Jolowok mengendarai motornya asal saja tanpa tujuan, tanpa semangat. Kadang pelan, kadang cepat, kadang berhenti lalu jalan lagi. Ia baru saja mensurvey rumah calon pembeli komputer kreditan dari tokonya, namun hari masih terlalu siang untuk kembali ke toko. Tiba-tiba motornya dibelokkan ke kiri mengikuti jalan berbatu. Sebuah tulisan cat di sebuah triplek seadanya telah menarik perhatiannya: "Jalan ke Pantai" tulisan itu disertai dengan tanda panah asal jadi. Beberapa waktu kemudian ia mendapati dirinya berada di sebuah warung di pantai Marunda.
"Silahkan, Mas. Mau minum atau makan?", tanya seorang perempuan setengah baya , gendut, dan menor. Dari bibir merahnya tersungging sebuah senyuman nakal.
"Minum aja, Bu. Fanta pakai es.", jawab Jolowok ikut tersenyum, geli. Di matanya, perempuan menor itu terlihat seperti kuda nil memakai bedak.
Jolowok menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Di sepanjang pantai berdiri warung berderet-deret diantara empang-empang. Beberapa orang terlihat memancing di empang-empang seputar warung. Ia merasa asing. Pantai ini tidak seperti pantai-pantai lain yang pernah ia kunjungi.
"Numpang ke toilet, Bu", Jolowok baru sadar bahwa ia menahan buang air kecil sejak tadi.
"Masuk aja, Mas. terus, mentok belok kiri."
Jolowok terheran-heran saat mengetahui bahwa bagian belakang warung itu terdapat beberapa bilik bertirai kain di kanan kiri lorong yang dilaluinya. Hatinya sibuk menerka-nerka, tapi masih belum mengerti juga. Tiba-tiba seorang perempuan muda berbaju daster tipis keluar dari bilik, hampir menabrak dirinya.
"Maaf, Mas.", perempuan itu sedikit terkejut dan kemudian berlalu ke depan warung.
Ketika kembali ke tempatnya semula, perempuan yang tadi hampir menabraknya telah duduk di depan mejanya. Deg! Jantung Jolowok terasa terhenti, jiwanya terpesona pada kejelitaan perempuan muda itu.
"Kenalkan Mas, itu adik saya, Hoyi", perempuan menor itu berkata dari balik etalase makanan.
Jolowok tersenyum, Hoyi tersenyum, Perempuan menor itu juga tersenyum. Dalam waktu singkat merekapun akrab dalam obrolan panjang yang sesekali diiringi tawa dan canda mesum yang keluar dari mulut si menor. Tak sadar Jolowok nambah minum, nambah kacang, nambah kue, nambah kerang rebus, nambah mie rebus, nambah kerupuk. Akhirnya, pulang menjelang maghrib, 50 ribu rupiah melayang dari dompet Jolowok, tapi Jolowok puas.
"Disini ramainya kalo malam, Mas. Coba aja besok malam Minggu kesini. Ntar Hoyi temenin jalan-jalan di pantai deh."
Entahlah, mengapa Jolowok merasakan dirinya hidup kembali setelah ngobrol dengan Hoyi. Hidup dari kebosanannya berumah tangga selama 12 tahun yang menurutnya hanya begitu-begitu saja. Selama ini Jolowok berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik, tak pernah neko-neko, cenderung lugu, dan hidupnya terkesan lurus-lurus saja. Tetapi semenjak pertemuannya dengan Hoyi, Jolowok merasakan semangat baru yang luar biasa. Diam-diam Jolowok mulai tertarik, suka, dan jatuh cinta pada Hoyi.
Sepanjang jalan Jolowok tersenyum-senyum sendiri. Bayangan demi bayangan mulai tergambar di otaknya, semakin lama semakin jelas dan membias menjadi berbagai rencana dan reka daya.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Jolowok mulai kecanduan Hoyi. Kepiawian Hoyi dalam mengelola perselingkuhannya dengan Jolowok telah menjadikan Jolowok menjadi budak yang manis bagi Hoyi. Hoyi mampu menjadi pendengar yang baik, Hoyi mampu memberi saran dan masukan cerdas tanpa berkesan menggurui, Hoyi mampu melontarkan canda dan gurauan segar, dan Hoyi juga mampu melayani kebutuhan Jolowok semuanya, dengan sempurna. Pelan namun pasti, istri dan kedua anaknya tersingkir dari lubuk hati dan pikirannya.
Kini Jolowok mulai berani mengutip uang "lolos survey", "uang pengiriman", atau "uang instalasi" dari pelanggan tokonya, semata-mata untuk membiayai perselingkuhannya dengan Hoyi, bahkan uang belanja bulanan keluarganya mulai disunat sedikit demi sedikit.
Menginjak bulan ketiga, istri Jolowok mulai curiga dan mulai bertanya-tanya. Setiap Jolowok pulang malam, Ia mengendus-endus baju suaminya itu, tapi ia tak menjumpai bau parfum, atau tanda-tanda perselingkuhan lainnya. Yang ada cuma bau keringat Jolowok yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Lepas dari baju, diam-diam istri Jolowok membongkar tas kerja dan dompet suaminya yang tengah terlelap. Tapi semuanya bersih: tak ada foto, surat, bon, atau catatan apapun yang mengindikasikan sebuah perselingkuhan. Istri Jolowok kebingungan. Firasat perempuannya mengatakan, suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain, tapi kecurigaannya tak menemukan bukti. Ia tidak tahu, bahwa suaminya memiliki baju ganti di warung Hoyi.
"Aku merusakkan TV plasma HDTV 53" di toko. Itu murni kesalahanku.", jawab Jolowok saat diinterogasi sang istri mengenai potongan uang belanja.
"Setiap bulan, harga TV itu harus aku cicil dari gajiku."
"Itulah sebabnya, aku sering pulang malam, lembur biar cepat selesai cicilannya."
"Awas ya, aku potong burungmu kalo berani selingkuh!", ancam sang istri galak.
Ia pernah membaca artikel, bahwa karyawan seumuran suaminya, setengah mapan, dan sering berhubungan dengan pelanggan itu rawan perselingkuhan. Ia bertekat tak akan membiarkan hal itu terjadi, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia merasa selama ini pelayanannya pada suaminya tidak berkurang walaupun dirinya sendiri capek setelah bekerja hampir seharian penuh di sebuah perusahaan laundry. Belum lagi ia masih harus memasak dan mencuci baju keluarganya di malam hari. Nonton TV saja hampir-hampir tak sempat lagi. Satu-satuya kesempatan baginya untuk beristirahat hanya di hari Minggu.
"Sumpah! potong saja kalo aku selingkuh!", Jolowok berkata tegas penuh percaya diri. Hati nuraninya telah seratus persen tertutup sosok Hoyi. Ia merasa harus tegas dalam berbohong dan berpura-pura, agar benar-benar terlihat jujur dan serius.
"Ingat ya, Mas. Dulu kamu yang mengejar-ngejar aku dan memintaku menjadi istrimu! sekarang....", Istri Jolowok mulai mengungkit-ungkit masa lalu dan mulai terisak-isak di depan Jolowok. Dari mulutnya terus meluncur kata-kata panjang-pendek bercampur isak-tangis sepanjang malam.
Jolowok sendiri tidak mengerti kata-kata istrinya. Yang ia rasakan, kehidupan mereka hanya begitu-begitu saja dari dulu. Pergi kerja pagi-pagi, pulang seringkali malam, di malam hari ia dapati dirinya dan sang istri yang sudah kecapekan tanpa gairah, tanpa kehangatan, dingin-beku-miskin komunikasi. Anak-anak yang bandel, ribut, dan menjengkelkan membuatnya tak bisa istirahat tenang di rumah. Baginya anak-anaknya itu seolah-olah sumber masalah yang tak pernah habis. Bodoh di sekolah, tingkah-lakunya tidak sopan, kerjanya main, jajan, dan nonton tv melulu sepanjang hari. Jolowok merasa tak ada gunanya membiayai sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kehidupannya, kehidupan keluarganya. Jolowok bosan, tidak ada sesuatu yang dinamis, tak ada sesuatu yang beda dan baru, tak ada sesuatu yang mampu membangkitkan gairah hidup dan menciptakan kehangatan seperti yang diberikan oleh Hoyi.
Sejak saat itu Jolowok berhati-hati, Ia jarang keluar malam agar istrinya tidak curiga. Sebagai gantinya, Jolowok mengorbankan waktu kerjanya. Ia datang menemui Hoyi selepas survey atau mengantar barang ke pelanggan.
Sabtu sore itu, sepulang kerja lembur, Jolowok tak menjumpai istri dan kedua anaknya di rumah. Tak ada pesan apa-apa, semua barang masih ada di tempatnya. Jolowok mencoba menelepon, tapi handphone istrinya tidak aktif. "Ah, paling-paling ke Mall dengan anak-anak. Kebetulan.", gumam Jolowok. Ia berniat menemui Hoyi yang sudah hampir seminggu tidak dikunjunginya. Kepergiannya itu akan digunakannya sebagai alasan mencari istri dan kedua anaknya. Rasa cinta dan kangen pada selingkuhannya yang membuta telah membuat diri Jolowok kehilangan nurani dan logika yang sehat.
Jam masih menunjukkan pukul 7 malam ketika Jolowok sampai di pantai Marunda yang mulai ramai pengunjung. Deburan ombak berbaur suara karaoke Ratih Purwasih menyambutnya memasuki warung remang si Menor. Dua-tiga pelanggan dan pasangannya terlihat asyik berduaan di sudut-sudut ruangan, tapi tak kelihatan sosok Hoyi, juga sosok si Menor.
"Pasti nungguin di bilik.", batin Jolowok penuh keyakinan.
Hatinya yang sudah dikuasai nafsu asmara itu mendorongnya untuk melangkah cepat-cepat menuju bilik, tak sabar. Sampai di depan bilik, dengan cepat Jolowok menyibak tirai sambil tersenyum lebar. "Aku datang, say...", Jolowok tak mampu melanjutkan kata-katanya. Senyumnya lenyap, langkahnya tertahan, dan wajahnya pucat membeku. Di keremangan bilik berlampu 5 watt itu, tampak istrinya duduk di dipan bambu sambil menyeringai. Tangannya yang memegang sebilah pisau dapur dilambai-lambaikan ke arahnya, memberi tanda agar mendekat. "Sini, sini mas, duduk dekat sini. Biar mudah aku memotongnya!", seru sang istri lembut mengancam.
Tiba-tiba Jolowok merasakan tubuhnya ringan, melayang, hanyut dalam irama nyanyian karaoke Ratih Purwasih, dan meluruh bersama debur ombak pantai Marunda.
"Silahkan, Mas. Mau minum atau makan?", tanya seorang perempuan setengah baya , gendut, dan menor. Dari bibir merahnya tersungging sebuah senyuman nakal.
"Minum aja, Bu. Fanta pakai es.", jawab Jolowok ikut tersenyum, geli. Di matanya, perempuan menor itu terlihat seperti kuda nil memakai bedak.
Jolowok menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Di sepanjang pantai berdiri warung berderet-deret diantara empang-empang. Beberapa orang terlihat memancing di empang-empang seputar warung. Ia merasa asing. Pantai ini tidak seperti pantai-pantai lain yang pernah ia kunjungi.
"Numpang ke toilet, Bu", Jolowok baru sadar bahwa ia menahan buang air kecil sejak tadi.
"Masuk aja, Mas. terus, mentok belok kiri."
Jolowok terheran-heran saat mengetahui bahwa bagian belakang warung itu terdapat beberapa bilik bertirai kain di kanan kiri lorong yang dilaluinya. Hatinya sibuk menerka-nerka, tapi masih belum mengerti juga. Tiba-tiba seorang perempuan muda berbaju daster tipis keluar dari bilik, hampir menabrak dirinya.
"Maaf, Mas.", perempuan itu sedikit terkejut dan kemudian berlalu ke depan warung.
Ketika kembali ke tempatnya semula, perempuan yang tadi hampir menabraknya telah duduk di depan mejanya. Deg! Jantung Jolowok terasa terhenti, jiwanya terpesona pada kejelitaan perempuan muda itu.
"Kenalkan Mas, itu adik saya, Hoyi", perempuan menor itu berkata dari balik etalase makanan.
Jolowok tersenyum, Hoyi tersenyum, Perempuan menor itu juga tersenyum. Dalam waktu singkat merekapun akrab dalam obrolan panjang yang sesekali diiringi tawa dan canda mesum yang keluar dari mulut si menor. Tak sadar Jolowok nambah minum, nambah kacang, nambah kue, nambah kerang rebus, nambah mie rebus, nambah kerupuk. Akhirnya, pulang menjelang maghrib, 50 ribu rupiah melayang dari dompet Jolowok, tapi Jolowok puas.
"Disini ramainya kalo malam, Mas. Coba aja besok malam Minggu kesini. Ntar Hoyi temenin jalan-jalan di pantai deh."
Entahlah, mengapa Jolowok merasakan dirinya hidup kembali setelah ngobrol dengan Hoyi. Hidup dari kebosanannya berumah tangga selama 12 tahun yang menurutnya hanya begitu-begitu saja. Selama ini Jolowok berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik, tak pernah neko-neko, cenderung lugu, dan hidupnya terkesan lurus-lurus saja. Tetapi semenjak pertemuannya dengan Hoyi, Jolowok merasakan semangat baru yang luar biasa. Diam-diam Jolowok mulai tertarik, suka, dan jatuh cinta pada Hoyi.
Sepanjang jalan Jolowok tersenyum-senyum sendiri. Bayangan demi bayangan mulai tergambar di otaknya, semakin lama semakin jelas dan membias menjadi berbagai rencana dan reka daya.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Jolowok mulai kecanduan Hoyi. Kepiawian Hoyi dalam mengelola perselingkuhannya dengan Jolowok telah menjadikan Jolowok menjadi budak yang manis bagi Hoyi. Hoyi mampu menjadi pendengar yang baik, Hoyi mampu memberi saran dan masukan cerdas tanpa berkesan menggurui, Hoyi mampu melontarkan canda dan gurauan segar, dan Hoyi juga mampu melayani kebutuhan Jolowok semuanya, dengan sempurna. Pelan namun pasti, istri dan kedua anaknya tersingkir dari lubuk hati dan pikirannya.
Kini Jolowok mulai berani mengutip uang "lolos survey", "uang pengiriman", atau "uang instalasi" dari pelanggan tokonya, semata-mata untuk membiayai perselingkuhannya dengan Hoyi, bahkan uang belanja bulanan keluarganya mulai disunat sedikit demi sedikit.
Menginjak bulan ketiga, istri Jolowok mulai curiga dan mulai bertanya-tanya. Setiap Jolowok pulang malam, Ia mengendus-endus baju suaminya itu, tapi ia tak menjumpai bau parfum, atau tanda-tanda perselingkuhan lainnya. Yang ada cuma bau keringat Jolowok yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Lepas dari baju, diam-diam istri Jolowok membongkar tas kerja dan dompet suaminya yang tengah terlelap. Tapi semuanya bersih: tak ada foto, surat, bon, atau catatan apapun yang mengindikasikan sebuah perselingkuhan. Istri Jolowok kebingungan. Firasat perempuannya mengatakan, suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain, tapi kecurigaannya tak menemukan bukti. Ia tidak tahu, bahwa suaminya memiliki baju ganti di warung Hoyi.
"Aku merusakkan TV plasma HDTV 53" di toko. Itu murni kesalahanku.", jawab Jolowok saat diinterogasi sang istri mengenai potongan uang belanja.
"Setiap bulan, harga TV itu harus aku cicil dari gajiku."
"Itulah sebabnya, aku sering pulang malam, lembur biar cepat selesai cicilannya."
"Awas ya, aku potong burungmu kalo berani selingkuh!", ancam sang istri galak.
Ia pernah membaca artikel, bahwa karyawan seumuran suaminya, setengah mapan, dan sering berhubungan dengan pelanggan itu rawan perselingkuhan. Ia bertekat tak akan membiarkan hal itu terjadi, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia merasa selama ini pelayanannya pada suaminya tidak berkurang walaupun dirinya sendiri capek setelah bekerja hampir seharian penuh di sebuah perusahaan laundry. Belum lagi ia masih harus memasak dan mencuci baju keluarganya di malam hari. Nonton TV saja hampir-hampir tak sempat lagi. Satu-satuya kesempatan baginya untuk beristirahat hanya di hari Minggu.
"Sumpah! potong saja kalo aku selingkuh!", Jolowok berkata tegas penuh percaya diri. Hati nuraninya telah seratus persen tertutup sosok Hoyi. Ia merasa harus tegas dalam berbohong dan berpura-pura, agar benar-benar terlihat jujur dan serius.
"Ingat ya, Mas. Dulu kamu yang mengejar-ngejar aku dan memintaku menjadi istrimu! sekarang....", Istri Jolowok mulai mengungkit-ungkit masa lalu dan mulai terisak-isak di depan Jolowok. Dari mulutnya terus meluncur kata-kata panjang-pendek bercampur isak-tangis sepanjang malam.
Jolowok sendiri tidak mengerti kata-kata istrinya. Yang ia rasakan, kehidupan mereka hanya begitu-begitu saja dari dulu. Pergi kerja pagi-pagi, pulang seringkali malam, di malam hari ia dapati dirinya dan sang istri yang sudah kecapekan tanpa gairah, tanpa kehangatan, dingin-beku-miskin komunikasi. Anak-anak yang bandel, ribut, dan menjengkelkan membuatnya tak bisa istirahat tenang di rumah. Baginya anak-anaknya itu seolah-olah sumber masalah yang tak pernah habis. Bodoh di sekolah, tingkah-lakunya tidak sopan, kerjanya main, jajan, dan nonton tv melulu sepanjang hari. Jolowok merasa tak ada gunanya membiayai sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kehidupannya, kehidupan keluarganya. Jolowok bosan, tidak ada sesuatu yang dinamis, tak ada sesuatu yang beda dan baru, tak ada sesuatu yang mampu membangkitkan gairah hidup dan menciptakan kehangatan seperti yang diberikan oleh Hoyi.
Sejak saat itu Jolowok berhati-hati, Ia jarang keluar malam agar istrinya tidak curiga. Sebagai gantinya, Jolowok mengorbankan waktu kerjanya. Ia datang menemui Hoyi selepas survey atau mengantar barang ke pelanggan.
Sabtu sore itu, sepulang kerja lembur, Jolowok tak menjumpai istri dan kedua anaknya di rumah. Tak ada pesan apa-apa, semua barang masih ada di tempatnya. Jolowok mencoba menelepon, tapi handphone istrinya tidak aktif. "Ah, paling-paling ke Mall dengan anak-anak. Kebetulan.", gumam Jolowok. Ia berniat menemui Hoyi yang sudah hampir seminggu tidak dikunjunginya. Kepergiannya itu akan digunakannya sebagai alasan mencari istri dan kedua anaknya. Rasa cinta dan kangen pada selingkuhannya yang membuta telah membuat diri Jolowok kehilangan nurani dan logika yang sehat.
Jam masih menunjukkan pukul 7 malam ketika Jolowok sampai di pantai Marunda yang mulai ramai pengunjung. Deburan ombak berbaur suara karaoke Ratih Purwasih menyambutnya memasuki warung remang si Menor. Dua-tiga pelanggan dan pasangannya terlihat asyik berduaan di sudut-sudut ruangan, tapi tak kelihatan sosok Hoyi, juga sosok si Menor.
"Pasti nungguin di bilik.", batin Jolowok penuh keyakinan.
Hatinya yang sudah dikuasai nafsu asmara itu mendorongnya untuk melangkah cepat-cepat menuju bilik, tak sabar. Sampai di depan bilik, dengan cepat Jolowok menyibak tirai sambil tersenyum lebar. "Aku datang, say...", Jolowok tak mampu melanjutkan kata-katanya. Senyumnya lenyap, langkahnya tertahan, dan wajahnya pucat membeku. Di keremangan bilik berlampu 5 watt itu, tampak istrinya duduk di dipan bambu sambil menyeringai. Tangannya yang memegang sebilah pisau dapur dilambai-lambaikan ke arahnya, memberi tanda agar mendekat. "Sini, sini mas, duduk dekat sini. Biar mudah aku memotongnya!", seru sang istri lembut mengancam.
Tiba-tiba Jolowok merasakan tubuhnya ringan, melayang, hanyut dalam irama nyanyian karaoke Ratih Purwasih, dan meluruh bersama debur ombak pantai Marunda.