nggunung </span>ini.",lanjut Ki Bayan sambil menyalakan rokok <span style="font-style: italic;">klobot </span>kemenyan kesayangannya. Bau tembakau campur kemenyan dengan segera memenuhi udara, tapi Joko Umbaran sudah terbiasa dengan bau itu sejak kecil.<br />
<br />
"Kekuranganmu tinggal satu, <span style="font-style: italic;">kukila</span>.", kata Ki Bayan sambil menatap serius wajah anak sulungnya yang kini sukses menjadi seorang pengusaha di Ibukota.<br />
<br />
"Kamu sudah memiliki wisma, wanita, <span style="font-style: italic;">turangga</span>, dan <span style="font-style: italic;">curiga</span>. Tapi belum memiliki <span style="font-style: italic;">kukila</span>"<br />
<br />
"Besok sore, bawalah Kyai Godheg Sonto, perkutut kesayangan Bapak besertamu ke Jakarta"<br />
<br />
"Tapi Pak, seperti yang Bapak ketahui, saya tidak memiliki bakat memelihara binatang, apalagi burung. Apakah tidak menyengsarakan <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> bila tak terurus nantinya?", Tolak Joko Umbaran dengan halus. Di rumahnya yang besar di Jakarta, Joko Umbaran memang punya banyak pembantu, tapi ia paham betul melihara burung perkutut itu tidak mudah, tidak bisa diserahkan ke sembarang orang.<br />
<br />
"Le, hidupmu belum sempurna bila belum memiliki <span style="font-style: italic;">kukila</span>." tegas Ki Bayan. "Besok bawalah Kyai Godheg Sonto bersamamu". Kalimat itu adalah perintah yang tak lagi membutuhkan bantahan. Joko Umbaran tahu betul sangat sulit menolak keinginan Bapaknya yang punya kemauan keras.<br />
<br />
"Sudah malam <span style="font-style: italic;">Le</span>, Istirahatlah. Suruh tidur kedua cucuku itu. Besok kamu masih harus membawa mobil ke Jakarta. Lain kali <span style="font-style: italic;">mbok ya</span> bawa sopir, mosok <span style="font-style: italic;">priyayi </span>kok bawa mobil sendiri"<br />
<br />
Keesokan harinya Joko Umbaran bersiasat. Ia penuhi mobil Serenanya dengan barang oleh-oleh sebanyak mungkin: pisang, mangga, kripik belut, emping mlinjo, <span style="font-style: italic;">karak rambak</span>, kulit tahu goreng, intip goreng, rasikan, brem, wajik, jadah, wingko babat, tape ketan, batik, wayang, souvenir, pokoknya apa saja berdus-dus banyaknya memenuhi bagasi belakang, sehingga tidak memungkinkan sesentipun celah untuk Kyai Godheg Sonto beserta sangkarnya masuk ke dalam Serena kesayangannya. Ruangan yang tersisa hanyalah cukup untuk keluarganya berlima dengan pembantunya.<br />
<br />
Akhirnya Ki Bayan menyerah. Ia naikkan lagi sangkar <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> di tiang bambu depan rumahnya.<br />
<br />
"Adikmu si Taruna akan mengantarkan <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> ke rumahmu besok hari Rabu <span style="font-style: italic;">Legi.</span>" Kata Ki Bayan masih semangat.<br />
<br />
"Hidupmu belum sempurna bila belum memiliki <span style="font-style: italic;">kukila</span>." seru Ki Bayan sambil melambaikan tangannya ke arah mobil yang melaju pelan menuju Jakarta sore hari itu. Ki Bayan masih berharap anaknya benar-benar menjadi <span style="font-style: italic;">priyayi</span> yang sempurna.<br />
<br />
Maka tibalah hari Rabu <span style="font-style: italic;">Legi</span> itu, hari yang dianggap baik untuk mengantar Kyai Godheg Sonto ke Jakarta. Tapi sehari sebelum hari baik itu, Taruna justru sakit. Badannya lemas, muntah dan mencret sepanjang malam. Ki Bayan ragu untuk menunda pengantaran. Ia sudah terlanjur menentukan hari Rabu Legi dan Ki Bayan tak ingin Joko Umbaran menganggap bicaranya tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin keluarga priyayi bicara m<span style="font-style: italic;">encla-mencle</span>.<br />
<br />
Hari itu, Ki Bayan mencari orang yang mau menggantikan Taruna mengantar Kyaine ke Jakarta. Kalau tidak mau sebagai kurir, paling tidak ada orang yang mau menemaninya bila terpaksa ia sendiri yang harus mengantar Kyaine. Namun hingga tengah hari tak ada seorangpun yang bersedia.<br />
<br />
"Kami takut tersesat Ki Bayan, kami kan belum pernah ke Jakarta.", elak orang-orang dengan muka serius. Namun alasan yang sebenarnya adalah kebencian mereka atas kesombongan Ki Bayan yang senang memamerkan kesuksesan Joko Umbaran secara berlebihan dan merendahkan orang-orang di desanya sendiri.<br />
<br />
Sore hari itu Ki Bayan berangkat sendirian. Sebuah tas kecil berisi pakaian ganti dan makanan perkutut menggantung di pundak tuanya. Di tangan kanannya, terpegang erat sangkar <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> berselubung kain hitam yang tipis, untuk melindungi <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> dari segala gangguan luar.<br />
<br />
"Jangan lupa telpon lagi masmu, besok suruh jemput Bapak di Pulogadung", pesan Ki Bayan pada Taruna yang masih <span style="font-style: italic;">klenger</span>.<br />
<br />
Sejak semalam Ki Bayan mencoba menelepon ke Jakarta tapi selalu <span style="font-style: italic;">tulalit</span>. Tidak handphone, tidak juga telepon rumah. Tapi rasa bangga pada anak sulungnya membuat Ki Bayan tetap berangkat.<br />
<br />
"Ah, nanti saja di Pulogadung ditelpon lagi. Toh aku sudah tahu alamatnya dan pernah ke sana.", batin Ki Bayan penuh rasa percaya diri.<br />
<br />
Ki Bayan dan keluarganya tak pernah tahu, Joko Umbaran sengaja memblok semua telepon masuk dari luar kota pada H-7 dan H+7 menjelang dan sesudah hari Rabu <span style="font-style: italic;">Legi</span> untuk mencegah Bapaknya mengantar Kyai Godheg Sonto.<br />
<br />
Satu-satunya alat transportasi dari desanya yang langsung menuju Jakarta adalah sebuah bus ekonomi AC yang mangkal di Pasar Kancil tiga kilometer dari rumahnya. Bus itu berangkat ke Jakarta setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat jam 4 sore.<br />
<br />
Masalah pertama muncul ketika Kondektur meminta Ki Bayan menaruh burungnya di bagasi. Tentu saja Ki Bayan mencak-mencak.<br />
<br />
"Kamu mau menyengsarakan <span style="font-style: italic;">Kyaine</span>?", seru Ki Bayan kepada Kondektur dengan nada tinggi.<br />
<br />
Sang Kondektur tak melayani adu mulut, karena sebenarnya itu hanya taktiknya untuk menambah keuntungan. <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> boleh dibawa masuk ke bus dengan catatan harus beli satu tiket lagi dan Ki Bayan harus duduk di deretan kursi paling belakang. Tak ada pilihan lain bagi Ki Bayan.<br />
<br />
Setelah menunggu lama, akhirnya Bus berangkat juga menjelang maghrib. Tapi bus tidak langsung menuju Jakarta. Bus itu mampir-mampir dulu ke segala tempat dan sering berhenti di mana saja mengambil penumpang satu dua. "Bisa nggak setoran pak, kalo penumpang nggak penuh", dalih sopir bus saat diprotes Ki Bayan. "Hari gini, jarang orang ke Jakarta pak", tambah sopir membela diri.<br />
<br />
Duduk di deretan bangku paling belakang ternyata tidak nyaman. Pertama, suara mesin bus yang bising membuat Ki Bayan tak bisa istirahat. Kedua, suhu mesin yang panas membuat duduk Ki Bayan tak nyaman. AC bus itu ternyata hanya meniupkan angin biasa belaka. Ketiga, saat melewati lubang atau jalan rusak, Ki Bayan dan <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> terpental-pental tak karuan sehingga tumpahlah air minum dan makanan Kyaine, membasahi dan mengotori kursi. Tapi Ki Bayan tak mungkin menyuruh sopir memelankan bus.<br />
<br />
Di tengah perjalanan, bus berhenti di restoran dan semua orang turun untuk makan. Ki Bayan kebingungan. Perutnya lapar dan ia ingin buang air kecil, tetapi apa pantas makan sambil membawa sangkar burung. Bila <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> ditinggal, jangan-jangan dicuri orang.<br />
<br />
Karena tak tahan menahan buang air, akhirnya Ki Bayan turun juga dari bus sambil menenteng sangkar. Urusan buang air tidak masalah, karena Kyaine bisa dititip ke penunggu toilet. Tapi giliran mengantri nasi, terpaksa Ki Bayan menunggu di antrian terakhir dan duduk makan menyendiri. Sangkar <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> diletakkan di kursi sebelahnya seperti istrinya sendiri.<br />
<br />
"Bawa burung aja lagaknya kayak bawa emas sekarung. Dasar <span style="font-style: italic;">wong nDeso</span>!", rerasan orang-orang geli melihat Ki Bayan yang <span style="font-style: italic;">paranoid</span>.<br />
<br />
Kejadian itu terulang kedua kalinya saat bus berhenti untuk sarapan pagi.<br />
<br />
Akhirnya bus memasuki terminal Pulogadung tengah hari. Tapi tak ada satu orangpun yang menjemput, tidak anaknya tidak juga orang suruhan anaknya.<br />
<br />
"Mungkin Taruna masih sakit dan belum telpon", batin Ki Bayan menenangkan diri. Tapi ketika Ki Bayan menelepon, yang menerima adalah pembantu baru yang tidak dikenalnya dan tidak tahu menahu. Ki Bayan menjadi murka dan tak sabar, HP anaknya masih juga tidak bisa dihubungi.<br />
<br />
"Sudahlah, langsung saja ke rumahnya. Paling tidak aku bisa segera <span style="font-style: italic;">ngopeni Kyaine</span> disana.", sungut Ki Bayan jengkel.<br />
<br />
Setelah <span style="font-style: italic;">mbayoni</span> burung perkututnya, Ki Bayan naik mikrolet jurusan Senen. Dengan segera masalah muncul ketika penumpang mulai penuh. Terpaksa Ki Bayan memangku sangkar <span style="font-style: italic;">Kyaine</span> dengan susah payah. Bau kotoran Kyaine memenuhi mikrolet di siang hari terik itu. Para penumpang mulai menutup hidung dan memandang tajam bergantian ke wajah Ki Bayan dan sangkar burungnya, tapi tak sorangpun yang berkata-kata. Semua kaca jendela dibuka, tapi tak banyak membantu, bahkan sisa-sisa kotoran yang melekat di sangkar mulai beterbangan diterpa angin.<br />
<br />
Mikrolet berjalan kencang, sesekali menerobos jalur busway berlomba dengan mikrolet lain berebut rezeki di jalanan yang panas.<br />
<br />
"Cciiiitttt!", tiba-tiba mikrolet direm mendadak. Sebuah sepeda motor memotong jalan. Penumpang yang berhimpitan terpental. Sangkar terlepas dari pegangan Ki Bayan, menyerempet, membentur kepala para penumpang, melayang menuju pintu, dan terlempar ke luar mikrolet. Pintu sangkar terbuka dan Kyai Godheg Sonto terbang keluar sangkar.<br />
<br />
"Bangsat!!!", sopir meneriaki motor yang kabur.<br />
<br />
"Setan!!!", maki para penumpang. Wajah dan baju mereka basah oleh tumpahan air minum dari sangkar.<br />
<br />
"Manukku!!", Ki Bayan melompat keluar. Tangan kirinya sigap menyambar sangkar, kaki tuanya bergerak cepat, berlari memburu Kyaine yang terbang menjauh. Lelaki tua itu terus berlari dan berlari sepanjang jalan. Tangan kanannya menggapai-gapai ke udara dan dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "<span style="font-style: italic;">Kyai</span>, <span style="font-style: italic;">Kyai</span>, turun <span style="font-style: italic;">Kyai</span>!".</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-13352675527057026142009-10-03T22:30:00.000+07:002010-02-14T01:19:24.960+07:00Mbah Jenderal<div style="text-align: justify;">Entahlah, siapa yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Jenderal. Yang jelas nama sebutan itu sudah melekat padanya sejak ia mulai memiliki daya ingat puluhan tahun yang lalu. Mungkin sebutan itu dinisbahkan pada namanya yang sama dengan salah satu nama Jenderal Pahlawan Revolusi, atau mungkin juga disebabkan karena cita-citanya di masa kecil yang ingin menjadi seorang Jenderal di kelak kemudian hari, sebuah cita-cita yang mengherankan semua orang pada masa itu. Pertama, ia tidak memiliki family dari kalangan militer. Kedua, semua anak kecil pada saat itu bercita-cita menjadi seorang dokter.<span id="fullpost"><br />
<br />
Mula-mula Sang Jenderal memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Ia berusaha untuk bertindak disiplin dalam berbagai hal dan berusaha untuk menjadi manusia yang bertubuh tegap, sehat, dan kuat. Untuk itu Sang Jenderal rajin mengikuti olah raga bela diri sejak duduk di bangku SMP. Sang Jenderal juga rajin belajar dan rajin membaca berbagai artikel kemiliteran, mengikuti berita kemiliteran, bahkan rajin menonton kegiatan tentara yang sedang latihan di barak militer di seberang komplek rumahnya.<br />
<br />
Demikianlah, kedisiplinannya menyebabkan Sang Jenderal tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat, kuat, cerdas, dan pandai bicara. Garis keturunannya yang memiliki setetes darah Belanda telah mengukir kegantengan parasnya dengan sempurna. Satu-satunya hal yang mengkhawatirkan semua anggota keluarganya, dan juga teman-teman lelakinya adalah kegemarannya pada wanita cantik. Untuk urusan yang satu itu Sang Jenderal benar-benar kacau dan keterlaluan. Pertama, Sang Jenderal diketahui telah "berusaha" untuk pacaran pada kelas lima SD. Kedua, memiliki pacar adalah hal yang wajar, tapi gonta-ganti pacar?<br />
<br />
Namun cita-cita Sang Jenderal pupus sejak kecelakaan sepeda motor yang dialaminya saat ia duduk di bangku SMA. Biasalah, anak laki-laki, duduk di bangku SMA, punya motor RX-King. Ngapain lagi kalo nggak balapan liar. Kecelakaan itu telah menyebabkan kaki kirinya menjadi tak sempurna. Ia tidak lagi bisa berlari jauh dan cepat, sehingga tak mungkin baginya menjadi seorang tentara. Tapi kecelakaan itu tak mampu menyembuhkan penyakit playboy-nya, bahkan sejak peristiwa itu Sang Jenderal seperti kehilangan arah, kegemarannya bergonta-ganti pacar semakin menggila .<br />
<br />
Menginjak masa kuliah, hobby Sang Jenderal tak juga berkurang. Perkenalannya dengan lebih banyak wanita dari berbagai penjuru negeri semakin membuatnya keranjingan. Dan ia mulai berani mencicipi apa yang seharusnya dilarang. Satu demi satu, mahasiswi cantik yang lengah terpedaya. Kepiawian Sang Jenderal dalam hal rayu-merayu telah merontokkan benteng pertahanan wanita yang tak tahan godaan. Dan pelan tapi pasti, bunga-bunga kampus pudar layu berguguran, laksana meranggas-gugurnya daun jati di musim kemarau panjang.<br />
<br />
Langkah kotor Sang Jenderal makin melaju tak terbendung, sampai pada suatu hari di musim ospek, matanya tertumbuk pada Jane, mahasiswi yang segala sesuatunya serupa dengan profil bidadari tercantik di kahyangan para Dewata. Sungguh, Jane memang mahasiswi yang indah. Rambutnya hitam kemerahan lurus tergerai, berponi, melambai tertiup angin bak jatuhan air terjun Cibereum yang elok. Matanya belok bening berkilat, kemerlip bak berlian di mahkota para raja. Bibirnya, pipinya, anunya, wuah pokoknya semuanya memiliki perumpamaan yang sempurna. Hati Sang Jenderal menggeliat, meronta, menjerit sekencang-kencangnya memunculkan nafsu keserakahannya pada wanita. Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sang pacar lama dicerai, dan Jane resmi menjadi pacar baru Sang Jenderal.<br />
<br />
Belakangan, Sang Jenderal terbentur kenyataan, bahwa memacari gadis jelita seperti Jane bukanlah perkara yang mudah. Halangan terbesar muncul dari Bung Waong, ayah Jane yang galak, bermata kemerahan, dan jauh lebih berandalan dibanding Sang Jenderal. Pengalaman Sang Jenderal selama ini tak mempan melawan Bung Waong yang super dahsyat itu. Kalah ilmu, kalah pengalaman, kata orang. Akhirnya acara pacaran dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tapi Bung Waong tak bisa dikibuli. Sang Jenderal benar-benar mati kutu. Otaknya segera berputar cepat mencari jalan keluar. Namun segala cara kandas di tangan Bung Waong dengan mudahnya.<br />
<br />
Sang Jenderal mulai sakit hati dan putus asa. Kebenciannya pada Bung Waong pada akhirnya berbuah niat buruk untuk membalas dendam. Ia segera mengatur siasat.<br />
<br />
Malam Minggu itu Sang Jenderal berhasil membawa kabur Jane dari rumahnya. Ia beruntung karena Bung Waong sedang menjenguk Boss-nya di rumah sakit. Mula-mula mereka makan bakso di Senayan, kemudian pacaran dilanjutkan di Citos, kemudian putar-putar tak tentu arah tujuan, lewat Ragunan, lewat Pasar Minggu, berhenti makan buah di jembatan layang Pasar Rebo, kemana saja. Menjelang jam sembilan malam, Jane yang lugu itu dibawa ke rumah mbah Bawuk, janda gendut mendekati kepala enam, mantan tetangga Sang Jenderal yang tinggal di pinggiran Jakarta.<br />
<br />
Mbah Bawuk sudah hapal benar kelakuan Sang Jenderal, karena Jane bukanlah yang pertama. Tapi mbah Bawuk cuek aja. Yang penting dirinya mendapat uang untuk menyambung kehidupannya. Setelah basa-basi sejenak dan menyuguhkan dua gelas sirup dingin, mbah Bawuk meninggalkan keduanya di ruang tamu, pergi entah kemana dan Sang Jenderalpun mulai kasak-kusuk merayu Jane yang jelita.<br />
<br />
Yang namanya gadis lugu melawan bandot, tentulah tak seimbang. Gempuran rayuan maut Sang Jenderal bertubi-tubi menerpa benteng pertahanan hati Jane yang masih lemah kurang pengalaman. Hati Sang Jenderal bersorak riang ketika membaca gelagat, bahwa Jane sudah termakan oleh bujuk-rayuannya. Ia yakin sebentar lagi sirup dingin mbah Bawuk segera bekerja melenakan Si Jelita. Sang Jenderal berdiri, tangannya menggandeng Jane dibimbingnya menuju kamar, tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya kabur berkunang-kunang. Dalam sekejap Sang Jenderal terjatuh di sofa panjang dan menggelinding ke lantai tak sadarkan diri.<br />
<br />
<hr /><br />
Suara orang ramai menggedor-gedor pintu membangunkan Sang Jenderal. Ia mencoba mengenali keberadaan dirinya. Masih dengan pandangan setengah kabur, Sang jenderal terperanjat mendapati dirinya di tempat tidur disamping mbah Bawuk tanpa selembar benangpun. Ia mencoba melompat turun dari tempat tidur, namun kepalanya yang masih pusing membuatnya jatuh terjerembab ke lantai.<br />
<br />
"Braakkkk!!", pintu kamar berhasil dijebol dari luar.<br />
<br />
Puluhan orang menyerbu masuk ke kamar sambil berteriak-teriak. Tak sampai satu jam kemudian, di malam Minggu yang sial itu, resmilah Sang Jenderal menjadi suami mbah Bawuk.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-33055720394945569562009-09-26T22:17:00.000+07:002010-02-14T01:18:50.055+07:00Asmaradana<div style="text-align: justify;">Pelan-pelan Bandot memacu motornya menyusuri jalanan Jakarta yang basah oleh bekas air hujan di sore hari itu. Genangan air di sana-sini memantulkan semburat cahaya jingga menandai pergantian siang dan malam. Satu dua bintang bersinar redup menghiasi langit biru di ufuk timur menemani perjalannya pulang dari pesta perkawinan Lea, mantan pacarnya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Bandot merenung dan berusaha memahami arti cinta dan kehidupan.<span id="fullpost"><br />
<br />
Sore hari itu, untuk keduabelas kalinya hati Bandot hancur berkeping-keping saat harus menelan ungkapan, bahwa cinta tidak harus memiliki. Sungguh, lahir batin Bandot sangat tidak menyukai ungkapan itu. Bagi Bandot, ungkapan itu bagaikan momok yang menghantuinya setiap kali dirinya mencintai seorang wanita. Dan berkali sudah Bandot harus menjadi korban ungkapan sial itu.<br />
<br />
Bandot teringat pada tembang Macapat Asmaradana yang sering dinyanyikannya sewaktu SD di kampung halamannya nun jauh di pedalaman tanah Jawa, "<span style="font-style: italic;">Gegarane wong akrami</span> (pedoman orang berumah tangga), <span style="font-style: italic;">dudu bandha dudu rupa</span> (bukan harta, bukan penampilan), <span style="font-style: italic;">amung ati pawitane</span> (modalnya hanya hati), <span style="font-style: italic;">luput pisan kena pisan</span> (kadang sekali jadi, kadang nihil nggak jadi-jadi), <span style="font-style: italic;">yen gampang luwih gampan</span>g (bila mudah, segalanya menjadi sangat mudah), <span style="font-style: italic;">yen angel angel kalangkung </span>(bila sulit, semuanya menjadi serba sulit), <span style="font-style: italic;">tan kena tinumbas arta</span> (tak bisa dibeli dengan uang)". Bandot tak tahu lagi apakah syair tembang itu masih bisa dipercaya kebenarannya.<br />
<br />
"Diinnn diiinnn!!!", klakson Trailer menyadarkan lamunannya. Ia segera membelokkan motornya ke jalur lambat. "Hampir saja.", batin Bandot bersyukur, namun kegalauan hati dan pikirannya tak juga sirna. Masih terbayang jelas dalam angannya, masa-masa indah berpacaran dengan Lea. Touring bersama, berangkat dan pulang kerja bersama, ke Dufan, ke Ragunan, ke Taman Mini, Nonton di PI, jalan-jalan ke Mall selalu berdua dan penuh cinta-kasih. ""Ahhh!!", Bandot menghela nafas panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, dan matanya terasa panas oleh linangan air mata kepedihan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.<br />
<br />
<hr><br />
Setahun yang lalu, Bandot harus merelakan pacar kesebelasnya. Semuanya berawal dari sebab yang itu-itu juga, ketika sang pacar meminta untuk segera menikah. Bandot pusing tujuh keliling, ia tahu tabungannya tak seberapa, masih kost, dan dengan gajinya yang sekarang, Bandot takut tak mampu memimpin bahtera rumah tangga mereka ke taraf sejahtera. "Aku belum siap", Kilah Bandot. "Bagaimana kalo tahun depan?", Bandot mencoba bernegosiasi. Sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Tidak disangka-sangka, empat bulan kemudian datanglah undangan pesta perkawinan pacarnya yang memaksa Bandot untuk kesekian kalinya tegar menyaksikan kekasih hatinya bersanding dengan pria lain. Bandot menghela nafas panjang,"Wahai, begitu cepatnya orang berpindah ke lain hati"<br />
<br />
Sejak saat itu, Bandot bertekat tak mau lagi kehilangan kekasih. "Lea harus menjadi pacar terakhirku. Sebelas kali gagal sudah lebih dari cukup. Lea harus menjadi ibu dari anak-anakku", tekat Bandot semenjak mereka jadian. Maka empat bulan yang lalu, ketika Lea memintanya untuk menikahinya, Bandot menjawab tegas, "Baiklah, dik. Bulan depan kita menikah." Bandot buru-buru mengajukan kredit multiguna ke bank rekanan perusahaannya, lumayanlah 30 juta tanpa agunan pasti cukup untuk biaya pernikahan dan mengontrak sebuah rumah mungil selama dua tahun. Kredit cair dalam dua minggu, dan lamaranpun siap diajukan.<br />
<br />
Dengan hati berbunga-bunga Bandot berangkat ke kampung halamannya untuk menjemput kedua orang tuanya. Bertahun-tahun tak pulang membuat Bandot rindu pada semuanya: pada orang tuanya, sanak saudaranya, teman-teman sepermainannya, sawah-sawah, kebun-kebun, sungai, jalanan, pohon-pohon, sapi-sapi, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bebek-bebek, angsa-angsa, tanah, udara, air, awan, rembulan, matahari, bintang-bintang, langit, semuanya. Dan seluruh kampung halaman seolah bersorak gembira menyambut kedatangannya, Bandot yang orang Jakarta.<br />
<br />
Kampung halaman Bandot masih jauh dari modern, terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan asri. Sawah ladang, kebun, hutan, dan sungai memagari rumah-rumah di perkampungannya. Setelah bertahun-tahun ditinggal ke Ibukota, masih banyak hal yang belum berubah. Semua orang mandi dan mencuci baju di sungai, pagi dan sore hari. Dua hari di kampung halamannya Bandot kembali terbiasa dengan kehidupan masa kecilnya.<br />
<br />
Sore hari itu, Bandot terlihat riang menaiki kerbau pamannya sepanjang jalan setapak menuju sungai untuk dimandikan. "Nostalgia", katanya. Semua orang tertawa, tapi Bandot tak peduli. "Kapan lagi aku bisa naik kerbau, sebentar lagi menikah, naik yang lain!", teriak Bandot setengah bercanda. Dan orang-orangpun kembali tertawa. Ketika melihat Bandot duduk terayun-ayun pelan di punggung kerbau, tiba-tiba semua orang membayangkan Bandot menaiki........, dan tawapun kembali pecah berderai menembus seluruh pelosok desa. Bandot bingung, apa yang sedang ditertawakan orang-orang. Tetapi ketika menyadari gerakan duduknya, Bandot pun terbahak-bahak, lebih keras dari tawa semua orang.<br />
<br />
Sampai di bibir sungai, tiba-tiba rombongan kerbau gaduh dan berlarian, kaget oleh ular sawah sebesar paha yang melintas di jalan setapak itu. Bandot yang tak siap terjatuh dari punggung kerbau, terinjak-injak, terguling-guling, masuk sungai, memar, lecet-lecet, dan patah kaki. Akhirnya, hampir sebulan lamanya Bandot harus menginap di kampung halamannya, lamaran batal, tertunda. Dan selama itu Bandot harus berurusan dengan mbah Waong, dukun patah tulang di desanya.<br />
<br />
Genap sebulan kemudian, Bandot kembali ke Ibukota dengan sisa-sisa uangnya yang semakin berkurang untuk menyumbang saudara misannya yang dua minggu lagi menikah. Ia ragu untuk meneruskan niatnya melamar Lea, uangnya sudah berkurang banyak. Ketakutannya tak mampu menyejahterakan bahtera rumah tangga kembali menjalari hatinya, apalagi sekarang ia terbebani oleh cicilan hutang. Bandot bingung, ia malu berterus terang pada teman-temannya dan juga pada Lea kekasihnya.<br />
<br />
Lea yang menunggu-nunggu dilamar mulai bosan, Bandot yang kebingungan tak juga melamar. Hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Dan tiga bulan semenjak peristiwa itu, sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda mendarat di meja kerja Bandot. "Duhh Gusti.", keluh Bandot, "Ini yang kedua belas kalinya."<br />
<br />
Mendung jingga semakin jelas tergambar di langit biru kota Jakarta mengawali pergantian siang dan malam. Dengan suara pelan tertahan oleh kepedihan hatinya, Bandot menggumamkan Macapat Asmaradana, "<span style="font-style: italic;">Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta</span>". Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib syahdu memecah angkasa raya mengiringi derasnya air mata di pipi Bandot.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-37615934777528187992009-09-19T01:15:00.000+07:002010-02-14T01:18:23.499+07:00Diamput !!!<div style="text-align: justify;">Gareng menarik nafas panjang. Seiring dengan alunan nafasnya, Ia berusaha menata dan mempertajam panca inderanya. Matanya menatap tajam jalan lurus di depannya. Bayangan demi bayangan berbagai peristiwa dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya yang sedang fokus berkonsentrasi. Suara geraman motor di sekelilingnya lambat laun menghilang dari telinganya. Tangannya erat bersiaga menggenggam setang motornya. Pelan tapi pasti hatinya mulai terasa mantap, dan ia merasakan dirinya siap memenangkan balapan tarikan ketujuh malam itu. Enam tarikan pertama telah dimenangkannya dengan gemilang. Tinggal satu kali tarikan lagi, dan uang lima puluh juta rupiah akan berada dalam genggamannya. Ia tahu betul, Koh Li Cheng, sang bandar taruhan, tak pernah mengingkari janjinya.<span id="fullpost"><br />
<br />
Sejak masuk kuliah delapan tahun silam sampai bekerja di sebuah perusahaan swasta saat ini, Gareng hampir tak pernah absen dari aktivitas balapan liar setiap malam minggu di berbagai lokasi. Namanya harum terkenal di dunia bawah tanah balapan liar sebagai <span style="font-style: italic;">The Flash</span>, pembalap yang tak terkalahkan. Dari dunia itu pulalah Gareng mampu membiayai kuliah dan kehidupannya dari berbagai kemenangannya. Semua orang memaklumi bahwa balapan liar tak lepas dari taruhan bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dan setiap Pembalap memiliki harganya sendiri sebagaimana halnya para pemain sepakbola dunia.<br />
<br />
Malam itu, Gareng benar-benar tampil sempurna. Si Cocor Merah, motor RX-King tuanya membabat habis semua lawannya tanpa ampun dengan jarak kemenangan yang cukup jauh. Koh Li Cheng tersenyum puas. Ia tahu, malam itu merupakan malam terakhir jagoannya memberikan keuntungan ratusan juta rupiah padanya. Sebelum balapan, Gareng menyatakan akan mengundurkan diri dari dunia balap liar untuk fokus pada masa depannya. Dan sebagai tanda terima kasih, Koh Li Cheng menjanjikan lima puluh juta rupiah, cash. Hitung-hitung juga sebagai hadiah ulang tahun Sang Pembalap pada hari itu.<br />
<br />
Tak ada seorangpun yang tahu, bahwa sebenarnya Gareng sedang gundah gulana. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya menafsirkan sikap Limbuk, pacar terkasihnya, sebulan belakangan ini. Sejak Gareng serius meminta Limbuk menikah dengannya sebulan yang lalu, Limbuk seperti menjauhi dirinya. Apalagi Gareng mengetahui bahwa sudah beberapa bulan belakangan ini Limbuk terlihat akrab dengan Waong, teman kuliah Gareng yang sekantor dengan kekasihnya itu.<br />
<br />
Gareng menyadari betapa bencinya Limbuk pada balapan liar, dan selama ini kekasihnya itu tak pernah tahu bahwa dirinya adalah salah seorang jawaranya. Gareng curiga, jangan-jangan saat ini Limbuk sudah tahu jati dirinya dari Waong dan kemudian berusaha menjauhinya. Hanya Waong yang selama ini tahu jati dirinya. Keragu-raguan hatinya menimbulkan keinginan untuk jujur pada sang kekasih dan mengakhiri petualangannya di dunia balap liar. Ia yakin kekasihnya pasti akan bersenang hati. Gareng paham betul bahwa tidak ada seorang istripun yang menginginkan suaminya memiliki aktivitas yang membahayakan jiwanya.<br />
<br />
Tapi keinginan untuk berterus terang itu belum juga mendapatkan jalan. Bahkan sudah dua malam Minggu yang lalu Gareng terpaksa harus balik kanan dari rumah sang kekasih yang tak berada di tempat, dan tak bisa dihubungi. Gareng frustasi, pikiran buruknya mulai mengarah ke Waong. Namun hati kecilnya berkeras menuntunnya pada kesabaran. Gareng berjuang melawan sergapan rasa rindu pada kekasih hatinya. Pengalamannya dalam menyingkirkan emosi saat berlaga di arena balap sedikit banyak membantunya mengatasi kegundahan hatinya dari waktu ke waktu.<br />
<br />
Malam Minggu itu Gareng kembali menelan ludah ketika untuk kesekian kalinya harus balik kanan dari rumah sang kekasih. Tapi ia bertekat, besok pagi ia akan menjelaskan semuanya pada kekasih hatinya, ya semuanya, dan ia harus mendapatkan jawaban lamarannya saat itu juga.<br />
<br />
Pikiran kalutnya semakin mendorong Gareng untuk mengakhiri petualangannya di dunia balap liar malam itu juga. Pelan-pelan si Cocor Merah diarahkan ke arena balap. Mulanya Gareng hanya ingin pamitan pada para bandar dan rekan-rekannya, namun tawaran Koh Li Cheng dan bujukan rekan-rekan sejawatnya untuk mengukir prestasi terakhir mampu membelokkan hatinya untuk kembali ke aspal.<br />
<br />
Dugaan Gareng tidaklah meleset. Pada hari yang sama saat ia mengutarakan keinginannya menikahi sang kekasih, Waong membeberkan jati diri Gareng tanpa sepengetahuannya. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan didorong oleh rasa persahabatannya yang tulus. "Hanya kamu yang bisa menghentikannya.", pinta Waong pada Limbuk sore hari itu. Siasatpun diatur. Kejutan disiapkan di hari ulang tahun Gareng. Di hari itu Limbuk akan menerima pinangan kekasihnya di arena balap dan sekaligus menghentikan aktivitasnya itu untuk selama-lamanya. Dan mulailah Limbuk bersandiwara berhari-hari lamanya, sampai saat itu tiba.<br />
<br />
Malam itu langit cerah tak berawan, terang lampu jalanan tak mampu meredupkan kerlipan milyaran bintang di kegelapan angkasa raya. Mercy Waong pelan menyusuri jalanan menuju arena balap, ia dan Limbuk berniat menanti Gareng di ujung track. Tak henti-hentinya keduanya tersenyum membayangkan wajah Gareng saat menerima kejutan. Gegap gempita suara motor yang berlaga di arena mulai terdengar semakin jelas dan semakin keras. Keduanya semakin mendekati arena balap bekas landas pacu yang panjang membentang itu. Senyum Waong dan Limbuk semakin mengembang, diiringi obrolan dan tawa ringan sekali-sekali.<br />
<br />
Di arena balap, tujuh motor melaju beriringan dengan kecepatan sekurang-kurangnya 150 km per jam. Gareng memimpin paling depan, senyumnya mengembang membayangkan wajah Limbuk sang kekasih hati. "Besok kamu akan menjadi milikku", bisik hatinya riang.<br />
<br />
Tiba-tiba sebuah Mercy melintas memotong jalan di depan lintasan pada jarak 100 meter. Lampu si Cocor Merah sekilas menyorot kaca depan mobil yang terbuka, wajah Limbuk sang kekasih hati terlihat jelas disana. Gareng gugup, ia berusaha menghentikan laju si Cocor Merah sekuat tenaga. Decit ban beradu aspal memecah malam, tapi tak juga mampu menghentikan laju si Cocor Merah.<br />
<br />
"Reeeeeeennngggggg!!!!", tak sadar mulutku menjerit keras.<br />
<br />
"Bluuug!"<br />
<br />
Kudapati tubuhku berada di lantai, di bawah tempat tidur.<br />
<br />
"Diampuutt!!"<br />
</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-78781469052567228772009-09-12T20:02:00.000+07:002010-02-14T01:17:29.192+07:00Buntut!<div style="text-align: justify;">Togog yakin betul, bahwa usaha yang dilakukan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil pada akhirnya. Demikian juga pada upayanya yang kontinyu dalam membeli nomor buntut dua minggu sekali, ia yakin, suatu ketika nanti pasti akan menang. Dan kalo sudah begitu, dirinya tidak lagi perlu bekerja. Ia bercita-cita akan membeli beberapa buah becak untuk disewakan, sedangkan dirinya sendiri akan pensiun sebagai tukang becak untuk selama-lamanya.<span id="fullpost"><br />
<br />
Sebagai penggemar nomor buntut, maka secara otomatis, Togog juga seorang penggemar takwil mimpi. Tak heran kalo ia memiliki berbagai macam buku takwil mimpi yang telah menemaninya sejak puluhan tahun yang lalu, sejak ia menjadi seorang penarik becak selepas SMA. tentu saja Togog sudah hampir hapal semua isinya di luar kepala. Selama ini, takwil mimpi buku-buku itu telah banyak membantunya memenangkan nomor buntut. Paling tidak sekali dalam dua bulan Togog memenangkan nomor buntut, walaupun nilainya tidak begitu besar. Kemenangannya yang tak pasti itulah yang membuatnya semakin penasaran, ketagihan, dan getol dalam menggeluti dunia nomor buntut.<br />
<br />
Togog tidak sendirian, hampir semua temannya sesama penarik becak di pinggiran kota besar itu adalah pemain nomor buntut. Bedanya Togog tidak senang berjudi sebagaimana mereka, ia murni pemain nomor buntut. Waktu luang saat menunggu penumpang lebih banyak digunakannya untuk tidur-tidur ayam berharap mendapatkan mimpi bagus, Togog yakin bahwa mimpi orang setengah tidur itu lebih mujarab dibanding mimpi orang yang tidur pulas.<br />
<br />
Sebagaimana sebagian besar pengemudi becak di pinggiran kota itu, Togog juga seorang perantau. Desanya terletak 100 km ke arah pedalaman. Ia pulang sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali, membawa uang penghasilannya untuk istri dan dua anaknya yang menginjak remaja. Di pinggiran kota itu, ia tidak menyewa rumah, pemborosan. Untuk urusan tidur, cukup di becaknya saja atau sekali-kali tidur di pos kamling. Urusan mandi dan cuci pakaian cukup numpang di kelurahan. Begitulah, sudah hampir dua puluh tahun kehidupan seperti itu dijalaninya, bukannya tak ingin berubah, tetapi Togog berpendapat, saatnya saja yang belum tiba, saat ia menang nomor buntut 4 angka sekaligus, dan hanya itulah satu-satunya harapan menuju hidup yang lebih baik.<br />
<br />
Menjadi perantau seperti Togog bukanlah hal yang mudah. Sebagai laki-laki, ia juga punya hasrat yang sama terhadap wanita sebagaimana laki-laki normal lainnya. Walaupun ia mencoba bertahan dan setia, namun lama-lama Togog tergoda juga oleh wanita, seorang janda beranak satu yang masih muda, pedagang tahu di pasar lama yang menjadi langganannya sejak dua bulan terakhir. Walaupun sama-sama menyukai, namun keduanya masih bisa menahan diri, terhalang oleh himpitan perekonomian masing-masing. Puber keduanya yang semakin membara, membuat Togog mulai melupakan anak dan istrinya di kampung. Dan cinta itu membuat Togog semakin rajin bermimpi, menakwilkan mimpi, dan membeli nomor buntut skala besar.<br />
<br />
Demikianlah, pada akhirnya keyakinannya berbuah juga. Sore itu Togog memenangkan nomor buntut sebesar 30 juta rupiah, hasil otik-atik dari gabungan tanggal lahirnya dan tanggal lahir si janda muda. Maka malam itu seluruh tukang becak, bandar buntut dan anak buahnya berpesta kambing guling dan tuak di lapangan bola sampai menjelang subuh. Akibatnya, di pagi harinya, tak ada satu becakpun yang beroperasi, dan kabar berita kemenangan Togog segera tersebar cepat di pinggiran kota itu.<br />
<br />
Untuk pertama kali dalam sejarah kehidupannya, baru kali ini Togog memberikan uang kepada istrinya sebesar 8 juta rupiah, hampir dua puluh lima kali lipat dari jumlah biasanya. Tapi Togog tak berlama-lama di rumah, berbekal uang 20 juta sisanya ia segera kembali ke kota, hasratnya terhadap si janda muda dan keinginannya untuk menjadi juragan becak semakin menggebu-gebu. Tentu saja Togog tak berterus terang, ia hanya menyampaikan keinginannya menjadi pengusaha becak di kota, dan istrinya yang kaya mendadak itu tersenyum merestuinya, ia bahagia memiliki suami yang baik dan setia, dan ia bangga memiliki suami seorang calon pengusaha becak di kota.<br />
<br />
Pertama-tama yang dilakukan Togog sesampainya di kota adalah pensiun sebagai tukang becak. Becak sewaannya itu dikembalikan ke pemiliknya yang sebentar lagi akan jadi saingannya. Kedua, Togog menemui si janda muda untuk menyampaikan maksudnya, ketiga, Togog mengontrak sebuah rumah untuk mendukung cita-citanya, ia ingin punya markas besar untuk armadanya. Keempat, Togog menikahi si janda muda secara sederhana saja. Karena kedekatannya degan oknum kelurahan, semua surat-surat dengan mudah diurusnya. Demikian juga pihak keluarga si janda muda, dengan mudah ditaklukkannya dengan segepok uang. Agar tak mengganggu bulan madunya, si janda segera diboyong ke rumah kontrakannya, sedangkan anak si janda dititipkan ke saudaranya dengan imbalan segepok uang juga. Seminggu kemudian sebuah Vario baru parkir di rumah kontrakan Togog, dibeli secara kredit dan semua surat dibuat atas nama si janda muda sebagai bukti cintanya.<br />
<br />
Kabar Togog menikah lagi akhirnya sampai juga ke telinga istri tuanya. Dan proses perceraian dengan istri tuanya itu berjalan begitu cepat. Lima juta rupiah lagi akhirnya melayang dari kantong Togog untuk urusan yang satu itu. Tapi Togog lega, setidak-tidaknya kehidupan barunya tak lagi terbebani oleh istri dan dua anaknya yang mulai membencinya lahir dan batin.<br />
<br />
Kini uang di tangan Togog tak lagi genap 3 juta rupiah, tapi Togog tak peduli. Ia bertindak seolah-olah sedang membalas dendam terhadap kemiskinannya selama ini. Tiap hari pekerjaannya hanya pacaran saja dengan istri barunya. Ia telah lupa pada tujuannya untuk menjadi seorang juragan becak. Uangnya kian menipis dari hari ke hari, dan satu-satunya harapannya adalah kembali ke nomor buntut. Tapi keberuntungan agaknya tak lagi menyertainya, sudah tiga bulan ini ia tak juga menang satu kalipun, dan uangnya semakin menipis.<br />
<br />
Menginjak bulan kelima, uangnya benar-benar habis dan nomor buntutnya tak juga membuahkan kemenangan. Togog kebingungan membiayai hidup dan cicilan motornya yang sudah menunggak dua bulan, apalagi istrinya kini sedang hamil muda. Ia mencoba bergabung dengan tukang ojek di ujung jalan, tapi karena harus membayar uang administrasi satu juta rupiah, Togog mundur. Ia mencoba menjadi ojek mandiri di mana saja ada kesempatan, di pasar, di stasiun, di terminal, di mana saja. Tapi menjadi ojek mandiri tidaklah mudah, karena semua tempat sudah diduduki oleh organisasi ojek setempat. Togog bertambah bingung, uang penghasilan dari ngojek tak cukup untuk mencicil motornya. Begitulah, menjelang akhir bulan keenam, Vario itu ditarik dealer.<br />
<br />
Istri Togog mulai uring-uringan saban hari, ada-ada saja masalahnya. Togog mencoba bekerja serabutan, menjadi kenek tukang batu, kuli di pasar, penjaga malam pengganti, tukang cuci motor, tapi tak ada satupun yang cocok baginya. Makin hari, hari kelahiran anaknya semakin dekat dan semakin dekat. Togog semakin bingung, akhirnya ia kembali lagi ke pekerjaan lamanya sebagai tukang becak.<br />
<br />
Malam itu Togog termangu menunggu penumpang di becaknya, pikirannya melamunkan perjalanan hidupnya. Ia merasa betapa kehidupannya kembali lagi dari awal seperti dua puluh tahun yang lalu. Tiba-tiba ia merasa rindu pada mantan istri dan anak-anaknya di desa. Togog mendesah pelan, tak mungkin ia kembali ke masa lalu. Satu-satunya harapan yang tersisa di hatinya adalah memenangkan kembali nomor buntut itu sekali lagi. Dan matanya mulai terpejam mencari mimpi-mimpi baru untuk nomor buntut berikutnya.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-85468420121700142012009-09-05T16:01:00.000+07:002010-02-14T01:17:12.576+07:00Kampanye<div style="text-align: justify;">Pak Boss benar-benar <span style="font-style: italic;">nervous</span> berat pagi itu. Sejak semalam dirinya nggak bisa tidur. Pikirannya berusaha keras menciptakan tema dan rencana urut-urutan topik yang layak diucapkan, dan hatinya sibuk mereka-reka dan membakukan gaya bicara dan bahasa tubuh yang akan digunakannya untuk berorasi. Yup! Siang hari itu Pak Boss harus tampil di podium, berbicara perkara politik di depan massa untuk pertama kalinya sebagai caleg dari Partai Anu dalam sebuah kampanye akbar di lapangan sepakbola di pinggir kota.<span id="fullpost"><br />
<br />
Sebagai seorang juragan ayam potong dan ayam petelur yang tersohor di daerahnya, sebenarnya Pak Boss sangat fasih berbicara dan terbiasa menghadapi orang banyak. Tetapi karena tingkat pendidikannya yang rendah dan ketidakpeduliannya pada masalah politik selama ini, mau nggak mau Pak Boss mesti banyak belajar. Dan semakin banyak belajar, semakin ia menyadari betapa masih banyak langit di atas langit, itulah yang membuat Pak Boss grogi kalo bicara politik.<br />
<br />
Dalam Pemilu tahun ini, Pak Boss didaftar dan lolos sebagai caleg sebuah partai baru. Dan Pak Boss sangat bersemangat bergabung dalam Partai Anu yang masih baru itu, soalnya pengusaha kaya seperti pak Boss itu telah sampai pada tahap pencarian jati diri melalui popularitas dan kedudukan alias jabatan. Lagipula, sekarang ini di belakang namanya telah bertengger huruf MM berikut semua sertifikat yang diperlukan yang dibelinya dengan sejumlah uang yang cukup.<br />
<br />
Berbulan-bulan lamanya Pak Boss menempa dirinya dengan ilmu kecalegan dan politik. Selain dibina oleh partai, Pak Boss juga menyewa beberapa mahasiswa jurusan sospol tingkat akhir untuk mengajarinya berbagai hal menyangkut seluk-beluk politik negeri ini. Sungguh, tidak mudah bagi orang seusianya untuk belajar hal-hal baru, apalagi kalo sudah menyentuh masalah hapal-menghapal. Lha iya to, setidak-tidaknya Pak Boss harus tahu perjalanan politik bangsa ini sejak jaman kerajaan Medang Kamulan sampai saat ini dengan segala teorinya.<br />
<br />
Sejak pagi hari, massa pendukung yang sebagian besar adalah para tetangga, sanak saudara, dan pegawainya sendiri mulai berdatangan, berkumpul di halaman rumah Pak Boss yang luas. Sebagian besar naik motor dan ada juga yang berjalan kaki. Pak Boss menyediakan angkutan berupa dua buah truk dan dua buah pickup yang biasanya digunakan untuk mengangkut ayam atau telor. Panitia mulai mendaftar peserta dan membagikan kupon. Tentu saja, panitia cukup pintar untuk tidak memberikan amplop di awal kegiatan karena setelah menerima amplop, biasanya peserta kampanye kabur begitu saja pulang ke rumah sambil membawa sate untuk keluarganya.<br />
<br />
Hari itu rumah Pak Boss benar-benar heboh untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, mengurusi diri sendiri dan mengurusi urusan orang lain, bersiap-siap melakukan kampanye menuju lapangan yang berjarak 10 km dari rumah Pak Boss. Didorong oleh rasa senang dan kebanggaannya, Pak Boss telah menginstruksikan kepada seluruh anggota keluarganya, sanak saudaranya, dan segenap pegawainya tanpa kecuali untuk pergi kampanye ke lapangan. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, betapa Pak Boss tidak hanya piawi dalam bisnis ayam, tetapi juga seorang orator ulung yang dapat disetarakan dengan Bung Karno.<br />
<br />
Akhirnya iring-iringan kampanye diberangkatkan juga, paling depan adalah iring-iringan sepeda motor, disusul kemudian oleh barisan mobil. Pak Boss berada di mobil Alphard hitam di posisi terdepan bersama segenap keluarganya. Iring-iringan itu pelan-pelan meninggalkan rumah dan peternakannya dalam keadaan kosong melompong tanpa penjagaan.<br />
<br />
Di lapangan telah berkumpul massa dari berbagai penjuru. Pak Boss harus mengikuti acara kampanye dari awal. Dan menunggu waktu pidato adalah sebuah siksaan berat bagi Pak Boss, walaupun wajahnya tersenyum cerah dan kakinya masih menginjak bumi, namun sebenarnya pikiran dan hatinya gamang melayang tak menentu oleh rasa cemas, gugup, takut, bangga, dan senang. Keinginannya untuk melakukan orasi total dan mengagumkan semua orang semakin kuat. Tetapi menghadapi massa hiruk-pikuk yang sedemikian banyak, membuat hatinya terbelah antara keinginan dan ketakutan, dan itu menjadi beban mental yang luar biasa. Pikirannya mulai panik, dan otaknya mulai lupa pada semua rancangan orasinya. Berkali-kali ia menyeka wajahnya yang berpeluh, berusaha menenangkan diri dan mengingat-ingat semua hapalannya. Ia semakin gugup saat massa di lapangan gegap gempita menyahut setiap yel-yel partai yang disampaikan sang protokol.<br />
<br />
"Maaf Pak Boss, Bapak Camat menginstruksikan untuk dijemput. Mohon ijin pinjam mobil Bapak.", seorang lelaki rapi bertubuh tegap berambut cepak berpakaian hitam-hitam layaknya searang ajudan dengan emblem partai terselip di dada berkata dengan nada berat penuh wibawa.<br />
<br />
"Silahkan-silahkan.", jawab Pak Boss gugup sembari menyerahkan kunci Alphardnya sambil tersenyum sebisanya. Rasa senang dan bangganya semakin bertambah mendengar Pak Camat akan menghadiri kampanye akbar itu, namun di sisi lain, muncul rasa ketakutannya bila salah-salah dalam berorasi di depan Pak Camat, dan hal itu menjadi masalah baru di hatinya. Kegalauan hati dan pikirannya dengan cepat melalaikan segenap kewaspadaannya.<br />
<br />
Begitu lagu mars partainya selesai dikumandangkan, maka Pak Boss segera maju ke podium disambut gemuruh yel-yel dan tepuk tangan massa. Kegugupannya menghambat langkah kakinya yang terasa bersepatu besi seberat satu ton, tangannya gemetar memegang <span style="font-style: italic;">mike,</span> pandangannya nanar mengarah ke langit mencoba menghindari menatap massa, tapi hal itu tak menolongnya dari kegugupan. Keringatnya mengalir semakin deras. Ia mencoba menguatkan hati dan jiwanya. Tiba-tiba ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, mulutnya mencoba meneriakkan yel-yel partai, tetapi kegugupannya menyebabkannya keseleo lidah. Seluruh massa tertawa. Wajah Pak Boss merah padam, ia coba lagi berteriak, tapi salah lagi. Seiring dengan tawa massa yang semakin gemuruh, tubuh Pak Boss jatuh berdebum mencium lantai podium, ia pingsan karena malu tanpa seorangpun yang sempat memeganginya.<br />
<br />
<hr /><br />
Pak Boss dan keluarganya pulang ke rumah dengan perasaan hancur, apalagi saat mengetahui rumah dan peternakannya dalam kondisi acak-acakan. Di akhir hari itu, setelah dihitung-hitung dengan seksama, Pak Boss kehilangan sebuah toyota Alphard, sebuah tv 29 inc, sebuah tv plasma 50 inc , dua buah vcd player, seperangkat home teather, uang tunai 1 milyar rupiah dan sejumlah perhiasan yang disembunyikan di bawah almari di dalam kamarnya, satu set sofa mewah, sebuah piano, tiga ikan arowana merah dan dua perkutut kesayangannya, tiga ribu ekor ayam, dan satu ton telur ayam.<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<span style="color: rgb(51, 102, 255);">>>><a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2009/03/mau-tidak-mau-denmas-guscul-harus.html"> Sayembara</a></span><br />
<hr /><br />
</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-8943518962259570172009-08-27T16:23:00.000+07:002010-02-14T01:16:47.459+07:00Boneka Barbie untuk si Adik<div style="text-align: justify;">Hari masih pagi ketika hujan rintik-rintik mengguyur Jakarta. Sinar mentari pagi redup tertutup mendung, seredup hati Sontoloyo yang gundah gulana, bingung, dan marah. Kalender baru menapakkan kakinya di angka sebelas tadi malam, dan di sakunya tinggal tersisa uang tujuh puluh enam ribu rupiah, tidak kurang dan tidak lebih.<span id="fullpost"><br />
<br />
Sebelum berangkat kantor pagi tadi, anak perempuannya yang berulang tahun hari ini kembali menagih janjinya untuk membelikan sebuah boneka Barbie yang pandai menyanyi dan menari yang pernah dilihatnya di Mall sejak dua setengah tahun yang lalu. Janji yang selalu tertunda-tunda dari tahun ke tahun.<br />
<br />
Sontoloyo tersenyum pahit, ia berjongkok, mengusap kepala anaknya, memeluknya, dan berulang kali mencium kedua pipi sang buah hati. "Bapak berjanji akan membawakan Adik sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari malam ini.", Sontoloyo berkata getir sambil kembali memeluk dan menciumi kedua pipi si bungsu. Sang anak berjingkrak kegirangan, berlari-lari melapor neneknya di dapur.<br />
<br />
Sesungguhnya, hampir setiap saat Sontoloyo berduka memikirkan kehidupannya yang tak juga beranjak dari garis merah selama bertahun-tahun lamanya. Pikirannya bingung, tak tahu bagaimana cara merubah kehidupannya. Hatinya marah pada ketidakmampuannya dalam menjamin perekonomian keluarga. Sungguh, ia dan istrinya bekerja sebagaimana orang lain bekerja, namun penghasilan mereka yang pas-pasan dan bahkan seringkali minus, semakin memperberat beban kehidupan mereka dari bulan ke bulan.<br />
<br />
Turun dari bus, Sontoloyo ragu. Ia ingat, hari ini ia harus bayar arisan sebesar lima puluh ribu rupiah. Bila digunakan untuk membayar arisan itu, dan ternyata tidak menang, maka ia tak akan lagi punya ongkos untuk transport bekerja sampai akhir bulan. Sontoloyo sudah berhutang pada semua teman kantornya, maka tak mungkin lagi ia menambah kuota. Kegundahan jiwanya, kebingungan pikirannya, dan kemarahan hatinya kini mencapai puncaknya. Seiring dengan keputusasaannya, sebersit bisikan dari neraka membelokkan langkah Sontoloyo menjauh dari kantornya.<br />
<br />
Langkah Sontoloyo terhenti menjelang pasar. Perhatiannya terpusat pada sebuah toko grosiran di seberang Kelurahan yang ramai dikunjungi pembeli, tak ada tukang parkir di toko itu. Dengan cepat Sontoloyo mengamati dan mempelajari lingkungan sekelilingnya. Sontoloyo segera mengambil posisi, berdiri di depan toko layaknya tukang parkir, menurunkan posisi topinya dan memperbaiki kaca mata hitamnya, menanti kesempatan.<br />
<br />
Sebuah Revo model terbaru berhenti persis di samping Sontoloyo. Dengan masih mengenakan helm, pengendaranya bergegas turun dan setengah berlari menuju toko, tanpa mematikan motor. Seperti ikan kelaparan melihat umpan, Sontoloyo bergerak secepat angin. Dalam sekejap ia sudah duduk di atas Revo model terbaru itu.<br />
<br />
"Kena lu!", batin Sontoloyo saat motor itu berada dalam cengkeramannya. Dengan cepat motor dikebut menjauhi pasar, ia tahu betul harus pergi kemana. Di benaknya sudah terbayang uang satu juta lima ratus ribu rupiah dalam genggaman. Hari ini Ia akan membelikan sang buah hatinya sebuah boneka Barbie yang bisa menyanyi dan menari. Boneka yang akan menjadi kebanggaan anaknya dan belum pernah seorang anakpun di lingkungannya yang memilikinya.<br />
<br />
"Maling! Maling! Maling!", teriakan orang ramai bersahut-sahutan, berestafet, dan memancing berbagai reaksi orang di sepanjang jalan untuk menghentikan Sontoloyo.<br />
<br />
"Bluggg!". Sebuah lemparan batu sebesar kepalan tangan mendarat keras di punggung Sontoloyo. Keseimbangannya hilang, laju motor yang dikendarainya oleng. Sontoloyo terjungkal mencium aspal. Dan dalam sekejap tubuhnya diterjang tendangan dan pukulan orang ramai.<br />
<br />
<hr><br />
<br />
Sementara itu di kantor, segenap rekan kerja Sontoloyo menggerutu menunggu kedatangannya, hanya Sontoloyo seorang yang sampai tengah hari belum juga kelihatan batang hidungnya untuk setor uang arisan. Pada hari seperti itu, memperoleh kepastian siapa yang mendapatkan arisan adalah lebih penting daripada ketemu Presiden. Bagi yang menang arisan, serta-merta nafasnya akan menjadi panjang, dan bagi yang tidak menang arisan akan segera tahu kepada siapa harus mengajukan injury time sampai hari gajian tiba.<br />
<br />
"Biarlah aku yang nombokin dulu.", suara Jeng Susy sang bandar arisan memecah kebekuan suasana.<br />
<br />
"Tapi ingat ya, kalo Sontoloyo yang menang, arisannya buat aku duluan." lanjut Jeng Susy penuh harap, ia juga belum menang arisan sampai saat ini. Semua Peserta setuju, mereka pasrah karena tidak satu orangpun yang berani mengambil resiko itu. Ya kalo Sontoloyo menang arisan hari ini, kalo tidak, bisa rugi besar, ibarat tertusuk gunting, luka di dua tempat. Sudah menjadi rahasia umum adanya, bahwa uang yang sudah dipinjamkan ke Sontoloyo susah ditagih kembali.<br />
<br />
Dan siang hari itu, Sontoloyo benar-benar memenangkan arisan sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah, tunai!</span><br />
</div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-91102331546910466782009-08-22T22:01:00.000+07:002010-02-14T01:16:29.541+07:00Sayembara<div style="text-align: justify;">Mau tidak mau, denmas Guscul harus berlapang dada kehilangan segalanya; ya hartanya, ya harga dirinya, dan mungkin juga pendukungnya. Kekalahannya dalam pemilihan Bupati di Pilkada tahun ini menyisakan puing-puing kebanggaan dan rasa percaya dirinya sebagai seorang calon Bupati. Walaupun pada awalnya denmas Guscul sudah meniatkan dengan sepenuh hati untuk siap kalah, namun tak urung kekalahannya itu membuat dirinya kecewa lahir dan batin. Tapi ia tak tahu harus kecewa pada siapa, kepada partai yang mengusungnya, kepada team suksesnya, kepada para dukunnya, kepada para pendukungnya, atau kepada negerinya.<span id="fullpost"><br />
<br />
Denmas Guscul memeras otak, memikirkan cara mengembalikan harta kekayaannya yang hampir kering untuk dana kampanye dan tetek bengeknya. Ia memang memiliki beberapa perusahaan kecil dan menengah, tetapi dengan kondisi perekonomian yang kurang kondusif saat ini, maka adalah hal yang sudah cukup baik, apabila perusahaannya itu bisa sekedar bertahan hidup.<br />
<br />
Hari itu seluruh anggota keluarga dikumpulkan, istrinya yang asli perempuan Jerman, dan empat anaknya yang semuanya sekolah di Amrik diajak berunding bagaimana memperbaiki perekonomian keluarga. Semua pendapat dan ide mengalir dari otak cemerlang keluarga denmas Guscul, mulai dari ide curang sampai ide halal untuk jangka pendek mapupun jangka panjang, semuanya ditumpahkan dalam diskusi keluarga hari itu. Tapi dari pagi sampai menjelang subuh, tak satupun ide yang berhasil melewati uji kelayakan untuk dijalankan, semuanya beresiko tinggi atau membutuhkan modal yang tidak sedikit. Semua orang terpekur diam mencari ilham. Tiba-tiba Rara Cublak, putri tertua denmas Guscul yang kuliah di UCLA angkat bicara, "Adakan Sayembara Berhadiah!". Dan semua orang yang kelelahan itu terhenyak, seperti bangun dari mimpi.<br />
<br />
Setelah persiapan sebulan lamanya, sayembara itupun diumumkan ke seluruh penjuru negeri, bahkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai media. Sayembara menjawab sebuah pertanyaan berhadiah seorang putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk dijadikan istri!<br />
<br />
Syaratnya mudah saja, berlaku untuk semua orang dari berbagai bangsa yang sudah cukup umur dan cukup duit, tak peduli perjaka, duda, maupun yang sudah menikah. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 500.000,- atau USD 50. Uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun. Mengisi formulir pendaftaran, dan selanjutnya tinggal menjawab sebuah pertanyaan yang dikirimkan melalui surat atau email. Ya, hanya sebuah pertanyaan saja! Dan yang terakhir, keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Dan para jurinya tak tanggung-tanggung, mereka adalah sepuluh Profesor ternama dari berbagai disiplin ilmu dari dalam dan luar negeri.<br />
<br />
Profil Rara Cublak pun beredar dimana-mana; di koran, di majalah, di tv, di radio, dan di internet. Mulai dari profil yang berupa text, foto, sampai video tersedia. Di website resmi sayembara itu bahkan tersedia layanan live chatting dengan Rara Cublak pada jam-jam tertentu. Tentu saja, Rara Cublak pasang aksi elegan dan berusaha semaksimal mungkin untuk menaklukkan hati semua lelaki yang chatting dengannya. Ia ingin membuat kesan, bahwa Rara Cublak adalah perempuan yang nilainya jauh melebihi nilai uang sebesar USD 50 dan sebuah pertanyaan sederhana. Rara Cublak adalah perempuan yang pantas menjadi istri yang baik, seimbang, penyayang, penuh perhatian, penuh cinta, penuh kehangatan, dan kesetiaan.<br />
<br />
Karena hal ihwal mengenai sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu tidak tercantum dalam undang-undang, maka setelah melalui perdebatan yang ramai dan alot, akhirnya malah tak diperlukan ijin dari Depsos. Salah satu penyebabnya adalah, karena tidak mungkin menyerahkan hadiahnya ke depsos apabila hadiah tidak diambil atau tidak ada pemenangnya. Tapi tak urung masalah sayembara berhadiah putri blasteran Indo-Jerman yang indah dan cerdas dalam segalanya untuk diperistri itu menjadi agenda DPR untuk membahas perlu tidaknya dimasukkan ke undang-undang penyelenggaraan sayembara berhadiah.<br />
<br />
Dalam waktu singkat, peserta sayembara dari berbagai penjuru dunia membludak. Mula-mula satu-dua orang saja, kemudian puluhan, kemudian ratusan, kemudian ribuan, kemudian puluhan dan ratusan ribu. Memasuki bulan ketiga, angkanya sudah menyentuh jutaan laki-laki dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia yang mendaftarkan diri. Bahkan ada juga yang mengikuti sayembara itu lebih dari satu kali pendaftaran, dan itu tidak dilarang. Telepon Contact Center panitia sayembara berdering tiada henti 24 jam sehari, 7 hari seminggu, bahkan bandwidth website sayembara itu harus ditambahkan secara berkala karena mulai kehabisan bandwidth setiap tiga hari sekali. Bersamaan dengan itu, uang mulai mengalir tiada henti ke rekening denmas Guscul. Dalam waktu 70 hari, 20 hari sebelum sayembara ditutup, jumlahnya telah jauh melampaui harta bendanya yang lenyap ditelan pilkada dan bisa jadi telah melampaui kekayaan Bill Gates!<br />
<br />
Protes para istri dari seluruh penjuru dunia mengalir deras, menuntut agar sayembara tidak boleh diikuti oleh laki-laki yang sudah beristri. Denmas Guscul mencoba mengulur waktu dengan perdebatan kusir di forum selama berhari-hari dengan dalih yang dibuat-buat, seperti misalnya hak asasi setiap orang untuk mengikuti sayembara apa saja di dunia ini. Tujuannya hanya satu, ia akan menerapkan tuntutan para istri itu sehari dua hari menjelang penutupan sayembara. Dan dengan demikian, ia akan diuntungkan dengan uang pendaftaran dari peserta sayembara yang sudah beristri, uang pendaftaran tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun.<br />
<br />
Begitu sayembara ditutup, team korespondensi bekerja cepat mengirimkan surat penjelasan terhadap kesalahan jawaban dari setiap Peserta. Surat tersebut dicetak dalam format yang sama dan ditandatangani secara manual oleh para Profesor, kemudian dikirim balik ke Peserta melalui email dalam bentuk certified scan atau pos. Ucapan terima kasih dan foto Rara Cublak yang tersenyum manis dicantumkan di akhir surat.<br />
<br />
Ketika surat terakhir dikirimkan ke Peserta, keluarga denmas Guscul pesta syukuran. Harta benda mereka telah kembali berlipat ganda tanpa harus mengorbankan putrinya untuk dinikahkan dengan pria tak dikenal melalui sayembara.<br />
<br />
Sementara itu, semua peserta membaca komentar atas jawaban mereka tanpa bisa membantah, selain jawabannya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang sempurna, juga karena keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Yang ikut satu kali mendapatkan jawabannya keliru, yang ikut dua kali atau lebih juga mendapatkan jawabannya keliru. Penjelasan dari sepuluh profesor ternama secara ilmiah tak terbantahkan, tak ada yang menjawab benar atas pertanyaan, mana yang lebih dulu diciptakan Tuhan, ayam atau telor? dan tidak ada seorangpun yang jawabannya benar, apapun itu jawabannya.<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<span style="color: rgb(51, 102, 255);">>>><a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2009/04/kampanye.html"> Kampanye</a></span><br />
<hr /><br />
</span><br />
</div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-65094945178597174612009-08-15T22:34:00.000+07:002010-02-14T01:15:29.902+07:00Si Bayangan Hitam<div style="text-align: justify;">Wuuussshhh! Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, berzigzag mendahului motor Wa'ong dari sisi kiri. Sedikit lagi, maka si Bayangan Hitam itu akan menyerempet si Dawuk, motor kesayangan Wa'ong. "Diamput!", umpat Wa'ong kaget. Ia dapat memprediksi kecepatan si Bayangan Hitam itu sekitar 100 km per jam, 40 kilometer di atas kecepatannya saat ini. Merasa kesal, Wa'ong segera tancap gas mengejar si Bayangan Hitam yang tidak punya sopan santun itu. Begitu dekat, Wa'ong terkesiap ketika mengetahui bahwa si Bayangan Hitam itu adalah seorang perempuan!<span id="fullpost"><br />
<br />
Perempuan hitam itu memang benar-benar hitam segala-galanya. Motornya matic hitam. Jaketnya hitam. Celananya hitam. Sepatunya hitam. Sarung tangannya hitam. Helm dan kacanya hitam. Rambutnya yang lurus melambai ditiup angin itu juga hitam. Wa'ong jadi panas hatinya. Ia merasa, bahwa yang berhak mengenakan atribut hitam-hitam itu sebenar-benarnya ya cuma dirinya di sepanjang jalan Parung-Cinere-Pondok Labu-Fatmawati. Bukankah dia dikenal dengan julukan Black Widow Lover? Ketua organisasi The Black Fire and Clouds Bikers Community?<br />
<br />
Seperti tahu kalo dibuntuti, si Bayangan Hitam mempercepat laju motornya di tengah arus lalu lintas yang mulai menggeliat ramai pagi itu. Zig-zagnya yang semakin menggila membuat hati Wa'ong tambah panas. Si Dawuk, motor tua terbitan tahun 98 yang setia menemaninya sejak kuliah itu tambah digenjot sejadi-jadinya, namun tak juga mampu mengejar si Bayangan Hitam. Sebagai Biker berpengalaman, Wa'ong tak mau terpancing ugal-ugalan. Menjelang tikungan setan memasuki jalan lurus Cinere, Wa'ong melambatkan kendaraannya. Dan si Bayangan Hitam menghilang di tengah keramaian lalu lintas pagi itu.<br />
<br />
Sudah sebulan ini Wa'ong mengambil jalan Parung-Cinere sebagai alternatif pengganti jalan Mampang-Pondok Labu yang rusak parah. Dan tiga minggu belakangan, bayangan hitam itu selalu membalap motornya dari arah kiri dengan kecepatan tinggi selepas pertigaan Parung Bingung. Wa'ong benar-benar penasaran. Tak pernah si Dawuk mengecewakannya selama ini. Motor tuanya itu sudah dimodifikasi sedemkian rupa agar dapat berlari kencang dan lincah, namun sudah tiga minggu ini, si Dawuk tak juga bisa mengejar si Bayangan Hitam itu.<br />
<br />
Pagi itu Wa'ong mengedarai si Dawuk dengan santai, ia bertekat tak lagi mau terpancing si Bayangan Hitam. Namun ia heran karena sudah jauh melewati tikungan Parung Bingung tapi si Bayangan Hitam tak juga datang membalap dirinya. Di saat hatinya bingung bertanya-tanya, tiba-tiba ia melihat si Bayangan Hitam sedang jongkok di sisi motornya di pinggir jalan, kaca helmnya terbuka menampakkan wajah elok si Bayangan Hitam yang bertolak belakang dengan penampilannya yang serba hitam. Terdorong oleh jiwa kesetiakawanan sesama Biker, Wa'ong segera menepikan motornya.<br />
<br />
"Kenapa mbak?", tanya Wa'ong sopan, padahal hatinya meronta antara rasa penasaran, senang, dan penuh harap.<br />
<br />
"Nggak tahu nih mas, tau-tau mati aja nih motor.", jawab si Bayangan Hitam menatap Wa'ong dengan wajah sedih.<br />
<br />
Deg! jantung Wa'ong berdesir saat mata belok si Bayangan Hitam yang bening sejuk bak air sungai pegunungan itu sayu menatap mata merahnya. Maka tanpa banyak bicara, Wa'ong segera turun tangan. Dasar Biker kawakan, sebentar saja motor si Bayangan Hitam hidup kembali.<br />
<br />
"Terima kasih ya mas.", senyum si Bayangan Hitam yang sudah melepas helmnya.<br />
<br />
Tiba-tiba sebuah ciuman lembut mendarat di pipi Wa'ong. Bersamaan dengan itu Wa'ong terbangun. "Diamput!", umpat Wa'ong menyesali mimpinya yang terputus.<br />
<br />
Begitulah, sudah lima malam berturut-turut Wa'ong selalu memimpikan si Bayangan Hitam. Anehnya mimpi Wa'ong seperti untaian kisah. Mimpi kenalan, jalan-jalan, dan kemudian pacaran. Dan seperti yang sudah-sudah, begitu sebuah ciuman mendarat di pipinya, Wa'ong tergagap, bangun, dan secara otomatis mulutnya mengumpat, "Diamput!".<br />
<br />
Wa'ong kini bingung. Wajahnya kuyu dan pikirannya kusut. Di pagi hari ia selalu gagal mengejar si Bayangan Hitam. Tapi di malam harinya, di dunia mimpi, mereka sudah sedemikian akrab layaknya berpacaran. Wa'ong bagai mengejar bayangannya sendiri. Sedemikian dekat, tetapi tak bisa dipegang.<br />
<br />
Hari Minggu pagi itu, Wa'ong bergerak mencari informasi si Bayangan Hitam. Iseng-iseng ia makan bubur ayam yang mangkal di dekat tikungan Parung Bingung. Semalam adalah mimpi terindahnya dengan si Bayangan Hitam. Wa'ong dan si Bayangan Hitam berjanji akan sehidup semati selamanya.<br />
<br />
"Bang, kenal perempuan hitam-hitam yang suka naik motor lewat sini pagi-pagi nggak?", tanya Wa'ong sambil menikmati semangkuk bubur ayam lezat yang masih hangat.<br />
<br />
"Maksudnya perempuan yang pakai matic hitam?", tanya Tukang Bubur terkejut.<br />
<br />
"Iya, kenapa Bang?", tanya Wa'ong tak sabaran sambil menyebutkan sebuah nama, nama si Bayangan Hitam.<br />
<br />
"O, perempuan itu tinggal di kampung belakang situ mas. Tapi dia sudah meninggal karena kecelakaan di tikungan situ satu setengah bulan yang lalu, ketabrak motor lain yang lagi balapan.", Tukang Bubur itu memberikan penjelasan panjang lebar.<br />
<br />
"Sayang mas, padahal ia masih muda, masih perawan, dan cantik lagi.", lanjut Tukang Bubur sambil memberikan air minum ke Wa'ong.<br />
<br />
Wa'ong terpana, seketika nafsu makannya hilang dan jantungnya berdetak kencang. Ia teringat pada janjinya untuk sehidup semati dengan si Bayangan Hitam itu semalam.<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<br />
<span style="color: rgb(51, 102, 255);">>>><a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/09/wa-ong.html"> Wa'ong</a></span><br />
<br />
<hr /><br />
</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-37829773292999652082009-08-08T00:34:00.000+07:002010-02-14T01:14:28.093+07:00Pakdhe Koplo<div style="text-align: justify;">Orang itu kalo lagi beruntung tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, kreditnya sebesar lima puluh juta rupiah telah disetujui dan bisa segera diambil kalo transfer gajinya sudah terbukti masuk ke rekening bank itu. Ditambah lagi berita anak sulungnya lolos PMDK di Fakultas Teknik Sipil UNS. Dan yang paling membahagiakannya adalah ia memiliki pacar baru yang sungguh cantik jelita bak bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan pakdhe Koplo.<span id="fullpost"><br />
<br />
Pacar baru? Tidak salah! Walaupun Pakdhe Koplo telah menikah dan memiliki empat orang anak, namun ia adalah seorang penggemar berat daun muda. Dan untuk urusan yang satu itu pakdhe Koplo berani bersaing dengan siapa saja, dan ia rela berkorban apa saja untuk memenangkan persaingan itu. Konon, Pakdhe Koplo hapal benar berbagai macam tipe perempuan dan bagaimana menaklukkannya. Tidak hanya sekali dua kali kelakuan buruknya itu mengakibatkan ia didamprat istrinya yang super galak. Tapi Pakdhe Koplo punya ilmu topeng sakti. Dengan ilmu topengnya itu, Pakdhe Koplo bisa berpura-pura menyesal, sedih, menangis meraung-raung menciumi telapak kaki istrinya, dan melolong-lolong meminta ampun berhari-hari sampai hati istrinya luluh. Namun itu tidak lama, beberapa minggu kemudian, hobinya lirak-lirik daun muda itu akan kambuh lagi secara otomatis.<br />
<br />
Sudah sebulan ini Pakdhe Koplo berteman dengan seorang perempuan jelita yang dikenalnya di stasiun Gambir. Tidaklah perlu diceritakan bagaimana mereka berkenalan, itu rahasia pakdhe Koplo yang tidak bisa dimengerti sembarang orang. Intinya, pakdhe Koplo kini mabuk kepayang terkena panah asmara si jelita. Bahkan pakdhe Koplo sudah berani apel ke rumah kos si Jelita sepulang kerja. Tentu saja, kata lembur, meeting, macet, dan sejenisnya menjadi pelindung setianya dari kecurigaan istrinya.<br />
<br />
Sebagaimana layaknya orang yang sedang jatuh cinta, pakdhe Koplo sekonyong-konyong menjadi buta, tuli, dan dungu. Hanya saja tangannya semakin mahir berkelana, dan bibirnya lincah membual sana-sini mengobral janji dan berkata-bersyair elok mengalahkan cipta karya para Pujangga. Tapi siapa yang butuh syair? Pacaran itu ya butuhnya duit! Tak urung, pelan dan pasti isi kantong dan tabungan pakdhe Koplopun terkuras. Bagi pakdhe Koplo, uang habis tidaklah masalah, yang penting ia bisa berdekat-dekatan dengan si Jelita. <span style="font-style: italic;">Jer Basuki Mawa Bea,</span> kata orang Jawa, keberhasilan memerlukan pengorbanan.<br />
<br />
Si Jelita memang piawi bermain api. Kadang ia jinak bagai merpati, kadang ganas melilit bagai naga, dan kadang manja bagai anak babi. Ia permainkan hati pakdhe Koplo sampai batas kekuatannya, tarik-ulur, tarik-ulur, dan tarik-ulur. si Jelita bermain cantik, boleh pandang dan sedikit pegang, begitu aturan mainnya. Dan hanya itu! Sikap si Jelita membuat pakdhe Koplo semakin terengah-engah, penasaran dan tergila-gila, tapi ia tak mampu berbuat banyak. Akibatnya mulut pakdhe Koplo semakin ringan mengucap janji mengobral bualan, jiwa-raganyapun kian jauh meninggalkan keluarganya.<br />
<br />
Akhirnya hari yang paling ditunggu-tunggu Pakdhe Koplo tiba: mencairkan uang pinjaman di Bank. Pagi-pagi betul Si Jelita telah dijemput untuk menemaninya akad kredit, bukan istrinya. Di depan petugas Bank ia akui si Jelita sebagai istrinya. Sret-sret, tanda tangan akad kredit dengan cepat dilakukan, dan lima puluh juta rupiahpun segera memenuhi tas si Jelita.<br />
<br />
"Kamu yang bawa, untuk pantes-pantesnya.", kata Pakdhe Koplo genit mengedipkan sebelah matanya pada si Jelita.<br />
<br />
Senyum mengembang di bibir sejoli haram itu. Bukannya pulang ke rumah atau menyetor uangnya ke Bank, Pakdhe Koplo malah belanja seharian. Di akhir hari, sepuluh juta rupiah bablas menjadi gelang, kalung, cincin, anting, dan jam tangan untuk si Jelita. Ciuman kecil yang mendarat di pipi kiri-kanan Pakdhe Koplo membuatnya semakin dungu. Akhirnya acara diteruskan dengan pulang ke kost si Jelita.<br />
<br />
"Minum dulu mas", si Jelita tersenyum manis menyuguhkan sirup dingin untuk pakdhe Koplo.<br />
<br />
Pakdhe Koplo tersenyum bahagia. Dalam hitungan detik, segelas sirup itu mengalir, membasahi, dan menyegarkan kerongkongannya yang kering...<br />
<br />
<hr /><br />
Suara adzan subuh membangunkan pakdhe Koplo. Gelap gulita. Kepalanya berdenyut, sakit dan pusing. Limbung pakdhe Koplo bangun dari sofa, langkahnya tertatih, tangannya menggapai-gapai mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, ia dapatkan jam dinding menunjukkan pukul 4:40 pagi. Rasa kagetnya membuat kesadaran dan kekuatannya kembali. Ia segera bergegas mencari si Jelita di dalam rumah, di luar rumah, di jalan-jalan, di kebun-kebun, tapi ia tidak menemukan jejak si Jelita, tidak juga tasnya. Hati pakdhe Koplo tercekat. Bayangan uang lima puluh juta rupiah dan si Jelita silih berganti memenuhi batok kepalanya. Bayangan itu berganti dengan cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Pakdhe Koplo pingsan untuk kedua kalinya.<br />
<br />
Pembaca yang budiman, Orang itu kalo sedang sial tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, selama lima tahun kedepan ia harus mencicil hutangnya ke Bank tiap bulan, hutang yang tak sepeserpun dinikmatinya. Belum lagi Pakdhe Koplo harus berusaha keras membayar uang kuliah anaknya yang diterima di Fakultas Teknik Sipil UNS. Pakdhe Koplo juga harus menghadapi amukan istrinya yang pasti marah besar. Dan yang paling menyedihkan adalah, hari ini Pakdhe Koplo telah kehilangan si Jelita yang perwujudannya bagaikan Bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kesengsaraan pakdhe Koplo.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-81961554848143558832009-08-01T01:00:00.000+07:002010-02-14T01:14:06.014+07:00Biduan Pujaan<div style="text-align: justify;">Konon, kata sahibul hikayat, hanya ada dua waktu yang paling disukai para Karyawan. Yang pertama adalah waktu gajian, dan yang kedua adalah waktu pulang kerja. Namun bagi Gambleh, pulang kerja tepat pada waktunya bukanlah hal yang favorit, setidak-tidaknya dalam dua pekan terakhir ini. Di saat rekan-rekannya sibuk ngantri di depan mesin absen sidik jari 10 menit sebelum jam kerja berakhir, Gambleh masih saja memelototi komputer di meja kerjanya. Ia baru akan pulang satu jam setelah jam kerja berakhir. Gambleh sama sekali tidak bermaksud untuk lembur, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang kantor.<span id="fullpost"><br />
<br />
Karena statusnya yang seorang jomblo kesepian, maka tak ada barang sesuatupun di dunia ini yang bisa melarang Gambleh keluyuran sepulang kerja. Biasanya, Gambleh akan keluyuran di Mall-mall dengan maksud yang sebenar-benarnya adalah untuk mencari jodoh yang tak juga kunjung datang. Namun dua minggu belakangan, Gambleh mulai meninggalkan Mall. Ia merasa sangat berbahagia apabila tiba di stasiun Tebet tepat waktu. Bukan untuk naik kereta kosong ke Bogor, tetapi semata-mata untuk menjumpai wanita pujaan hatinya.<br />
<br />
Wanita pujaan Gambleh itu sesungguhnya adalah seorang Biduan Dangdut yang selalu "manggung" di stasiun Tebet selepas maghrib sampai menjelang Isya. Ia ditemani crew dangdutnya yang terdiri dari seorang pemain keyboard, seorang pemain ketipung, seorang pemain gitar dan seorang operator sound system merangkap Operator Kantong Permen. Disebut demikian, karena pada lagu kedua, Sang Operator akan mulai berjalan dari satu sudut stasiun ke sudut yang lain membawa kantong bekas permen Relaxa kosong untuk meminta uang saweran kepada para calon penumpang kereta api yang menunggu di sepanjang peron stasiun.<br />
<br />
Sang Biduan itu tidak tinggi dan tidak pendek. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan selalu memakai celana jeans biru dan t-shirt putih yang ketat. Badannya yang padat berisi tergambar jelas dalam pakaian seperti itu, dan hal itu membuat mata Gambleh jarang berkedip. Gaya menyanyinya sederhana saja, tidak sebinal Inul Daranista dan tidak seganas Dewi Persik. Paling-paling hanya sekedar goyang bahu atau goyang sebelah kaki. Tapi bagi Gambleh, itu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan bayangan-bayangan gila di otak kotornya.<br />
<br />
Pada mulanya, Gambleh masih bisa menahan diri untuk tidak ikutan joget bersama Biduan itu, walaupun hatinya melonjak-lonjak terbakar asmara. Memang suatu kebetulan bahwa Biduan dan Crewnya berada di sisi yang berseberangan dengan peron tempatnya menunggu kereta ke Bogor. Tapi tak urung, lama-lama Gambleh terhanyut juga, kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama, kemudian tangan dan kakinya mulai ikut bergerak, dan akhirnya seluruh tubuhya bergoyang, tak peduli pada ratusan calon penumpang lain di sekelilingnya.<br />
<br />
Gambleh memang tidak salah bila sampai jatuh hati pada Biduan itu. Selain tubuhnya yang bagus, suaranya juga sangat merdu. Dan bagi Gambleh, suara itu laksana belaian yang lembut, meliuk, menukik, berputar-putar sebelum akhirnya menembus dan membuai hatinya yang kesepian. Ia begitu terkesima pada Biduan itu, sehingga tak kurang dari lima ribu perak selalu ia pindahkan dari kantongnya ke kantong permen Sang Operator.<br />
<br />
Dalam waktu singkat, Sang Biduan tahu kalo Gambleh adalah donatur tertinggi di stasiun Tebet. Maka di hari-hari berikutnya ia melambaikan tangan dan mengedipkan mata pada Gambleh yang bergoyang-goyang sendirian di seberang peron. Demikianlah, Gambleh dan biduan itu semakin hari semakin dekat dan semakin lengket, menyanyi dan berjoget bersama. Tentu saja, <span style="font-style: italic;">pajak</span>nya juga bertambah dengan sendirinya, dua puluh ribu adalah saweran minimal Gambleh untuk Sang Biduan pujaan hatinya...<br />
<br />
<hr /><br />
<br />
Sore itu Gambleh keasyikan main game Poke. Ketika sadar, ia sudah terlambat pulang satu jam dari biasanya. Sambil memaki dirinya sendiri, Gambleh cepat-cepat meninggalkan kantornya. Berharap masih bisa berjumpa dengan Biduan pujaan hatinya, Gambleh buru-buru naik ojek ke Stasiun Tebet. Hatinya galau; rasa rindu, cinta, dan khawatir bercampur-baur menjadi satu. Berkali-kali Gambleh mengkomando Si Tukang Ojek untuk memacu motornya secepat mungkin.<br />
<br />
Sampai di stasiun, Gambleh lega karena sayup-sayup terdengar nyanyian Sang Biduan yang seolah melolong, merindu, dan memanggil-manggil Gambleh yang tak kunjung datang. Terdorong oleh rasa gembira, kangen, dan cinta yang membara, Gambleh buru-buru melompat dari ojek dan berlari melintasi rel menuju peron seberang. Di pikirannya hanya ada Sang Biduan pujaan. Malam ini ia bertekat akan memberikan seratus ribu rupiah untuk Sang Pujaan Hati sebagai hukuman atas keterlambatannya. Wajah Gambleh merona cerah, senyumnya mengembang, tangannya melambai-lambai, dan matanya tak berkedip memandang Sang Biduan pujaan di peron seberang. Pada saat yang bersamaan, dari arah Jakarta meluncur kereta api Depok Express berbobot 320 ton berkecepatan 110 km per jam. Dan semua orang di stasiun Tebet bahkan tak lagi sempat membuka mulut mereka untuk memberi peringatan.....</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-30777733114844576462009-07-25T15:55:00.000+07:002010-02-14T01:13:34.436+07:00Bila Kegelapan Mendatangimu<div style="text-align: justify;">Di masa kecilku, aku memiliki rasa takut pada kegelapan seperti anak kecil pada umumnya. Hal itu berlangsung lama bahkan sampai aku sekolah di SD, sampai pada suatu malam, ayahku, Pendekar Seruling Sakti, merubah rasa takut itu menjadi sebuah keberanian, keindahan, dan harapan baru.<span id="fullpost"><br />
<br />
“Bangunlah, nak. Sudah saatnya kutunjukkan padamu sebuah rahasia yang tersembunyi dari mata hati yang tertutup.”, kata ayahku membangunkanku di tengah malam yang gelap dan dingin di musim kemarau panjang tahun itu.<br />
<br />
Berdua kami menyusuri jalan desa yang sepi dan berbatu menuju persawahan nan luas di sebelah timur desa kami. Dorongan rasa takut pada kegelapan, membuat tanganku terus berpegangan pada tangan kekar ayahku yang perkasa. “Perhatikan sekelilingmu Nak, dan cobalah untuk menepis rasa takut dari hatimu. Kamu akan segera menemukan bahwa kenyataan tidaklah semenakutkan bayangan gelap yang melingkupi hatimu itu.”, bisik ayahku menguatkan langkahku yang terasa semakin berat.<br />
<br />
Sesampainya kami di bukit kecil di tengah persawahan yang luas itu, kamipun duduk di bawah pohon asam tua yang sudah setua jaman itu sendiri. “Perhatikan alam di sekitarmu baik-baik, nak. Dan cobalah untuk menyatu dengannya.”. kata ayahku sembari mengeluarkan seruling sakti yang terkenal di seantero jagat persilatan itu. Dengan lembut, ayahku meniup seruling itu memecah keheningan malam yang dingin dan gelap dengan irama meliuk menyentuh kalbu.<br />
<br />
Ajaib, semakin aku memperhatikan sekelilingku, kusadari betapa indahnya alam persawahan di malam itu. Ribuan kunang-kunang yang berkelip indah di kegelapan malam dan cahaya jutaan bintang di langit yang hitam menjadikan malam itu terang-benderang. Desir tiupan angin dingin, suara gemericik air dari parit yang mengalir di tengah persawahan, dan merdunya irama seruling ayahku menambah syahdu suasana di malam itu. Pelan tapi pasti, ketakutan di hatiku mulai mencair, berubah menjadi ketenangan, kehangatan, dan perasaan tenteram yang sulit digambarkan. Sungguh, sebuah malam yang indah dan menghayutkan…<br />
<br />
“Nak, lihatlah. Kunang-kunang telah menghilang, dan cahaya bintang mulai memudar. Sebentar lagi fajar kan datang menjelang.” Kata ayahku menyadarkanku. “Mari kita pulang.”, katanya lagi sambil berdiri.<br />
<br />
“Anakku, jangan lagi mata hatimu tertutup oleh ketakutan pada kegelapan. Karena setiap kegelapan memiliki cahaya dan keindahannya sendiri. Hanya mata hati yang terbebas dari ketakutan yang mampu melihat keindahan itu. Ketakutan juga akan membuat hati kita sibuk dengannya, sehingga melupakan sang fajar harapan yang akan selalu datang di setiap penghujung malam.”, Kata ayahku sambil mengelus rambutku.<br />
<br />
“Nak, dalam perjalanan hidupmu kelak, ujian kegelapan mungkin akan datang sekali waktu. Hadapilah dengan tersenyum dan tetap bergerak laksana gerak angin, bintang dan kunang-kunang, karena telah kau tahu, selalu ada keindahan malam dan fajar harapan disana. Keindahan dan fajar yang mungkin saja lebih baik dari hari kemarin dan hari kemarinnya lagi.”, lanjut ayahku sambil tersenyum. Dan sejak saat itu tak pernah lagi aku takut pada kegelapan...<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<hr /><ul><li><a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/kunang-kunang.html">Kunang-kunang</a></li>
</ul></span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-28185972343699720662009-07-18T00:08:00.000+07:002010-02-14T01:13:14.335+07:00Mabok...<div style="text-align: justify;">Hidup orang itu ibarat roda, kadang di atas, kadang di bawah. Seringkali orang tidak tahu kapan ia akan berada di atas atau kapan ia berada di bawah. Kalo lagi di atas, kehidupan akan terasa serba enak, semua kebutuhan tersedia, dan apa-apa bisa dibeli. Namun bila sedang di bawah, semuanya terasa serba kekurangan, serba sulit, dan serba salah. Nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe.<span id="fullpost"><br />
<br />
Den Bei dan keluarganya hidup miskin bertahun-tahun lamanya. Walaupun gajinya bertambah setiap tahun, namun semakin lama gaji itu malah semakin tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bagaimana tidak, gajinya naik paling banter 10% per tahun, sementara itu nilai inflasi melebihi prosentase kenaikan gajinya. Maka gajinya itupun semakin terseok-seok mengejar kebutuhan hidup yang semakin mahal. Sembako mahal, transportasi mahal, biaya sekolah mahal dan hutang Den Bei semakin menumpuk dari bulan ke bulan.<br />
<br />
Den Bei mencoba ikut-ikut cari pinjaman di koperasi, siapa tahu bisa buat modal dagang kecil-kecilan di rumahnya. Begitu pinjaman cair, maka uang itu tak sempat berlama-lama di tangan Den Bei. Habis dalam sekejap untuk melunasi hutang-hutangnya, dan bayangan dagang di rumahpun amblas menyisakan potongan gaji dari bulan ke bulan. Tak urung istrinya hanya bisa melongo setiap akhir bulan, jatahnya dipotong payroll tanpa ampun.<br />
<br />
Tapi Den Bei tidak pernah putus asa, ia selalu yakin bahwa dia akan sukses suatu hari nanti dan mencapai hidup enak sebelum usia tua. Sebenarya hal yang memotivasi Den Bei untuk selalu bersemangat adalah impiannya untuk memiliki sebuah kamar khusus yang akan digunakannya untuk main game kapan saja dia mau, sebuah kamar kedap suara yang dilengkapi dengan layar LCD besar, konsol game yang lengkap dan sound system yang dahsyat menggelegar. Maklumlah Den Bei adalah seorang maniak ding-dong di masa remajanya.<br />
<br />
Dan akhirnya sampai jugalah saat yang ditunggu-tunggu itu, Den Bei diterima bekerja di sebuah pabrik makanan kelas atas di negeri ini, posisinya tak tanggung-tanggung: manager departemen purchasing! Den Bei megalahkan ratusan kandidat lain seantero negeri. Ia sangat bangga. Kini ia membawa mobil dinas kemana-mana, gajinya besar, bajunya berdasi, dan handphonenya sudah mirip komputer.<br />
<br />
Semakin hari Den Bei semakin merasakan betapa basahnya departemen yang ia pimpin, hatinya senang, raut ketuaan di wajahnya mulai menghilang tertutup lemak yang mulai melapisi sekujur tubuhnya. Hubungannya dengan vendor semakin terjalin akrab dan hal itu membuat dirinya semakin happy.<br />
<br />
Hal pertama-tama yang dilakukan Den Bei adalah meminta istrinya berhenti bekerja. Ia ingin istrinya kelihatan cantik sepanjang waktu dan tidak malu-maluin bila suatu saat harus ikut dirinya dalam kegiatan kantor. Di bulan kedua, semua hutangnya lunas tanpa tersisa, bahkan untuk beberapa temannya diberinya lebihan sebagai tanda terima kasih. Di bulan ketiga, sebuah sepeda motor baru bertengger di garasi rumahnya. Dan menginjak bulan kelima, impiannya memiliki studio game di rumahnya terkabul sudah. Dan ia menamainya dengan sebutan The Bunker.<br />
<br />
Den Bei mulai keranjingan main game di bunkernya. Semua jenis game ia beli sebagai koleksi. Mulai dari tetris, balapan, sampai game strategy semua ia punya. Bila sedang asyik main game Den Bei tidak mau diganggu bahkan oleh istri dan anaknya sekalipun. Ia beruntung istri dan anaknya tidak ada satupun yang suka main game, mereka lebih suka shopping di mall melebihi apapun.<br />
<br />
Begitulah, siang kerja, malam main game merupakan kegiatan wajib Den Bei sehari-hari. Ia bahkan memplesetkan lagu pok ame-ame belalang kupu-pupu menjadi siang kerja keras, kalo malam main game! Istri dan anaknya tak pernah peduli pada kegiatannya, yang penting bagi mereka sealu tersedia cukup uang untuk shopping, dan itu sudah cukup.<br />
<br />
Memasuki bulan kedelapan, perusahaan mulai mencium ketidakberesan pada kinerja Den Bei. Sering terlambat dan tidak masuk kerja dengan berbagai alasan mewarnai hari-harinya. Operasional purchasing mulai terganggu gara-gara approval yang terlambat, dan jarangnya dilakukan evaluasi kerja mingguan. Beberapa departemen lain mulai mengeluhkan kinerja departemen purchasing. Rapat koordinasi seringkali berjalan dalam kebuntuan karena ketidakhadiran Den Bei.<br />
<br />
Management cepat bertindak, Den Bei dipanggil menghadap. Sehari, seminggu, dua minggu den bei mulai tertib kembali, namun memasuki minggu ketiga, kegemarannya pada game mengalahkan segalanya. Ia kembali sering terlambat dan tidak masuk kerja. Den Bei lupa daratan dan melupakan hal terpenting dalam hidupnya: sumber penghasilan dan pengorbanan.<br />
<br />
Akhirnya Den Bei hanya bisa bertahan sampai akhir bulan kesepuluh. Kini ia dan isrinya tak lagi punya sumber penghasilan. Den Bei sempat sedih sebentar, namun segera terhibur dengan koleksi game yang dimilikinya. Ia optimis bahwa suatu hari nanti ia akan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Ia mulai mengirimkan lamaran kemana-mana, tapi kini saingan di luar semakin banyak, dan kesempatannya semakin tipis.<br />
<br />
Tiga bulan berlalu sudah dan Den Bei masih tetap menganggur. Tapi hal itu tak terlihat merisaukan hatinya. Main game jalan terus. Omelan istrinya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Semakin hari tabungan Den Bei semakin menipis. Tapi keasyikannya main game telah membuat Den Bei buta dan tuli terhadap kondisi keuangannya.<br />
<br />
Pelan tapi pasti putaran roda kehidupan Den Bei dan keluarganya membawa mereka kembali ke bawah. Kehidupan mereka kembali sulit, serba susah, dan serba salah. Istrinya sudah kembali bekerja, namun Den Bei masih menganggur. Bunkernya telah lama kosong melompong, isinya sudah ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin hari semakin mahal. Tapi Den Bei tetap optimis, suatu hari bunker itu akan terisi kembali dengan perangkat yang jauh lebih baik, dan ia semakin gencar melamar kerja kemana-mana. Ia harus memutar roda ke posisi atas, harus dan harus...<br />
<br />
Demikianlah, nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe....</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-30182008943565502009-07-11T11:56:00.000+07:002010-02-14T01:08:57.812+07:00Hantu!<div style="text-align: justify;">Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa di pedesaan banyak <em>memedi</em> (hantu), apalagi di jaman dulu saat listrik belum masuk. Hampir tiap hari, di sekolah dan di tempat-tempat umum di desaku ada saja yang bercerita tentang <em>memedi</em> itu. Makanya, walaupun aku ini seorang penakut, namun sudah terbiasa mendengar cerita menakutkan tentang <em>memedi</em> itu dan juga tahu berjenis-jenis <em>memedi</em> yang hidup di sekitar desaku.<span id="fullpost"><br />
<br />
Bila kamu mengira <em>memedi</em> hanya muncul di malam hari, maka perlu aku sampaikan, bahwa <em>memedi</em> di desaku itu tidak pernah peduli pada hal itu, mereka bisa saja menampakkan diri di malam atau siang hari. Frekuensi kemunculan mereka di malam hari hanya beda-beda tipis dibandingkan pemunculan mereka di siang hari. Bahkan, kalo kamu mengira bahwa <em>memedi </em>hanya muncul di saat sepi atau saat orang sedang sendirian, itu juga kurang tepat. Karena ada juga <em>memedi</em> yang justru seolah-olah ingin dilihat orang ramai.<br />
<br />
<em>Memedi</em> yang paling menghebohkan sepanjang sejarah di desaku adalah <em>memedi</em> <em>oncor</em> (hantu obor). <em>Memedi</em> itu menurut cerita orang-orang tua, muncul beberapa waktu sebelum dan sesudah peristiwa G30S. Pemunculan pertama <em>memedi</em> itu hampir bersamaan dengan penampakan <em>Lintang Gubug Penceng</em> (Bintang Biduk Besar) yang menyala terang dan kelihatan dekat sekali di langit sebelah tenggara. <em>Memedi oncor</em> selalu muncul setelah maghrib, di sebelah selatan desaku. Mula-mula terlihat di tengah sawah sebuah obor yang muncul dari dalam tanah. Kemudian diikuti oleh obor-obor yang lain satu demi satu sampai jumlahnya puluhan-ratusan dan bahkan mungkin juga ribuan. Obor-obor itu kemudian berputar-putar sambil mengeluarkan suara riuh-rendah namun tidak jelas. Kadang mendekat dan kadang menjauh dari desa. Kalo ada penduduk desa yang memberanikan diri mendekati obor-obor itu, anehnya obor-obor itu akan menjauh dan menjaga jarak. Kalo orang-orang yang mendekat itu kembali ke desa, obor-obor itu juga akan mendekat kembali. Sampai menghilangnya hantu obor itu sampai sekarang, tidak ada seorangpun yang pernah tahu bentuk sebenarnya dari <em>memedi</em> itu, kecuali nyala obor di kejauhan dan suara yang riuh-rendah....<br />
<br />
Di belakang rumah kakekku, dulu tumbuh sebatang pohon <em>Kolang-kaling</em> (Pohon Aren). Di pohon itulah tinggal mahluk halus yang disebut <em>Wewe Gombel</em>. Wewe itu kalo menampakkan diri, selalu di siang hari dalam bentuk wanita telanjang dada, berambut panjang terurai namun awut-awutan (tak tertata) yang menutupi wajahnya dan berpayudara panjang sampai ke tanah. Disebut Wewe Gombel karena Wewe itu memiliki <em>gombal</em> (kain) yang ajaib. Barang siapa yang bisa memiliki gombalnya si Wewe itu, maka dia akan bisa menghilang dengan cara menutupi kepalanya dengan <em>gombal</em> si Wewe itu. Aku jadi ingat film Harry Potter dengan jubah menghilangnya itu, jangan-jangan jubah Harry Potter itu tak lain adalah gombalnya Wewe yang tinggal di pohon Kolang-kaling belakang rumah kakekku tempo dulu... :-)</span><br />
<br />
<span id="fullpost">Wewe itu biasanya akan menampakkan diri hanya pada anak-anak saja yang kebetulan main-main di dekat situ, konon si Wewe itu menginginkan anak untuk disusui dengan payudaranya yang luar biasa itu. Anak yang sudah disusui Wewe itu akan bisa menghilang dan bergerak secepat angin. Ia juga akan diberi <em>Popok Wewe</em> yang akan menjadikannya selalu beruntung dan kaya raya. Aku atau teman-temanku sering melihat Wewe itu kalo sedang main di belakang rumah kakekku, namun anehnya hanya satu anak saja yang bisa melihat. Kalo sudah begitu ya kami akan lari tungang-langgang. Aku memang terobsesi memiliki kesaktian semacam itu, tapi siapa sih yang mau <em>nyusu</em> ke Wewe itu....<br />
<br />
Aku dan teman-temanku juga sering mencari Jangkrik (cengkerik) atau Belut di sawah di malam hari. Kami menggunakan obor untuk penerangan. Awalnya kami akan mencari di persawahan sekitar desa, tapi lama-lama pasti akan makin ke tengah menjauhi pedesaan. Walaupun jarang, cepat atau lambat kami pasti ketemu dengan berbagai <em>memedi</em>. Yang paling sering adalah <em>Keblak</em>, memedi ini tidak berwujud, tetapi hanya berupa suara saja. Suaranya seperti benda jatuh, sangat keras dan terasa dekat sekali: <em>Bluugg!!! </em>atau juga <em>Memedhon</em> yang muncul tiba-tiba di <em>grumbul</em> (semak-semak dengan pepohonan di tengah sawah) dekat sungai.<br />
<br />
Saat mencari Jangkrik atau belut di sawah, tidak jarang kami juga melihat <em>Clorot</em>, yaitu seberkas sinar yang terbang meluncur seperti meteor besar dari satu lokasi ke lokasi lainnya di tengah sawah atau tempat angker semacam kuburan tua. Kalo itu sih dapat dipastikan bukan <em>memedi</em>, tetapi <em>Tosan Aji</em> atau <em>Wesi Aji</em>, yaitu senjata pusaka yang <em>ora omah</em> (tidak memiliki tuan). <em>Clorot</em> itu warnanya juga macam-macam. Ada yang merah menyala, ada yang biru kehijauan seperti cahaya bintang, atau juga kuning keputihan yang menyilaukan. <br />
<br />
Kata orang-orang tua, <em>Clorot</em> itu kebanyakan adalah senjata pusaka kuno dari jaman kerajaan dahulu kala dan akan selalu berpindah-pindah mencari orang yang tepat untuk <em>disuwitani</em> (diikuti). Sebenarnya tidaklah susah untuk mendapatkan <em>tosan aji</em> itu, cukup bersemedi di malam-malam tertentu di tempat-tempat angker yang biasa terdapat <em>Clorot</em>, dan pasti akan ada salah satu senjata pusaka yang mendatangi. Tapi hati-hati karena senjata pusaka itu bisa datang dalam bentuk apa saja: ular besar, macan, singa, beruang atau bahkan wanita cantik. Kalo kuat menghadapi mereka maka dipastikan mereka akan ikut, tapi kalo kalah: apabila tidak kehilangan nyawa pasti orang itu akan menjadi gila...<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<span style="color: rgb(51, 102, 255);">>>></span> <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2009/01/kisah-kebon-suwung.html">Kisah Kebon Suwung</a><br />
<span style="color: rgb(51, 51, 255);">>>></span> <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/senjata-sakti.html">Senjata Sakti</a><br />
<hr /><br />
</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-38441264077807226792009-07-04T11:26:00.000+07:002010-02-14T01:08:38.709+07:00Aras Pepet<div align="justify">Sore itu Ogleng berdiri di tepian dinding puncak gedung berlantai lima belas di tengah kota. Tatapan matanya kosong menyapu langit. Pikirannya kalut, hatinya bingung, dan keyakinannya goyah sampai titik terendah: Dari primbon, ia tahu bahwa dirinya dilahirkan dengan perwatakan <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> dan itu sama dengan hidup susah, rejeki yang terhambat, dan sukses yang tak pernah terwujud. Dan perwatakan itu adalah sebuah kutukan yang terbawa dari lahir sampai mati, sekali <span style="font-style:italic;">aras pepet</span> dan selamanya akan begitu. Ia merasa seperti divonis untuk hidup susah selamanya.<span id="fullpost"><br />
<br />
Pikiran Ogleng mengembara meniti <span style="font-style: italic;">flashback</span> jalur perjalanan hidupnya. Hari itu ia baru saja kehilangan pekerjaannya setelah gagal menyelesaikan proyek IT tepat pada waktunya, walaupun sudah diberi tenggat dua bulan. Tak habis-habisnya ia berusaha siang dan malam bersama anak buahnya tapi proyek itu tak juga kunjung selesai, ada-ada saja masalahnya. Hal itu membuat perusahaannya kena <span style="font-style: italic;">penalty</span> yang cukup besar. Dan kini Ogleng kehilangan segalanya: fasilitas kantor, gaji dan tunjangan besar yang baru dinikmatinya selama empat bulan setelah dipromosikan sebagai manager. Jamsostek dan sertifikat rumahnya telah lama menjadi jaminan pinjamannya di sebuah Bank. Kini Ia tidak tahu lagi darimana ia akan memperoleh uang untuk membayar hutang-hutangya.<br />
<br />
Enam bulan lalu, usaha sampingannya mengimpor laptop bekas menuai kebangkrutan setelah ditipu rekan usahanya sendiri senilai ratusan juta rupiah. Modal yang tersisa tak mungkin digunakan untuk menjalankan usahanya lebih lanjut. Dan usahanya itu menyisakan hutang yang harus ditanggungnya sendirian. Ogleng memang kurang fokus dalam mengelola usahanya itu lantaran tidak mau meninggalkan pekerjaan tetapnya. Tapi ia belum putus asa, <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> hanya mitos! Demikianlah, dua bulan kemudian ia dipromosikan sebagai manager di kantornya.<br />
<br />
Tahun lalu saat tsunami menerjang pantai selatan Jawa, usaha pembesaran sapi yang dirintisnya selama bertahun-tahun musnah dalam sehari. Ogleng memiliki strategi bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Hasil penjualan sapi-sapinya dibelikan lagi sapi-sapi kecil dan perluasan sewa lahan peternakan, ia tidak mau mengambil keuntungan saat itu. Nanti saja kalo sudah mencapai seratus sapi, pikir Ogleng. Sebuah cita-cita yang tak pernah terwujud. Menyikapi kehancurannya, Ogleng berpikir, itu hanya ujian saja. <span style="font-style:italic;">Aras pepet</span> itu tak lebih dari ujian, dan ujian selalu akan ada akhirnya. Ogleng tak patah semangat. Aku masih punya pekerjaan tetap dan kepercayaan Bank, batinnya menghibur diri.<br />
<br />
Satu setengah tahun lalu, Ogleng tertarik dengan bisnis sampingan berternak gurame. Iapun ikut kursus dan mulai menyewa sepuluh empang sekaligus di Bogor. Usaha tak boleh setengah-setengah, kalau mau sukses besar ya harus berani modal besar, begitu tekatnya saat diingatkan teman-temannya untuk berhati-hati, tidak tergesa-gesa dan <span style="font-style: italic;">kemaruk</span>. Dan nasehat teman-temannya terbukti. Seminggu sebelum panen, Ogleng hanya menuai puluhan sandal jepit milik para pencuri ikan di empang guraminya. Ini bukan <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> tapi hanya sebuah kebetulan saja, pikir Ogleng. Namun tak urung ia kehilangan minat untuk beternak Gurami lagi.<br />
<br />
Sederetan kegagalan dalam usaha sampingan mendera Ogleng sejak pertama kali ia bekerja tetap dan berpikir bisa kaya dengan usaha sampingan. Mulai dari menanam Rosella, beternak Lobster, beternak Lele, jual-beli mobil bekas, usaha angkot, mendirikan bengkel, tengkulak beras dan kedelai, konsultan IT, kontraktor rumah dan infrastruktur jalan, sampai internet marketing tidak ada satupun yang jadi. Gaji tetap dan pinjamannya dari Bank seolah lenyap menjadi tumbal bagi setiap usaha sampingannya yang gagal. Dan sepanjang kegagalannya, ia tak pernah mempercayai <span style="font-style:italic;">aras pepet</span> itu. Hanya kurang cerdas dalam berusaha, katanya membela diri.<br />
<br />
Di puncak gedung berlantai lima belas menjelang terbenamnya sang mentari, Ogleng berdiri termenung, temangu-mangu, ragu-ragu: terjun atau kembali. Terjun berarti ia terbebas, merdeka dari <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> selamanya. Dan kembali, dia tidak melihat cara untuk membebaskan diri dari kungkungan <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> itu. Selama ini ia tak pernah berhenti berusaha dan semuanya telah berakhir pada kegagalan. Ia dilahirkan di bawah perwatakan <span style="font-style: italic;">aras pepet</span> dan akan begitu selamanya. Sementara itu jalanan di bawah gedung mulai macet, orang-orang mulai ramai berkumpul di bawah gedung, menunjuk-nunjuk Ogleng yang berada di antara hidup dan mati di puncak gedung berlantai lima belas itu.<br />
<br />
Pembaca yang budiman, anggaplah anda berada di sebelah Ogleng dan berkesempatan bicara dengannya di puncak gedung berlantai lima belas itu. Maka akhir dari kisah ini sepenuhnya saya serahkan pada anda: Ogleng yang terjun atau Ogleng yang kembali. Saya lihat Ogleng telah siap berbincang dengan anda, monggo silahkan dilanjut. Mungkin saja ia masih menyimpan setitik harapan. Jangan lupa tulislah hasil pembicaraan anda dengan Ogleng di kotak komentar, siapa tahu banyak orang yang membutuhkannya...</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-55923608552370703232009-06-27T19:13:00.000+07:002010-02-14T01:08:08.357+07:00Maling Sakti<div align="justify">Ini kisah tentang Maling tradisional yang beroperasi di desa-desa semasa aku kecil. Ada yang maling semata-mata untuk bertahan hidup karena bisa jadi mereka malas bekerja, atau hanya untuk <em>kareman</em> (hobby), atau juga untuk menguji dan mencari ilmu kesaktian serta kekayaan.<span id="fullpost"><br />
<br />
Semua Maling jaman dulu itu pastilah orang yang sakti. Sudah berkali-kali aku melihat dengan mata kepala sendiri di masa lalu, bagaimana Maling yang tertangkap dipukuli, diinjak-injak, dan dijadikan bola sepak, namun tidak merasakan sakit apalagi mati sesudahnya. Malah kelihatannya mereka <em>enjoy</em> banget kalo dipukuli. Berdarah-darah dan berteriak kesakitan memang iya, itu sih wajar, tapi setelah si Maling cuci muka, maka dalam sekejap mata, semua luka akan tertutup dan pulih kembali seperti sedia kala, sungguh mirip <em>debus</em> saja.<br />
<br />
Sebenarnya orang desa kami tahu benar, bahwa sesakti apapun Maling, pasti akan luntur kesaktiannya kalo disabet dengan daun Kelor, namun anehnya saat menangkap Maling tidak ada seorangpun yang menggunakan daun Kelor itu, mungkin karena memang daun Kelor itu termasuk barang langka di desaku atau bisa jadi para penduduk desa merasa kasihan, apalagi kalo Malingnya adalah Maling kambuhan yang hanya maling untuk hobby, sekedar menuruti jiwanya yang sakit.<br />
<br />
Maling yang tertangkap selalu saja di waktu yang sama, yaitu sesaat menjelang subuh sekitar jam tiga atau empat pagi, atau di saat <em>bedhug tengange</em>, sekitar jam delapan atau sembilan pagi. Memang ada juga kok Maling yang beroperasi di pagi atau siang hari. Maling seperti itu disebut <em>Nayap</em>. Kata orang-orang tua, saat seperti itu memang saat <em>pengapesan</em> (sial) bagi seorang Maling, istilahnya <em>kamanungsan </em>(ketahuan mata manusia) karena sudah kesiangan.<br />
<br />
Kalo ada Maling yang ketahuannya di waktu malam, hampir tidak pernah ada ceritanya Maling itu tertangkap walau dikejar kemanapun juga. Konon Maling yang sakti bisa merubah diri menjadi belut saat ketemu sungai, atau Maling itu bisa jadi memiliki <em>Aji Sepi Angin</em> yang bisa membuatnya bergerak secepat angin, atau bahkan ada juga Maling yang memiliki <em>Aji Panglimunan</em> yang membuatnya tak terlihat mata.<br />
<br />
Namun demikian, sekali-kali Maling juga bisa <em>ketanggor</em> (kena batunya) kalo nekat beroperasi di rumah <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/senjata-sakti.html">orang-orang sakti</a> semisal Pak Bayan. Rumah Pak Bayan itu dipasangi <em>Rajah Kalacakra</em> (jimat berbentuk tulisan melingkar) yang membuat Maling kerjanya hanya keliling-keliling saja di dalam rumah seperti orang bingung.<br />
<br />
Di desaku memang ada ronda malam, tetapi seperti yang terjadi dimana-mana, Maling itu selalu saja lebih pintar dari Peronda yang jumlahnya hanya sekitar tiga atau empat orang saja. Peronda biasanya berkeliling desa dari rumah ke rumah sekitar pukul satu malam sambil mengumpulkan beras <em>jumputan</em> (sejumput beras yang disediakan pemilik rumah) yang ditaruh di <em>emperan</em> (serambi) rumah. Beras itu akan ditampung dan dijual untuk mengisi kas Desa. Jarang sekali Peronda memergoki maling. Kalopun mereka menangkap Maling, itu karena yang punya rumah berteriak-teriak. Mungkin saja yang punya rumah nggak mempan di<em>sirep</em> atau memang malingnya sudah <em>kamanungsan</em>.<br />
<br />
Maling itu menggunakan berbagai cara untuk masuk ke rumah orang. Maling yang sakti juga tahu di malam apa dia harus bekerja agar memiliki kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Saat beroperasi, mula-mula si Maling Sakti akan <em>merapal</em> (membaca) mantra <em>ilmu sirep</em> dan menaburkan tanah kuburan ke atap rumah. Hal itu akan membuat semua penghuni rumah <em>turu kepati</em> (tertidur pulas seperti orang mati). Kalo dia kesulitan membongkar pintu atau jendela, ia akan m<em>babah</em> (menggali) tanah, karena hampir semua lantai rumah di desa kami masih tanah juga. Baru deh dia akan leluasa masuk ke rumah. Kadangkala, Maling itu sempat juga makan sesuatu dari dapur karena kelaparan, kalo sudah begitu si Maling pasti buang hajat di dalam rumah juga, ini sudah merupakan hukum permalingan.<br />
<br />
Barang-barang yang dicolong Maling itu antara lain sepeda, radio, uang, perhiasan, pakaian, atau ayam. Di desa kami itu, ayam memang biasanya tidur di dapur. Tapi kadang-kadang hewan ternak besar semisal kambing atau sapi pun bisa juga jadi sasaran.<br />
<br />
Nah, Maling yang mampu mencuri hewan ternak besar semisal kerbau, sapi, atau kambing tanpa ketahuan itulah Maling yang dianggap bener-bener sakti. Betapa tidak, bagaimana caranya si Maling bisa menuntun hewan sebesar itu melintasi desa-desa di tengah malam tanpa ada yang curiga dan menghentikannya? Kabarnya Maling yang bisa mencuri hewan ternak besar memiliki aji <em>Panglimunan</em> atau memiliki <em> Popok Wewe</em> yang bisa membuatnya tak terlihat dan tak terdengar oleh manusia.<br />
<br />
Yang mengerikan kalo ada Maling yang sedang mencari kesaktian atau kekayaan. Mereka mencari benda-benda untuk dijadikan jimat. Dan benda-benda itu hanya ada di orang yang sudah mati. Misalnya saja mereka mencuri kain kafan orang yang mati di hari Selasa atau Jumat Kliwon agar bisa menghilang saat memakainya sebagai selubung sebagaimana Harry Potter dengan kain ajaibnya. Atau bahkan juga memotong lidah orang yang mati di hari tertentu itu agar bisa jadi kaya raya.<br />
<br />
Makanya kalo ada yang mati di hari-hari keramat itu pasti keluarga yang masih hidup jadi repot karena harus nungguin kuburannya selama tiga hari tiga malam. Yang lebih repot lagi kalo ada orang bergigi emas yang mati. Karena walaupun sudah diumumkan saat mau dikubur bahwa gigi emasnya telah dilepas, biasanya Maling <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/gigi-emas.html">Gigi Emas </a>akan tetap menggali kuburan si mati. Wah pokoknya ribet banget deh. Lha iya, kalo matinya di hari keramat, tinggal ditungguin tiga hari tiga malam beres. Lha kalo yang mati bergigi emas, sampai kapan harus nungguin itu kuburan?<br />
<br />
<hr /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><u>Tulisan Terkait</u> :</span><br />
<span style="color: rgb(51, 102, 255);">>>></span> <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/senjata-sakti.html">Senjata Sakti</a><br />
<span style="color: rgb(51, 51, 255);">>>></span> <a href="http://cerpen-masteg.blogspot.com/2008/08/gigi-emas.html">Gigi Emas</a><br />
<hr /><br />
</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-44181190472422816712009-06-20T10:57:00.000+07:002010-02-14T01:07:19.545+07:00Kisah Kebon Suwung<div align="justify">Kebon Suwung adalah julukan bagi sebidang tanah tak berpenghuni yang terletak di tepi jalan menuju ke pasar di sebelah utara desaku, tak jelas siapa yang memilikinya. Kebon suwung itu memanjang sekitar dua ratus meter di kiri-kanan jalan tanpa pagar. Disebut Kebon Suwung (Kebon Kosong) karena selain tidak berpenghuni juga jauh dari rumah penduduk, sehingga keadaannya sepi, baik siang maupun malam. Kebun itu tidak ada yang mengelola sehingga hanya ditumbuhi pohon-pohonan laksana sebuah hutan kecil.<span id="fullpost"><br />
<br />
Dulu, kebon suwung itu terkenal angker sehingga orang tidak berani melewatinya sendirian di malam hari. Bukan takut <i>dibegal</i> (dirampok), tetapi takut <i>memedi</i> (hantu) penghuni Kebon Suwung yang punya hobi mengganggu orang itu. Konon <i>memedi</i> penghuni kebon suwung itu ada tiga; <i>Jim Papringan</i> (jin bambu), <i>Memedhon</i>, dan <i>Glundhung Pringis</i>.<br />
<br />
<i>Jim Papringan</i> itu pekerjaannya merebahkan pohon-pohon bambu secara tiba-tiba untuk menghalangi jalan orang yang lewat, terutama orang yang bersepeda. "Krosaaakk", saat pohon bambu tiba-tiba rebah, pingsan pulalah orang yang sedang lewat disana. Kalo sudah pingsan, maka sadar-sadar orang itu akan terbangun di <i>regol</i> (pos ronda) kampung sebelah di pagi hari beserta sepedanya, tanpa tahu siapa yang mindahin. Penolaknya cuma satu, saat mau melewati Kebon Suwung itu orang harus permisi dulu. "<i>Kula nuwun mbah, putune dherek langkung</i>" (Permisi kakek, cucu numpang lewat) sambil membunyikan bel sepeda tiga kali. Dengan cara itu orang lewat dijamin lolos dari gangguan <i>Jim Papringan</i>.<br />
<br />
<i>Memedhon</i> pekerjaannya menjelma dari sebentuk noktah putih di atas tanah menjadi sebentuk mahluk putih yang besar dan tinggi sekali dalam waktu singkat. Efeknya tidak sedahsyat rebahnya pohon bambu karena tanpa suara, tetapi orang akan <i>dhengkelen</i> (shock, terpaku, kaku tidak bisa bergerak) saat melihatnya, mau lari nggak bisa bergerak, mau berteriak tenggorokan rasanya kaku, akhirnya tanpa sadar kencing di celana. Orang yang melihat <i>Memedhon</i> akan sadar kembali setelah ditepuk bahunya oleh orang lain yang kebetulan lewat setelahnya. Lha kalo nggak ada orang lain yang lewat? Setelah beberapa waktu orang itu bisa sadar sendiri dalam keadaan menangis seperti bayi, aneh...<br />
<br />
Memedi <i>Glundhung Pringis</i> itu pada dasarnya adalah sebentuk kepala manusia tanpa badan yang selalu meringis, namun <i>Glundhung Pringis</i> itu bisa menjelma menjadi apa saja sebelum menakut-nakuti orang; jadi buah durian, buah nangka, bola, bahkan bisa pula berujud ayam. Bedanya dengan kedua lelembut lainnya, <i>Glundhung Pringis</i> membawa rejeki bagi orang yang ditakutinya. Lho kok bisa? Nggak tau juga deh, tapi buktinya memang begitu kok. Coba simak cerita di bawah ini tentang si <i>Glundhung Pringis</i>.<br />
<br />
Pernah pada suatu malam sekitar jam tiga dini hari. Seorang <i>mbok Bakul</i> (ibu-ibu pedagang) berangkat untuk belanja barang dagangan ke pasar sendirian dengan menggendong <i>tenggok</i> (bakul dari bambu) kosong. Sampai di Kebon Suwung, <i>mbok Bakul</i> itu melihat seekor <i>pitik babon</i> (ayam betina) di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang <i>pitik babon</i> itu segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam <i>tenggok</i> dengan harapan bisa dijual di pasar. Lama-kelamaan <i>tenggok</i> yang digendongnya makin terasa berat. Dengan penuh rasa heran, <i>tenggok</i> kemudian diturunkan untuk diperiksa. Di keremangan cahaya bulan, <i>pitik babon</i> yang tadi ditangkapnya itu ternyata telah berubah menjadi <i>Memedi Glundhung Pringis</i> (kepala orang yang sedang meringis), tentu saja <i>mbok bakul</i> itu jatuh pingsan. Namun setelah peristiwa itu, konon dagangannya laris bukan main.<br />
<br />
Ada lagi kisah <i>Blantik Wedhus</i> (pedagang kambing) yang pulang dari kota Solo naik sepeda nemu durian di Kebon Suwung malam-malam. Durian dimasukkan ke keranjang tempat kambingnya. Jaman dulu <i>Blantik</i> kambing membawa bronjong (keranjang bambu) di boncengan belakang sebelah kiri dan kanan untuk memboncengkan kambing dagangannya. Sesampainya di rumah, durian di bronjong segera diambilnya, namun ditangan <i>Blantik</i> itu, mendadak durian berubah menjadi <i>Glundhung Pringis</i>. Langsung saja si <i>Blantik</i> pingsan. Namun setelah itu usahanya maju, dari <i>blantik</i> kambing bertambah <i>blantik</i> sapi dan singkat ceritanya, <i>Blantik</i> itu menjadi orang kaya.<br />
<br />
Kembali ke Kebon Suwung, di masa itu tidak ada seorangpun yang berani tinggal disana. Pernah beberapa kali orang mendirikan rumah di sana. Walaupun sudah memberi <i>sajen</i> (persembahan) kepada <i>lelembut</i> dan didatangkan juga <i>Modin</i> (penghulu) untuk ngaji Yasinan, tapi penghuni rumah itu selalu saja sakit-sakitan ganti berganti bahkan tak jarang <i>kesurupan</i> (kerasukan), akhirnya mereka tidak betah dan pindah dari sana.<br />
<br />
Keangkeran Kebon Suwung mulai sirna setelah seseorang menemukan sebuah arca di tengah kebon itu. Gara-gara ada yang mengatakan itu arca emas, maka sejak itu ramailah orang datang dari berbagai penjuru mencari arca lainnya. Mula-mula muncul isu, bahwa arca hanya bisa didapat dengan <i>semedi</i> (bertapa), maka ramailah orang duduk bertapa di bawah-bawah pepohonan. Tak mendapatkan apa-apa dari <i>semedi</i>nya, orang mulai menggali-gali tanah, pohon-pohon banyak yang ditebangi, Kebon Suwung berubah jadi lapangan. Walaupun tidak lagi ditemukan arca, namun sejak itu Kebon Suwung telah terlanjur rame, banyak orang jualan sampai malam dan kalo sore rame pemuda main bola. Mungkin itu sebabnya ketiga <i>lelembut</i> penghuninya tidak lagi betah tinggal lama-lama di Kebon Suwung itu.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-10174292445797869462009-06-13T13:13:00.000+07:002010-02-14T01:06:57.480+07:00Arca Sapi Emas<div align="justify">Seluruh penduduk desa Baderan serta merta geger demi mendengar kabar bahwa mBah Jayeng menemukan sebuah arca sapi emas di kebon suwung selatan desa. Mbah Jayeng menemukan arca itu setelah bertapa di bawah pohon beringin yang berumur ratusan tahun di kebon itu selama tujuh hari tujuh malam. Mula-mula dua orang wartawan lokal dari Kabupaten mengunjungi rumah mBah Jayeng, tak lama kemudian berita penemuan arca sapi emas itu mulai tersebar ke seluruh pelosok Nusantara.<span id="fullpost"><br />
<br />
Kini rumah mBah Jayeng ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Petugas dinas purbakala Kabupaten datang meneliti, tapi pergi lagi tanpa berbuat apapun. Isu-isu tentang keajaiban arca mulai berkembang; arca hanya terlihat seperti arca tanah liat oleh Petugas Dinas Purbakala sehingga tidak jadi diambil, atau isu arca bisa menyembuhkan penyakit, mendatangkan rejeki dan jodoh, dan sebagainya dan sebagainya. Dikabarkan seorang Konglomerat yang sembuh dari sakitnya setelah melihat arca itu dibantu do'a mBah Jayeng, membangun jalan desa sebagai rasa terima kasih. Maka makin berbondong-bondonglah orang datang ke rumah mBah Jayeng di Baderan.<br />
<br />
Arca sapi sebesar kaleng Coca-Cola berwarna kuning bermata batu permata merah itu diletakkan di atas meja di dalam rumah bambu mBah Jayeng. Di sebelahnya dinyalakan lampu minyak kelapa dan diletakkan semangkuk air bunga mawar. Bau kemenyan yang dibakar di bawah meja menimbulkan suasana mistis menghipnotis di keremangan rumah itu. Orang bergiliran satu per satu menonton arca emas itu. Tentu saja tidak gratis, mereka harus mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan dimasukkan ke dalam kotak amal, uang seribu rupiah sudah tidak laku lagi. Bagi yang ingin minta didoakan secara khusus kepada sapi itu oleh mBah Jayeng akan dipungut uang lima puluh ribu rupiah, tidak kurang.<br />
<br />
Waktu terus berlalu, berita tentang arca sapi berkembang sampai ke sejarah terjadinya dikait-kaitkan dengan kerajaan dan tokoh sejarah masa silam. Pembahasan arca sapi emas secara historis maupun fiktif terus diada-adakan dan ditiup-tiupkan dengan gencar lewat surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet. Kisah serial arca sapi emas bahkan mulai diproduksi dalam bentuk komik, cerbung, cersil, maupun sandiwara radio.<br />
<br />
Penduduk desa Baderan mulai kecipratan rejeki, ada yang jadi tukang parkir, penjual makanan, tukang sablon dan penjual kaos, baju, dan topi bergambar arca sapi, pembuat atau penjual souvenir arca sapi, dan juga pemandu ke tempat-tempat keramat seputar desa Baderan. Puluhan juta rupiah mengalir ke Baderan setiap harinya. Orang desa mulai merangkak kaya. Perekonomian mulai membaik. Setelah setahun berlalu, tidak ada lagi orang miskin di Baderan, setidaknya setiap rumah memiliki satu sepeda motor.<br />
<br />
Desa Baderan mendapatkan perhatian khusus dari Pemda. Fasilitas umum, jalan raya, sarana transportasi, sekolah, dan pasar didirikan, diperbaiki atau dikembangkan dengan cepat seolah berpacu dengan derasnya propaganda di media masa. Penduduk dibina untuk mandiri, dan menjadi agen-agen perekonomian desa. Usaha Pemda tidak sia-sia, roda perekonomian mulai berputar kencang seiring berlalunya waktu. Kini Baderan dan sekitarnya telah menjadi daerah yang mandiri dan makmur.<br />
<br />
Dua tahun berlalu sudah sejak arca emas ditemukan di Baderan. Kini arca emas sudah tidak lagi menarik perhatian orang, tapi desa Baderan dan sekitarnya sudah terlanjur maju dan mandiri secara ekonomi. Beberapa Konglomerat bahkan menanamkan usaha di bidang agribisnis di desa itu. Orang-orang yang datang ke Baderan kini tidak lagi berkeinginan untuk menonton arca emas itu tetapi untuk mencari kerja atau berbisnis.<br />
<br />
Pagi itu Bapak Bupati membuka rapat koordinasi pembangunan ekonomi daerah di ruang rapat Kabupaten. Semua Pejabat Kabupaten, para Camat, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat, dan beberapa Konglomerat menghadiri rapat itu. "Seperti yang sudah kita rencanakan, kini Baderan dan sekitarnya telah menjadi kota mandiri.", sambut Pak Bupati. "Sekarang saatnya kita lakukan secara paralel di tiga desa yang sudah kita rencanakan sebagai sentra ekonomi Kabupaten kita. Kami mohon dukungan penuh semua pihak untuk kesuksesan program ini."<br />
<br />
Demikianlah, beberapa hari kemudian ramai berita di surat kabar; ditemukan keris empu Gandring di Desa Banaran. Dan dua minggu kemudian, bintang jatuh di desa Argo Puro, batu meteoritnya masih menancap di tanah. Dan di bulan berikutnya, dilahirkan bayi ajaib yang sudah bisa mengaji dan meramal di desa Tawang Rejo. Wartawan lokal berdatangan, Petugas Dinas Purbakala datang dan pergi lagi. Isu-isu ajaib mulai bertiup, berkembang, dan terus berkembang. Orang-orang dari seluruh Nusantara mulai berbondong-bondong mengunjungi lokasi, fasilitas umum mulai dibangun, penduduk mulai dibina, dan Konglomerat mulai menanamkan modalnya.....</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-34069030284650265682009-06-06T23:01:00.000+07:002010-02-14T01:05:50.487+07:00Bocah mBeling<div style="text-align: justify;">Anak-anak itu memang seperti kain yang putih. Bisa jadi kotor kalo diletakkan di tempat yang kotor dan juga akan tetap bersih apabila diletakkan di tempat yang bersih. Itu tak lain karena anak-anak itu selalu saja memiliki kebiasaan untuk meniru tindakan orang lain yang membuatnya tertarik, perbuatan baik atau tidak baik. Anak-anak memang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalaupun sudah bisa membedakannyapun, biasanya lingkunganlah yang berperan.<span id="fullpost"><br />
<br />
Begitu juga denganku dan teman-temanku semasa kecil. Kami memandang dan meniru sesuatu itu tergantung dari lingkungan dimana kami berada. Di lingkungan orang-orang yang baik, kami akan meniru yang baik-baik. Sebaliknya, mudah sekali kami meniru yang buruk-buruk setelah berada di lingkungan orang-orang yang berkelakuan buruk pula seperti yang akan aku tuturkan di bawah ini.<br />
<br />
Berjudi menggunakan kartu adalah hal yang biasa kami temui di tempat orang hajatan. Jadi, keesokan harinya, aku dan teman-temanku akan mengumpulkan bekas kartu remi atau domino untuk kami pakai "berjudi" di bawah barongan (rumpun bambu) atau di tempat tersembunyi lainnya. Seperti orang-orang dewasa, kami juga "berjudi" memakai uang beneran lho. Kalah judi sih bukan masalah besar bagi kami, yang paling apes (sial) itu ya kalo lagi gayeng (sedang ramai-ramainya) main judi lalu kepergok Bapak-bapak kami. Hukumannya tak lain dan tak bukan ya disuruh baris dan disabeti penjalin (dipukuli rotan). "Sing mbok tiru ki sapa ta leeee? Arep dha dadi bajingan apa piye, he? -- Yang kalian tiru itu siapa sih naakkkk? Mau jadi Bajingan apa?--" Selepas disabeti penjalin, biasanya kami akan kapok, tapi kapok Lombok. Kapok Lombok itu ya kapoknya kalo lagi dihukum. Besok-besoknya, kalo ada orang hajatan lagi, ya ngumpulin kartu lagi, dan tentu saja "judi" lagi di bawah barongan.<br />
<br />
Kalo aku dan teman-temanku menonton orang-orang yang berjoget sambil mabok saat pentas ndangdutan, maka minum Ciu (sejenis minuman keras dibuat dari fermentasi tebu yang efek maboknya jauh lebih dahsyat dibanding Wisky) juga kami anggap sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru. Soalnya kami ini takut bener pada orang mabok, jadi kami menganggap orang mabok itu hebat. Besoknya kami biasanya akan patungan untuk membeli Ciu, kalo ditanya yang jual, kami bilang disuruh Kakek untuk jamu. Orang-orang tua di desaku memang biasa minum Ciu untuk menjaga kesehatan, aneh ya? Ciu itu kami minum beramai-ramai di kebon pohung (kebun ketela pohon) yang rimbun di pinggir desa. Walaupun tanpa iringan musik dangdut, minum Ciu itu ternyata asyik juga kok. Nah kalo sudah mabok, kami akan tertidur sampai sore. Bangun-bangun kepala terasa pusing dan berat. Kamu tahu nggak bagaimana rasanya mabok? Kalo sudah mabok, kepala rasanya ringaaann banget, tapi semua benda di sekeliling kita terasa berputar. Asyik memang. Namun ya itu, setiap kali mencoba jalan pasti roboh. Kalo sudah mabok terlalu berat, maka sebelum tertidur pasti ada acara muntah-muntah, "Hoooeeekkk...hooeekkk!!!" Bersamaan dengan itu, dari mulut-mulut kecil yang celaka itu juga meluncur ringan pisuhan (umpatan) orang mabok.<br />
<br />
Yang paling konyol adalah pengalamanku merokok untuk pertama kalinya di suatu siang di hari Lebaran. Aku dan dua temanku mula-mula mencuri rokok Klobot (rokok yang bungkusnya dari daun jagung) isi tiga batang dari pancenan (sesajen) di malam Lebaran di rumah kakekku. Siangnya, kami mencari tempat persembunyian untuk merokok. Setelah berputar-putar, akhirnya kami masuk ke dalam sebuah drum kayu bekas merendam kedelai untuk membuat Tahu di belakang rumah kakekku. Beberapa saat kemudian, kami bertigapun asyik-masyuk menghisap rokok Klobot itu diam-diam, walaupun terasa gatal di leher, kami berusaha keras untuk tidak batuk agar tetap aman. Bodohnya, kami tidak pernah berpikir bahwa dari jauh, drum kayu itu tentu saja kelihatan kemedus (berasap) seperti puncak merapi yang mau meletus. Maka belum sempat habis satu batang, dengan cepat kamipun ketahuan Kakekku. Seperti yang sudah-sudah, hukumannya adalah berbaris dan disabeti penjalin. "Sing mbok tiru ki sapa ta leeee? Arep dha dadi bajingan apa piye, he? -- Yang kalian tiru itu siapa sih naakkkk? Mau jadi penjahat apa?--" Coba tebak, sehabis disabeti penjalin, kami kapok lombok atau kapok beneran?</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-88949717331732729172009-05-29T13:01:00.000+07:002010-02-14T01:04:01.390+07:00Ki Ageng Paijo<div style="text-align: justify;">Bahwa terlahir sebagai manusia yang cerdas, berdaya ingat kuat, dan pandai bicara sudah disadari betul oleh Paijo, itulah sebabnya dari SD sampai SMA, Paijo selalu bertengger di ranking pertama di kelasnya. Namun sayang, Paijo memiliki watak pemalas, mudah bosan, senang hiburan, dan hobby menempuh jalan pintas. Hal buruk itulah yang membuat Paijo hidup serba kekurangan.<span id="fullpost"><br />
<br />
Orang tua Paijo yang buruh tani berlepas tangan setamat Paijo dari SMA. Tak ingin hidup miskin, Paijo hengkang ke Ibukota. Sudah terlalu sering ia mendengar dari orang ramai bahwa di Ibukota sangatlah mudah orang mencari uang, dan ia sangat percaya pada kecerdasannya.<br />
<br />
Di Ibukota, Paijo menyewa kamar seadanya di kawasan kumuh pinggiran Ibukota yang dihuni berempat dengan temannya. Ia bekerja apa saja mulai dari pekerjaan kasar sampai kantoran. Namun sifat buruknya telah menghalangi kesuksesannya di Ibukota. Kecerdasannya tidak mampu mengalahkan segala sifat buruknya. Sifatnya yang pembosan dan senang jalan pintas membuat Paijo tak pernah lama bekerja di satu tempat. Akhirnya ia kerja apa saja yang berbau jalan pintas; judi, pasang buntut, menipu, maling, pokoknya apapun yang mudah. Tentu saja pekerjaannya itu tak pernah menjadikannya kaya. Ia harus membayar pajak penghasilan yang cukup banyak untuk para becking. Preman makan preman.<br />
<br />
Kini sepuluh tahun sudah Paijo hidup di Ibukota tanpa pekerjaan pasti. Hidupnya masih begitu-begitu saja, tidak ada perubahan apapun. Sampai pada suatu hari sebuah artikel di koran yang memuat kehidupan Paranormal yang kaya raya mengubah kehidupannya.<br />
<br />
Dengan uangnya yang tersisa, Paijo membeli berbagai macam buku Primbon, buku Feng Shui, dan berbagai buku ramal-meramal. Ia mulai belajar meramal setiap hari. Ia sadar, untuk menjadi Paranormal, ia harus memberikan kesan mistis kepada semua orang. Maka kepada teman-teman kosnya, ia pamitan bertapa di Banten selama empat puluh hari empat puluh malam. Demikianlah, selama dua bulan Paijo tak tampak batang hidungnya.<br />
<br />
Pulang ke kosnya, Paijo berubah total. Ia telah memproklamirkan dirinya menjadi Paranormal bergelar Ki Ageng Paijo. Semua orang di kosnya diramal dan diberi petunjuk-petunjuk tanpa diminta. Ada yang percaya dan patuh, tapi ada juga yang tertawa dan menganggapnya gila.<br />
<br />
Namun kesaktian Ki Ageng Paijo mulai terbukti di lingkungan itu hanya dalam waktu sebulan saja. Banyak nasib orang berubah karena ramalan dan mengikuti petunjuk Ki Ageng Paijo. Ada yang mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik, penghasilan yang meningkat, jualan yang semakin laris, bahkan ada juga yang menemukan jodoh. Namun demikian, yang diramal buruk juga menjadi kenyataan.<br />
<br />
Mulut manusia adalah sarana iklan yang efektif. Lambat tapi pasti nama Ki Ageng Paijo mulai terkenal di Ibukota. Ramalan dan petunjuknya jitu. Kini tak hanya kalangan bawah saja yang mendatangi Ki Ageng Paijo, tapi kalangan menengah sampai Pejabat mulai berdatangan untuk minta diramal dan diberi petunjuk.<br />
<br />
Dalam waktu setahun, Ki Ageng Paijo menjadi orang kaya. Sebuah rumah beserta isinya kini ia tinggali di sebuah kawasan elit Ibukota. Angannya tercapai sudah, hidup enak tanpa keluar keringat, cukuplah dengan ilmu Primbon dan Feng Shui yang keluar dari mulut fasihnya dan dari program sms yang menghasilkan jutaan rupiah per hari.<br />
<br />
Kini Ki Ageng Paijo sedikit bisa bertingkah. Tarif konsultasi langsungnya tak lagi terjangkau masyarakat bawah dan menengah. Ia juga tak sembarangan menerima pasien. Hanya orang-orang yang dikategorikan Pejabat dan Pengusaha kaya saja yang bisa minta ramalan dan petunjuk darinya secara langsung. Dan kekayaannya kini bertambah banyak dari waktu ke waktu.<br />
<br />
Ki Ageng Paijo mulai mencicipi liburan ke luar negeri. Mula-mula hanya coba-coba ke negeri tetangga, namun lama-lama ketagihan hingga sampai ke negeri jauh. Ia mulai mengelilingi dunia dan mencobai segala kenikmatan dari berbagai penjuru dunia. Keasyikannya itu membuatnya menutup layanan konsultasi langsung. Ia mengandalkan program smsnya saja, namun uangnya terus bertambah dan terus pula memanjakannya.<br />
<br />
Menjadi kaya dan terkenal tak mengubah sifat buruk Ki Ageng Paijo. Ia malas memperbarui program smsnya yang usang dan mulai ditinggalkan orang. Kepopulerannya menukik tajam laksana pesawat jatuh seiring dengan menipisnya kekayaannya. Dalam waktu singkat Ki Ageng Paijo kehilangan liburannya, kehilangan rumah dan segala isinya. Kini Ki Ageng menyewa rumah kecil di pinggiran Ibukota.<br />
<br />
Ia mencoba memperbaiki keadaannya, namun bintangnya yang telah pudar tak mudah menyala kembali. Tak ada orang yang mendatangi kliniknya. Ki Ageng putar haluan, ia mencoba menulis dan berbicara di media. Tapi tak satu mediapun menerima tulisan dan konsultasinya. Tak putus asa, Ki Ageng membuka layanan ramal-meramal di pasar-pasar dan keramaian di mana saja, namun hal itu tak banyak membantu kehidupannya.<br />
<br />
Kepergiannya keliling dunia mulai berbuah, ia dinyatakan positif HIV dan harus dirawat, tapi Ki Ageng tak lagi punya uang. Tak mau jadi pesakitan dan hidup menunggu waktu dalam pengawasan, Ia melarikan diri. Kini ia tak lagi punya tempat tinggal, tapi ia tak menyerah, ia masih yakin kecerdasan dan kefasihan lidahnya masih mampu meraih kembali kejayaannya. Ki Ageng Paijo merasa waktunya semakin dekat dan semakin dekat, namun Ia tak peduli. Ki Ageng terus berkeliling dari halte ke halte, dari terminal ke terminal, dari stasiun ke stasiun menawarkan ramalan kepada setiap orang yang ditemuinya.<br />
<br />
"Ramalan dan nasehat jitu, uang kembali bila tak terbukti. Kesuksesan kerja, jualan laris, cepat jodoh, bonus ajian, jimat, dan jampi-jampi. Ayo, hanya buka hari ini...", Ki Ageng Paijo berteriak parau. Tapi tak seorangpun percaya pada seorang gelandangan dekil, bau, dan kurus kering.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-63385725632093332532009-05-22T01:55:00.000+07:002010-02-14T01:03:32.327+07:00Andong<div style="text-align: justify;">Tentu kamu tahu Andong kan? Andong itu adalah kereta kuda besar beroda empat dan ditarik paling sedikit dua ekor kuda yang besar. Memang jarang terlihat Andong ditarik oleh empat ekor kuda, tapi aku pernah melihatnya. Andong itu merupakan kendaraan angkut yang cukup favorit di kota Solo dan sekitarnya termasuk di daerahku. Dengan bentuknya yang besar itu, Andong memang memiliki daya angkut yang luar biasa. Untuk mengangkut orang saja, paling tidak delapan sampai lima belas orang, termasuk anak-anak bisa diangkutnya. Kalo hanya untuk mengangkut barang, pastilah puluhan karung beraspun mampu diangkutnya. Tak jarang aku melihat Andong mengangkut dagangan berupa <span style="font-style: italic;">bongkokan</span> (ikatan) daun jati (biasanya untuk bungkus tempe) sampai tinggiiii sekali, hampir-hampir bentuk asli Andong itu susah dikenali. Kalo saja roda dan kuda-kudanya tidak kelihatan, maka pastilah orang menyangka ada hutan Jati yang sedang berjalan-jalan....<span id="fullpost"><br />
<br />
Andong itu memang kendaraan yang unik. Kalo digunakan untuk mengangkut orang, perlengkapan manusiawinya yang berupa plastik hitam yang disebut <span style="font-style: italic;">deklit </span>dilengkap dengan jendela dari plastik bening penutup badan Andong itu akan digelar rapi dan membentuk wujud kendaraan yang anggun sekali laksana kereta kuda kerajaan Inggris Raya sana. Nah kalo hanya digunakan untuk mengangkut barang, pakaian Andong itupun akan dilucuti, digulung habis sampai <span style="font-style: italic;">mblindhis</span> (telanjang) tinggal kerangka dan atap saja. Fungsional banget ya?<br />
<br />
Andong itu kendaraan segala cuaca, segala medan, dan segala suasana. Pokoknya asal kudanya oke, semuanya ngikut aja. Jalan pagi, siang, sore, atau malam nggak masalah. Sebagai penerangan di malam hari, Andong itu dilengkapi dengan lampu minyak <span style="font-style: italic;">Jlantah </span>(minyak kelapa) yang bentuknya sangat klasik dan diletakkan di keempat sudutnya sebagai penerangan. Tapi Andong yang mbeling biasanya hanya memiliki satu lampu saja di kanan depan. Pada jaman mobil sudah mulai banyak, Andong itu bahkan memiliki spion besar layaknya truk, entah yang gila itu siapa: pemiliknya, kusirnya, atau yang jual spion. Andong juga nggak masalah jalan di panas terik atau hujan lebat, pokoknya asal kusirnya tahan aja. Di jalan tanah atau becek juga nggak masalah, biasanya kusirnya sudah hapal benar, jalan sebecek apa yang mampu dilalui Andong beserta kudanya.<br />
<br />
Tahu nggak, ada juga lho bengkel khusus untuk Andong. Tetanggaku ada yang memiliki bengkel Andong itu. Mulai dari ganti roda, perbaikan dan <span style="font-style: italic;">balancing body</span>, sampai pengecatan semuanya dilayani. Bahkan kadang juga menerima pesanan Andong baru. Yang membedakan bengkel Andong dengan bengkel mobil adalah: bengkel Andong menyediakan juga servis untuk kuda penarik Andongnya. Setiap kuda yang Andongnya masuk bengkel akan mendapatkan perlakuan yang istimewa, setidaknya rumput segar, <span style="font-style: italic;">katul</span> (sekam padi) yang sehat, mandi keramas, perawatan kuku, sepatu, dan sikat bulu akan didapatkannya.<br />
<br />
Aku dan teman-temanku paling senang kalo pulang sekolah ada Andong lewat. Kami akan berebut naik Andong itu diam-diam di bagian belakang. Walaupun bagian belakang biasanya digunakan untuk tempat makanan kuda, namun selalu saja ada ruang bagi kami. Kusir Andong itu sebenarnya nggak suka kalo ada yang naik Andongnya secara illegal seperti itu. Makanya kalo ketahuan, kusir itu pasti akan marah besar. Sebenarnya, karena karakteristik andong yang besar dan berat itu, maka berat anak-anak yang naik di belakang nggak akan terasa, tetapi ada saja temanku yang usil karena nggak kebagian tempat. Mereka akan teriak "Cing Ceng Buk...Cing Ceng Buk..." sebagai isyarat kepada Kusir bahwa ada penumpang gelap di belakang. Nah, kalo sudah begitu, Kusir itu dengan ekspresi wajah dingin seolah-olah nggak ngerti apa-apa akan melambaikan cambuknya yang panjang itu ke belakang untuk menyapu para penumpang gelap itu. "Dlegek!", kamipun <span style="font-style: italic;">misuh-misuh</span> (mengumpat-umpat) sambil berloncatan turun.</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-83868673526631198712009-05-15T21:44:00.000+07:002010-02-14T01:02:33.789+07:00Pak Rebo yang Setia<div align="justify">Ini cerita tentang Pak Rebo. Pedagang perkakas rumah tangga, kain, dan pakaian keliling yang selalu singgah di desaku setiap hari Rabu. Ya, hanya di hari Rabu itu sajalah Pak Rebo akan singgah di desaku. Kadang di pagi hari, kadang di siang hari, atau kadang juga di sore hari. <span id="fullpost"><br />
<br />
Sepanjang pengetahuanku, tak pernah satu kalipun Pak Rebo absen mengunjungi desaku seminggu sekali di hari Rabu itu. Pak Rebo selalu naik sepeda besar (<em>pit kebo</em>) yang bagus bermerk Gazelle (orang-orang di desaku sering menyebutnya dengan <em>pit gacel</em>, e-nya diucapkan seperti e pada kata tebu) yang dilengkapi dengan tuas pengatur gear Hi-Lo dan kalo berjalan selalu berbunyi cik...cik...cik...<br />
<br />
Pak Rebo itu orangnya tinggi, berkulit coklat kehitaman, berwajah ganteng dan masih muda, kira-kira berumur 20 tahunan waktu itu. Pak Rebo selalu berpenampilan rapi, selalu memakai kemeja panjang dengan lengan terlipat, celana bahan warna gelap, lengkap dengan sepatu pantalon layaknya pegawai kantoran saja. Bedanya Pak Rebo tidak pernah menggunakan dasi.<br />
<br />
Pak Rebo memiliki dua ciri khas yang tidak dimiliki orang lain bahkan di seluruh penjuru dunia. Ciri khas pertamanya adalah sebuah <em>topi laken</em> (topi koboi) warna coklat kehijauan yang selalu bertengger di kepalanya lengkap dengan tali yang melilit sampai di dagunya. Ciri kedua adalah sebuah gigi emas putih yang menggantikan posisi gigi seri sebelah kiri. Dengan gigi itu, kalo sedang tersenyum, maka wajah Pak Rebo yang coklat-kehitaman itu akan semakin kelihatan keren.<br />
<br />
Pak Rebo menjual dagangannya dengan cara kredit, Pelanggan boleh membayar barang yang dibelinya dengan cara dicicil sampai kapanpun asal cicilan itu dibayar pada setiap hari Rabu. Berapa saja, ada 5 rupiah ya kasih 5 rupiah, ada 10 rupiah ya dikasih 10 rupiah. Pokoknya fleksibel banget deh. Jangan membayangkan harga dagangan Pak Rebo itu jutaan rupiah. Pada waktu itu baju yang paling mahal saja cuma 200 rupiah. Kebijakan Pak Rebo adalah, sebelum lunas, Pelanggan tidak boleh ngutang lagi. Uang <em>lebon</em> (angsuran) itu akan dicatat dengan rapi dalam sebuah buku yang tebal dan panjang. Tak pernah satu transaksipun yang tak tercatat dalam buku catatannya itu. Makanya hampir semua warga di desaku, terutama ibu-ibu, menjadi Pelanggan setia Pak Rebo. Walaupun kredit dengan cicilan nggak tentu begitu, namun anehnya dagangan Pak Rebo nggak berkurang dari minggu ke minggu berikutnya, bahkan seolah-olah malah kelihatan bertambah dan selalu berganti dengan barang-barang baru.<br />
<br />
Sebenarnya Pak Rebo juga dikenal dengan nama lain di desa-desa tetangga. Ada yang mengenalnya sebagai Pak Senen, Pak Selasa, dan Pak Kemis. Memang dalam satu hari, Pak Rebo bisa berkeliling dua sampai empat desa seharian dengan sepeda kerennya itu. Namun aku belum pernah mendengar Pak Rebo berubah menjadi Pak Jumat, Pak Sabtu ataupun Pak Minggu. Yang aku dengar, setiap hari Jumat Pak Rebo ngaso, istirahat. Hari Sabtu <em>kulakan</em> (belanja barang dagangan) ke kota Solo dan hari minggunya pulang ke rumahnya yang berada di kaki gunung lawu sejauh 40 kilometer dari desaku. Pak Rebo memang ngontrak sebuah rumah dekat pasar sana.<br />
<br />
Yang aku herankan, Pak Rebo itu belum pernah sekalipun menjual mainan anak-anak. Padahal aku yakin kalo Pak Rebo juga menjual mainan anak-anak pasti laku. Setiap ditanya mainan anak-anak Pak Rebo hanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang bersinar bak meteor itu tanpa menjawab satu patah katapun. Namun entah kenapa anak-anak seperti kami sangat senang kalo Pak Rebo mengunjungi desa kami, aku dan anak-anak lain akan ikut <em>ngrubung</em> (mengerumuni) dagangan Pak Rebo yang baru-baru itu. Kalo lagi beruntung, ibu-ibu kami akan membelikan kaos atau celana kolor yang baru.<br />
<br />
Pak Rebo yang masih bujangan waktu itu seringkali ditawari jadi menantu para ibu yang anak perempuannya sudah dewasa. Soalnya ibu-ibu itu menganggap Pak Rebo yang ganteng dan ramah itu pintar mencari uang, satu hal yang menjadi jaminan kesejahteraan putri dan anak keturunan mereka kelak. Namun Pak Rebo hanya tersenyum saja kalo ditawari hal seperti itu. Padahal perempuan yang ditawarkan itu kebanyakan cantik-cantik dan seperti kebanyakan orang desa: jujur, taat, tidak takut miskin, dan sanggup bekerja keras.<br />
<br />
Pak Rebo dengan senyum dan penampilannya yang khas itu masih tetap rajin mengunjungi desaku dengan <em>pit gacel</em> tuanya selama puluhan tahun. Bahkan minggu kemarin sewaktu aku pulang ke desaku, setelah puluhan tahun berlalu, di hari Rabu pagi itu aku masih melihat Pak Rebo tua dengan setianya menyusuri jalan-jalan di desaku untuk mengunjungi para Pelanggan setianya dari pintu ke pintu. Dan seperti biasa, masih juga tidak menjual mainan anak-anak.<br />
<br />
Dalam penglihatanku, Pak Rebo tua itu masih seperti dulu: tinggi, hitam, ganteng, bertopi laken yang itu-itu juga dan saat senyumnya mengembang, gigi putih berkilat bak meteor itu masih saja cemerlang. Tawaran ibu-ibupun masih berlaku. Tapi bukan para gadis, melainkan para janda yang dulu pernah juga ditawarkan. Itu tak lain karena ternyata Pak Rebo tua itu masih membujang sampai sekarang. Kabarnya, Pak Rebo tua masih setia pada tunangannya nun jauh di desanya sana, yang telah meninggal sebelum mereka sempat menikah....</span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-67009848463079739372009-05-08T20:28:00.000+07:002010-02-14T01:02:04.904+07:00Episode Samijo<div style="text-align: justify;">Pelan-pelan rombongan Bus Mudik Bersama itu meninggalkan lapangan menuju luar kota. Di dalam bus, Samijo tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun menghuni Ibukota; dia, istrinya, dan dua anak mereka akhirnya bisa mengunjungi kampung halaman tanah kelahirannya. Ia merasakan jiwanya yang telah lama mengeras kembali lunak, lembut dan bahagia.<span id="fullpost"><br />
<br />
Samijo masih ingat betul saat semua penghuni kawasan kumuh tempat tinggalnya didata untuk mudik bersama ke kampung halaman sebulan sebelum bulan puasa. "Pokoknya ke semua tujuan, ada lima puluh bus siap mengantar, plus uang saku selama perjalanan dan ongkos balik ke Jakarta!", kata si Pendata tegas meyakinkan. Kata-kata itu seolah menjadi hujan deras di musim kemarau panjang. Semua penghuni yang telah rindu-dendam bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman mereka pun menyambutnya dengan gegap gempita.<br />
<br />
Maka, dua bulan penuh sesudah itu tidak ada kata istirahat bagi Penghuni kawasan kumuh itu. Semua Penghuni bersemangat mengais uang ke seluruh penjuru kota untuk bekal ke kampung halaman. Para Penjudi dan kupu-kupu malam tak peduli larangan beroperasi di bulan suci. Para pedagang tak peduli larangan menjual petasan dan tak peduli larangan jualan di bahu jalan. Para Pengemis dan Pemulung keluar masuk perumahan, menyusuri jalanan, perempatan dan lampu merah siang dan malam. Para Copet, Jambret, dan Preman menggila dimana-mana; di bus, di mall, di terminal, di stasiun, dan dimana saja. Semua Penghuni berlomba menumpuk uang, uang, dan uang.<br />
<br />
Samijo tak ketinggalan, ia memulung semakin jauh. Memasuki bulan puasa, ia melanglang dari satu masjid ke masjid lain mengais gelas plastik bekas orang buka puasa. Usahanya tak sia-sia, ratusan gelas plastik didapatkannya setiap malam. Ia tahu, di bulan puasa, dia tak bisa berharap banyak mendapatkan gelas plastik itu di siang hari. Duitnya makin banyak terkumpul, dua kali lipat dari bulan biasa. Samijo dan Istrinya senang. Sudah setahun ini mereka berusaha menabung untuk bisa pulang. "Seperti sudah diatur saja.", gumam Samijo. "Uang tabunganku nggak perlu berkurang untuk beli tiket.".<br />
<br />
Tak urung Samijo dan keluarganya menghabiskan jatah uang tiket bus mereka untuk membeli pakaian baru dan buah tangan. Akhirnya dua tas besar penuh buah tangan dan satu tas besar berisi pakaian mereka bawa serta. Ia ingin menunjukkan ke semua tetangganya di kampung sana, bahwa tujuh tahun kepergiannya ke Jakarta tidaklah sia-sia. Ia dan keluarganya akan pulang kampung berlebaran sebagai orang kaya.<br />
<br />
Kini kawasan kumuh itu hampir kosong. Malam gelap berangin kencang menyisakan sepi dan dingin yang menusuk tulang. Lima sosok manusia dengan sigap menyelinap mengendap-endap berpencar di kawasan itu, bergerak cepat seolah hapal segala sudut kawasan. Menjelang sahur, lima titik api terlihat di kawasan itu. Dalam waktu singkat api mulai membesar, meluas, dan melahap apa saja yang dilaluinya.<br />
<br />
Penghuni yang tersisa berteriak ribut, lari lintang pukang sambil berusaha menyelamatkan apa saja yang bisa diraihnya. Saat matahari terbit di ufuk timur, perumahan kumuh itu telah rata dengan tanah, hancur luluh menyisakan kepulan asap di sana-sini.<br />
<br />
<hr><br />
<br />
Maghrib telah lama lewat ketika Samijo dan keluarganya menginjakkan kaki mereka di terminal Pulogadung. Terdorong rasa lelah di perjalanan dan keinginan untuk cepat-cepat beristirahat, mereka bergegas naik mikrolet menuju istana mereka di Ibukota. Di perjalanan, sebentar-sebentar senyum Samijo mengembang, masih terbayang betapa mulianya dia dan keluarganya di kampung halaman tempo hari. Semua orang di kampungnya selalu memandang hormat pada Orang Jakarta dan mengiyakan semua ceritanya. Samijo dan istrinya royal menjaga image mereka sebagai orang Jakarta. "Asal masih cukup untuk pulang ke Jakarta dan makan sehari-dua.", pesan Samijo pada istrinya.<br />
<br />
Adzan Isya terdengar lamat-lamat ketika Samijo dan keluarganya turun dari Mikrolet. Samijo dan istrinya kaget melihat kawasan kumuh itu kini berpagar seng, gelap, dan sepi. Samijo dan keluarganya menyingkap pagar dan masuk ke dalam. Di keremangan lampu jalan, hati mereka tersentak dan beku melihat kawasan itu telah rata dengan tanah. Rumah yang telah dihuninya bertahun-tahun sirna dari pandangan mata. Istrinya seketika pingsan, kedua anaknya menangis menjerit-jerit. Kepala Samijo mendadak pening, pandangannya mulai gelap, dan dunia terasa berputar, semakin cepat, dan semakin cepat. </span></div>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4191365480890726170.post-32965047154450205062009-05-01T10:00:00.000+07:002010-02-14T01:01:40.059+07:00Pada Suatu Hari<div align="justify">Kebo Ijo benar-benar sial sepanjang hari ini. Mulai dari bangun tidur sampai tengah hari seolah-olah tidak ada satupun di dunia ini yang bersahabat dengannya. Ia tak habis pikir, apa yang salah dengan dirinya. "Mungkin saja ini hari burukku.", katanya setengah berbisik.<span id="fullpost"><br />
<br />
Pagi tadi Kebo Ijo bangun tidur terlambat. Setelah mandi kucing dan pakai seragam, Kebo Ijo menyambar tas kerjanya. Handphone dan dompetnya buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Kebo Ijo sigap naik ojeg ke stasiun kereta api. Baru saja selesai bayar ojeg, datang kereta dari Bogor yang penuh sesak, tapi Kebo Ijo tak peduli, ia menyeruak masuk, tak bisa, akhirnya Kebo Ijo menggelantung di pintu. "Aku tak boleh terlambat sampai ke kantor!", tekatnya dalam hati.<br />
<br />
Kereta api melaju cepat, tak peduli penumpang bergelantungan di pintu dan bertebaran di atap-atap gerbong. Menerobos dedaunan yang menjorok di pinggir-pinggir jalan kereta, melewati stasiun demi stasiun. Muka dan tubuh Kebo Ijo berkali-kali menyerempet dedaunan sepanjang rel. Tapi Kebo Ijo tabah.<br />
<br />
Lama-lama penumpang mulai berkurang dan Kebo Ijo bisa masuk ke dalam, tapi di dalam kereta masih penuh orang. Udara di dalam kereta panas dan pengap. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Gesekan demi gesekan penumpang yang naik turun membuat baju Kebo ijo <i>lecek</i>, kumal dan bau.<br />
<br />
Turun dari kereta, Kebo Ijo baru menyadari tasnya robek melintang terkena pisau silet, handphone dan dompet beserta seluruh isinya lenyap. Kebo Ijo lemas. Kini di sakunya tinggal tersisa uang delapan ribu perak. Tapi kesialannya tidak berhenti sampai disitu, Kebo Ijo ditangkap petugas penjaga pintu keluar karena tak berkarcis. Keluhannya karena kecopetan tak membuat petugas berbaik hati. Karena tak bisa membayar denda, Kebo Ijo disuruh membersihkan toilet dan menandatangani surat pernyataan.<br />
<br />
Kebo Ijo naik Mikrolet menuju kantornya, penuh sesak juga. Tapi di tengah jalan penumpang habis, tinggal Kebo Ijo seorang. "Pindah aja ke mikrolet belakang, Bang. Mau muter nih. Bayar seribu aja.", kata Sopir Mikrolet sambil menghentikan kendaraannya. Kebo Ijo pun ganti Mikrolet. Demikianlah, pagi itu Kebo Ijo ganti Mikrolet tiga kali. Dan ia terlambat masuk kantor. Langkahnya gontai menuju ke ruang atasannya. Ia sudah berjanji.<br />
<br />
"Kamu sendiri yang berjanji." Kata atasannya sembari memberikan Surat Peringatan Pertama pada Kebo Ijo. "Bila dalam waktu tiga bulan masih sering terlambat juga, dengan terpaksa mas Kebo harus saya pindahkan ke bagian administrasi.". Kebo Ijo tersentak. Itu berarti ia akan kehilangan penghasilan tambahan di lapangan yang jumlahnya lebih besar dari gaji bulanannya.<br />
<br />
Takut bencana semakin menderanya, Kebo ijo berniat pulang. Ia ijin pulang lebih awal. Ia percaya hari baik dan hari buruk, maka ia berniat untuk diam saja di rumah sampai hari baiknya tiba. "Biarlah surat kehilangan aku urus besok saja di hari baik .", katanya pada dirinya sendiri.<br />
<br />
Jam 13:00 tepat Kebo Ijo sudah berada di terminal, ia tak mau lagi naik kereta api, kapok. Terik matahari yang menyengat membuat Kebo Ijo ingin cepat-cepat mendapatkan bus, ia tak mau pilih-pilih, maka begitu bus PPD reguler lewat. Tanpa pikir panjang Kebo Ijo melangkah naik. Kali ini ia merasa beruntung, bus kosong. Dengan cekatan, Kebo Ijo duduk di kursi belakang Sopir. Hatinya lega.<br />
<br />
Bis melaju pelan menyisir jalanan menjaring satu-dua penumpang. Bus masih jalan santai, dan Sopir bus mulai menyalakan rokok. Asapnya mengepul semakin lama semakin banyak. Kebo Ijo mulai terganggu. Sungguh, dia sendiri perokok, tetapi paling tidak suka menghirup asap rokok orang lain. Lama-lama Kebo Ijo tak tahan, bangkit berdiri dan duduk dua bangku ke belakang di pinggir jendela. "Aman.", pikirnya.<br />
<br />
Penumpang mulai memenuhi bus, di sebelah Kebo Ijo kini duduk seorang perempuan membawa sebuah tas besar. Tas itu diletakkan di tengah kursi di antara mereka, "Maaf.", kata perempuan itu. Kebo Ijo tersenyum hambar.<br />
<br />
Seorang laki-laki pendek, berkulit hitam, gendut, dan berbibir tebal naik dari arah pintu depan. Setelah melihat kesana-kemari, pandangannya tertuju pada bangku Kebo Ijo. "Permisi." Katanya minta duduk. Perempuan itu beringsut dan menarik tasnya ke pinggir. Laki-laki itu duduk di tengah, bibir tebalnya tersenyum pada Kebo Ijo, "Maaf.", katanya pendek. Kebo Ijo berusaha tersenyum. Begitu duduk, badan gendut laki-laki itu menghimpit badannya. Bau keringat penumpang baru yang seperti cuka busuk itu mulai menghantam hidungnya. Kebo Ijo bersabar. "Dasar Bibir Tebal", batinnya.jengkel.<br />
<br />
Belum jauh bus berjalan, mata Si Bibir Tebal mulai meredup, meredup dan akhirnya terkatup. Kepalanya menunduk, Si Bibir Tebal mulai tertidur dan mulutnya mulai membuka. Bau nafasnya mulai memenuhi sekitarnya. Kebo Ijo melirik benci, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, bus telah penuh.<br />
<br />
Bus memutar, dan mulai memasuki jalanan lurus. Sinar matahari yang mulai condong ke arah barat menimpa sisi bus tempat Kebo Ijo duduk. Angin yang menghembus dari jendela bus tidak banyak membantu meredam panas matahari yang menimpa wajah dan sebagian tubuh Kebo Ijo. Kebo Ijo mandi keringat, terhimpit, terpanggang, tersiksa.<br />
<br />
Kepala si Bibir Tebal mulai miring, miring dan mendarat di pundak Kebo Ijo. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya. Kepala si Bibir Tebal kembali ke tempatnya semula. Tapi si Bibir Tebal tetap pulas, kepalanya masih menunduk. Ia mulai mendengkur, nafas baunya mulai ditemani liur yang menetes satu-satu.<br />
<br />
Bus sudah melaju setengah perjalanan. Kepala si Bibir Tebal mulai miring lagi, semakin miring dan kembali mendarat di pundak Kebo Ijo. Bau nafas si Bibir Tebal melabrak hidungnya. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya, semakin keras. Kepala Si Bibir Tebalpun kembali ke tempatnya, semakin menunduk. Tapi si Bibir Tebal tetap saja pulas. "Dasar binatang!", batin Kebo Ijo meradang.<br />
<br />
Tapi kepala si Bibir mulai miring kembali. Kebo Ijo memajukan tubuhnya untuk menghindari kepala si Bibir Tebal. Tanpa sandaran, tubuh si Bibir Tebal mulai ikut miring dan berada di atas punggung Kebo Ijo, tapi tidurnya sama sekali tidak terganggu. Kemiringan itu membuat bibirnya semakin terbuka dan liur di bibirnya menetes ke punggung Kebo Ijo yang berkeringat. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Pada tetesan kesepuluh, Kebo Ijo baru menyadarinya.<br />
<br />
"Bangsat!" Teriaknya keras mengejutkan sopir dan semua penumpang.<br />
<br />
Serta-merta Kebo Ijo bangkit dari tempat duduknya, tangan kirinya bergerak mencengkeram rambut si Bibir Tebal, tangan kanannya terayun bertubi-tubi memukul kepala si Bibir Tebal yang tersentak bangun dari tidurnya, kesakitan. Sopir menginjak rem, penumpang datang melerai. Tapi Kebo Ijo sudah kalap, matanya mendelik, mulutnya tak henti-hentinya mengumpat dan kedua tangannya mengayun ke kiri dan ke kanan memukul siapa saja yang datang. Kebo Ijo mengamuk membabi buta...<br />
</div></span>masteghttp://www.blogger.com/profile/13648093931298460781noreply@blogger.com0