Marunda

Sabtu, Oktober 17, 2009

Jolowok mengendarai motornya asal saja tanpa tujuan, tanpa semangat. Kadang pelan, kadang cepat, kadang berhenti lalu jalan lagi. Ia baru saja mensurvey rumah calon pembeli komputer kreditan dari tokonya, namun hari masih terlalu siang untuk kembali ke toko. Tiba-tiba motornya dibelokkan ke kiri mengikuti jalan berbatu. Sebuah tulisan cat di sebuah triplek seadanya telah menarik perhatiannya: "Jalan ke Pantai" tulisan itu disertai dengan tanda panah asal jadi. Beberapa waktu kemudian ia mendapati dirinya berada di sebuah warung di pantai Marunda.

"Silahkan, Mas. Mau minum atau makan?", tanya seorang perempuan setengah baya , gendut, dan menor. Dari bibir merahnya tersungging sebuah senyuman nakal.

"Minum aja, Bu. Fanta pakai es.", jawab Jolowok ikut tersenyum, geli. Di matanya, perempuan menor itu terlihat seperti kuda nil memakai bedak.

Jolowok menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Di sepanjang pantai berdiri warung berderet-deret diantara empang-empang. Beberapa orang terlihat memancing di empang-empang seputar warung. Ia merasa asing. Pantai ini tidak seperti pantai-pantai lain yang pernah ia kunjungi.

"Numpang ke toilet, Bu", Jolowok baru sadar bahwa ia menahan buang air kecil sejak tadi.

"Masuk aja, Mas. terus, mentok belok kiri."

Jolowok terheran-heran saat mengetahui bahwa bagian belakang warung itu terdapat beberapa bilik bertirai kain di kanan kiri lorong yang dilaluinya. Hatinya sibuk menerka-nerka, tapi masih belum mengerti juga. Tiba-tiba seorang perempuan muda berbaju daster tipis keluar dari bilik, hampir menabrak dirinya.

"Maaf, Mas.", perempuan itu sedikit terkejut dan kemudian berlalu ke depan warung.

Ketika kembali ke tempatnya semula, perempuan yang tadi hampir menabraknya telah duduk di depan mejanya. Deg! Jantung Jolowok terasa terhenti, jiwanya terpesona pada kejelitaan perempuan muda itu.

"Kenalkan Mas, itu adik saya, Hoyi", perempuan menor itu berkata dari balik etalase makanan.

Jolowok tersenyum, Hoyi tersenyum, Perempuan menor itu juga tersenyum. Dalam waktu singkat merekapun akrab dalam obrolan panjang yang sesekali diiringi tawa dan canda mesum yang keluar dari mulut si menor. Tak sadar Jolowok nambah minum, nambah kacang, nambah kue, nambah kerang rebus, nambah mie rebus, nambah kerupuk. Akhirnya, pulang menjelang maghrib, 50 ribu rupiah melayang dari dompet Jolowok, tapi Jolowok puas.

"Disini ramainya kalo malam, Mas. Coba aja besok malam Minggu kesini. Ntar Hoyi temenin jalan-jalan di pantai deh."

Entahlah, mengapa Jolowok merasakan dirinya hidup kembali setelah ngobrol dengan Hoyi. Hidup dari kebosanannya berumah tangga selama 12 tahun yang menurutnya hanya begitu-begitu saja. Selama ini Jolowok berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik, tak pernah neko-neko, cenderung lugu, dan hidupnya terkesan lurus-lurus saja. Tetapi semenjak pertemuannya dengan Hoyi, Jolowok merasakan semangat baru yang luar biasa. Diam-diam
Jolowok mulai tertarik, suka, dan jatuh cinta pada Hoyi.

Sepanjang jalan Jolowok tersenyum-senyum sendiri. Bayangan demi bayangan mulai tergambar di otaknya, semakin lama semakin jelas dan membias menjadi berbagai rencana dan reka daya.

Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Jolowok mulai kecanduan Hoyi. Kepiawian Hoyi dalam mengelola perselingkuhannya dengan Jolowok telah menjadikan Jolowok menjadi budak yang manis bagi Hoyi. Hoyi mampu menjadi pendengar yang baik, Hoyi mampu memberi saran dan masukan cerdas tanpa berkesan menggurui, Hoyi mampu melontarkan canda dan gurauan segar, dan Hoyi juga mampu melayani kebutuhan Jolowok semuanya, dengan sempurna. Pelan namun pasti, istri dan kedua anaknya tersingkir dari lubuk hati dan pikirannya.

Kini Jolowok mulai berani mengutip uang "lolos survey", "uang pengiriman", atau "uang instalasi" dari pelanggan tokonya, semata-mata untuk membiayai perselingkuhannya dengan Hoyi, bahkan uang belanja bulanan keluarganya mulai disunat sedikit demi sedikit.

Menginjak bulan ketiga, istri Jolowok mulai curiga dan mulai bertanya-tanya. Setiap Jolowok pulang malam, Ia mengendus-endus baju suaminya itu, tapi ia tak menjumpai bau parfum, atau tanda-tanda perselingkuhan lainnya. Yang ada cuma bau keringat Jolowok yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Lepas dari baju, diam-diam istri Jolowok membongkar tas kerja dan dompet suaminya yang tengah terlelap. Tapi semuanya bersih: tak ada foto, surat, bon, atau catatan apapun yang mengindikasikan sebuah perselingkuhan. Istri Jolowok kebingungan. Firasat perempuannya mengatakan, suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain, tapi kecurigaannya tak menemukan bukti. Ia tidak tahu, bahwa suaminya memiliki baju ganti di warung Hoyi.

"Aku merusakkan TV plasma HDTV 53" di toko. Itu murni kesalahanku.", jawab Jolowok saat diinterogasi sang istri mengenai potongan uang belanja.

"Setiap bulan, harga TV itu harus aku cicil dari gajiku."

"Itulah sebabnya, aku sering pulang malam, lembur biar cepat selesai cicilannya."

"Awas ya, aku potong burungmu kalo berani selingkuh!", ancam sang istri galak.

Ia pernah membaca artikel, bahwa karyawan seumuran suaminya, setengah mapan, dan sering berhubungan dengan pelanggan itu rawan perselingkuhan. Ia bertekat tak akan membiarkan hal itu terjadi, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia merasa selama ini pelayanannya pada suaminya tidak berkurang walaupun dirinya sendiri capek setelah bekerja hampir seharian penuh di sebuah perusahaan laundry. Belum lagi ia masih harus memasak dan mencuci baju keluarganya di malam hari. Nonton TV saja hampir-hampir tak sempat lagi. Satu-satuya kesempatan baginya untuk beristirahat hanya di hari Minggu.

"Sumpah! potong saja kalo aku selingkuh!", Jolowok berkata tegas penuh percaya diri. Hati nuraninya telah seratus persen tertutup sosok Hoyi. Ia merasa harus tegas dalam berbohong dan berpura-pura, agar benar-benar terlihat jujur dan serius.

"Ingat ya, Mas. Dulu kamu yang mengejar-ngejar aku dan memintaku menjadi istrimu! sekarang....", Istri Jolowok mulai mengungkit-ungkit masa lalu dan mulai terisak-isak di depan Jolowok. Dari mulutnya terus meluncur kata-kata panjang-pendek bercampur isak-tangis sepanjang malam.

Jolowok sendiri tidak mengerti kata-kata istrinya. Yang ia rasakan, kehidupan mereka hanya begitu-begitu saja dari dulu. Pergi kerja pagi-pagi, pulang seringkali malam, di malam hari ia dapati dirinya dan sang istri yang sudah kecapekan tanpa gairah, tanpa kehangatan, dingin-beku-miskin komunikasi. Anak-anak yang bandel, ribut, dan menjengkelkan membuatnya tak bisa istirahat tenang di rumah. Baginya anak-anaknya itu seolah-olah sumber masalah yang tak pernah habis. Bodoh di sekolah, tingkah-lakunya tidak sopan, kerjanya main, jajan, dan nonton tv melulu sepanjang hari. Jolowok merasa tak ada gunanya membiayai sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD itu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kehidupannya, kehidupan keluarganya. Jolowok bosan, tidak ada sesuatu yang dinamis, tak ada sesuatu yang beda dan baru, tak ada sesuatu yang mampu membangkitkan gairah hidup dan menciptakan kehangatan seperti yang diberikan oleh Hoyi.

Sejak saat itu Jolowok berhati-hati, Ia jarang keluar malam agar istrinya tidak curiga. Sebagai gantinya, Jolowok mengorbankan waktu kerjanya. Ia datang menemui Hoyi selepas survey atau mengantar barang ke pelanggan.

Sabtu sore itu, sepulang kerja lembur, Jolowok tak menjumpai istri dan kedua anaknya di rumah. Tak ada pesan apa-apa, semua barang masih ada di tempatnya. Jolowok mencoba menelepon, tapi handphone istrinya tidak aktif. "Ah, paling-paling ke Mall dengan anak-anak. Kebetulan.", gumam Jolowok. Ia berniat menemui Hoyi yang sudah hampir seminggu tidak dikunjunginya. Kepergiannya itu akan digunakannya sebagai alasan mencari istri dan kedua anaknya. Rasa cinta dan kangen pada selingkuhannya yang membuta telah membuat diri
Jolowok kehilangan nurani dan logika yang sehat.

Jam masih menunjukkan pukul 7 malam ketika Jolowok sampai di pantai Marunda yang mulai ramai pengunjung. Deburan ombak berbaur suara karaoke Ratih Purwasih menyambutnya memasuki warung remang si Menor. Dua-tiga pelanggan dan pasangannya terlihat asyik berduaan di sudut-sudut ruangan, tapi tak kelihatan sosok Hoyi, juga sosok si Menor.

"Pasti nungguin di bilik.", batin Jolowok penuh keyakinan.

Hatinya yang sudah dikuasai nafsu asmara itu mendorongnya untuk melangkah cepat-cepat menuju bilik, tak sabar. Sampai di depan bilik, dengan cepat Jolowok menyibak tirai sambil tersenyum lebar. "Aku datang, say...",
Jolowok tak mampu melanjutkan kata-katanya. Senyumnya lenyap, langkahnya tertahan, dan wajahnya pucat membeku. Di keremangan bilik berlampu 5 watt itu, tampak istrinya duduk di dipan bambu sambil menyeringai. Tangannya yang memegang sebilah pisau dapur dilambai-lambaikan ke arahnya, memberi tanda agar mendekat. "Sini, sini mas, duduk dekat sini. Biar mudah aku memotongnya!", seru sang istri lembut mengancam.

Tiba-tiba
Jolowok merasakan tubuhnya ringan, melayang, hanyut dalam irama nyanyian karaoke Ratih Purwasih, dan meluruh bersama debur ombak pantai Marunda.

[+/-] Selengkapnya...

Kukila

Sabtu, Oktober 10, 2009

Seorang lelaki tua berlari-lari sepanjang jalan Pemuda di tengah hari bolong di bawah terik matahari yang membakar kota Jakarta. Peluh mengalir membanjiri sekujur tubuhnya. Sebuah tas kecil menggantung di pundaknya yang kurus. Tangan kirinya memegang sangkar berselubung kain hitam tipis. Tangan kanannya melambai-lambai ke udara, dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".




"Aku bangga padamu, Le", kata Ki Bayan tersenyum pada anaknya, Joko Umbaran, saat keduanya duduk-duduk di teras rumah menikmati malam purnama sebulan yang lalu. Joko Umbaran diam, matanya menatap kedua anaknya yang ceria bermain Gobak sodor bersama sepupu-sepupu mereka di halaman. Liburan sekolah hampir berakhir, kemarin pagi Joko Umbaran datang dari Jakarta untuk menjemput kedua anaknya yang sedang liburan di rumah eyangnya yang berada di lereng selatan Gunung Lawu yang terpencil itu.

"Kamu sudah mriyayeni, melebihi derajat Bapakmu yang cuma wong nggunung ini.",lanjut Ki Bayan sambil menyalakan rokok klobot kemenyan kesayangannya. Bau tembakau campur kemenyan dengan segera memenuhi udara, tapi Joko Umbaran sudah terbiasa dengan bau itu sejak kecil.

"Kekuranganmu tinggal satu, kukila.", kata Ki Bayan sambil menatap serius wajah anak sulungnya yang kini sukses menjadi seorang pengusaha di Ibukota.

"Kamu sudah memiliki wisma, wanita, turangga, dan curiga. Tapi belum memiliki kukila"

"Besok sore, bawalah Kyai Godheg Sonto, perkutut kesayangan Bapak besertamu ke Jakarta"

"Tapi Pak, seperti yang Bapak ketahui, saya tidak memiliki bakat memelihara binatang, apalagi burung. Apakah tidak menyengsarakan Kyaine bila tak terurus nantinya?", Tolak Joko Umbaran dengan halus. Di rumahnya yang besar di Jakarta, Joko Umbaran memang punya banyak pembantu, tapi ia paham betul melihara burung perkutut itu tidak mudah, tidak bisa diserahkan ke sembarang orang.

"Le, hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." tegas Ki Bayan. "Besok bawalah Kyai Godheg Sonto bersamamu". Kalimat itu adalah perintah yang tak lagi membutuhkan bantahan. Joko Umbaran tahu betul sangat sulit menolak keinginan Bapaknya yang punya kemauan keras.

"Sudah malam Le, Istirahatlah. Suruh tidur kedua cucuku itu. Besok kamu masih harus membawa mobil ke Jakarta. Lain kali mbok ya bawa sopir, mosok priyayi kok bawa mobil sendiri"

Keesokan harinya Joko Umbaran bersiasat. Ia penuhi mobil Serenanya dengan barang oleh-oleh sebanyak mungkin: pisang, mangga, kripik belut, emping mlinjo, karak rambak, kulit tahu goreng, intip goreng, rasikan, brem, wajik, jadah, wingko babat, tape ketan, batik, wayang, souvenir, pokoknya apa saja berdus-dus banyaknya memenuhi bagasi belakang, sehingga tidak memungkinkan sesentipun celah untuk Kyai Godheg Sonto beserta sangkarnya masuk ke dalam Serena kesayangannya. Ruangan yang tersisa hanyalah cukup untuk keluarganya berlima dengan pembantunya.

Akhirnya Ki Bayan menyerah. Ia naikkan lagi sangkar Kyaine di tiang bambu depan rumahnya.

"Adikmu si Taruna akan mengantarkan Kyaine ke rumahmu besok hari Rabu Legi." Kata Ki Bayan masih semangat.

"Hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." seru Ki Bayan sambil melambaikan tangannya ke arah mobil yang melaju pelan menuju Jakarta sore hari itu. Ki Bayan masih berharap anaknya benar-benar menjadi priyayi yang sempurna.

Maka tibalah hari Rabu Legi itu, hari yang dianggap baik untuk mengantar Kyai Godheg Sonto ke Jakarta. Tapi sehari sebelum hari baik itu, Taruna justru sakit. Badannya lemas, muntah dan mencret sepanjang malam. Ki Bayan ragu untuk menunda pengantaran. Ia sudah terlanjur menentukan hari Rabu Legi dan Ki Bayan tak ingin Joko Umbaran menganggap bicaranya tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin keluarga priyayi bicara mencla-mencle.

Hari itu, Ki Bayan mencari orang yang mau menggantikan Taruna mengantar Kyaine ke Jakarta. Kalau tidak mau sebagai kurir, paling tidak ada orang yang mau menemaninya bila terpaksa ia sendiri yang harus mengantar Kyaine. Namun hingga tengah hari tak ada seorangpun yang bersedia.

"Kami takut tersesat Ki Bayan, kami kan belum pernah ke Jakarta.", elak orang-orang dengan muka serius. Namun alasan yang sebenarnya adalah kebencian mereka atas kesombongan Ki Bayan yang senang memamerkan kesuksesan Joko Umbaran secara berlebihan dan merendahkan orang-orang di desanya sendiri.

Sore hari itu Ki Bayan berangkat sendirian. Sebuah tas kecil berisi pakaian ganti dan makanan perkutut menggantung di pundak tuanya. Di tangan kanannya, terpegang erat sangkar Kyaine berselubung kain hitam yang tipis, untuk melindungi Kyaine dari segala gangguan luar.

"Jangan lupa telpon lagi masmu, besok suruh jemput Bapak di Pulogadung", pesan Ki Bayan pada Taruna yang masih klenger.

Sejak semalam Ki Bayan mencoba menelepon ke Jakarta tapi selalu tulalit. Tidak handphone, tidak juga telepon rumah. Tapi rasa bangga pada anak sulungnya membuat Ki Bayan tetap berangkat.

"Ah, nanti saja di Pulogadung ditelpon lagi. Toh aku sudah tahu alamatnya dan pernah ke sana.", batin Ki Bayan penuh rasa percaya diri.

Ki Bayan dan keluarganya tak pernah tahu, Joko Umbaran sengaja memblok semua telepon masuk dari luar kota pada H-7 dan H+7 menjelang dan sesudah hari Rabu Legi untuk mencegah Bapaknya mengantar Kyai Godheg Sonto.

Satu-satunya alat transportasi dari desanya yang langsung menuju Jakarta adalah sebuah bus ekonomi AC yang mangkal di Pasar Kancil tiga kilometer dari rumahnya. Bus itu berangkat ke Jakarta setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat jam 4 sore.

Masalah pertama muncul ketika Kondektur meminta Ki Bayan menaruh burungnya di bagasi. Tentu saja Ki Bayan mencak-mencak.

"Kamu mau menyengsarakan Kyaine?", seru Ki Bayan kepada Kondektur dengan nada tinggi.

Sang Kondektur tak melayani adu mulut, karena sebenarnya itu hanya taktiknya untuk menambah keuntungan. Kyaine boleh dibawa masuk ke bus dengan catatan harus beli satu tiket lagi dan Ki Bayan harus duduk di deretan kursi paling belakang. Tak ada pilihan lain bagi Ki Bayan.

Setelah menunggu lama, akhirnya Bus berangkat juga menjelang maghrib. Tapi bus tidak langsung menuju Jakarta. Bus itu mampir-mampir dulu ke segala tempat dan sering berhenti di mana saja mengambil penumpang satu dua. "Bisa nggak setoran pak, kalo penumpang nggak penuh", dalih sopir bus saat diprotes Ki Bayan. "Hari gini, jarang orang ke Jakarta pak", tambah sopir membela diri.

Duduk di deretan bangku paling belakang ternyata tidak nyaman. Pertama, suara mesin bus yang bising membuat Ki Bayan tak bisa istirahat. Kedua, suhu mesin yang panas membuat duduk Ki Bayan tak nyaman. AC bus itu ternyata hanya meniupkan angin biasa belaka. Ketiga, saat melewati lubang atau jalan rusak, Ki Bayan dan Kyaine terpental-pental tak karuan sehingga tumpahlah air minum dan makanan Kyaine, membasahi dan mengotori kursi. Tapi Ki Bayan tak mungkin menyuruh sopir memelankan bus.

Di tengah perjalanan, bus berhenti di restoran dan semua orang turun untuk makan. Ki Bayan kebingungan. Perutnya lapar dan ia ingin buang air kecil, tetapi apa pantas makan sambil membawa sangkar burung. Bila Kyaine ditinggal, jangan-jangan dicuri orang.

Karena tak tahan menahan buang air, akhirnya Ki Bayan turun juga dari bus sambil menenteng sangkar. Urusan buang air tidak masalah, karena Kyaine bisa dititip ke penunggu toilet. Tapi giliran mengantri nasi, terpaksa Ki Bayan menunggu di antrian terakhir dan duduk makan menyendiri. Sangkar Kyaine diletakkan di kursi sebelahnya seperti istrinya sendiri.

"Bawa burung aja lagaknya kayak bawa emas sekarung. Dasar wong nDeso!", rerasan orang-orang geli melihat Ki Bayan yang paranoid.

Kejadian itu terulang kedua kalinya saat bus berhenti untuk sarapan pagi.

Akhirnya bus memasuki terminal Pulogadung tengah hari. Tapi tak ada satu orangpun yang menjemput, tidak anaknya tidak juga orang suruhan anaknya.

"Mungkin Taruna masih sakit dan belum telpon", batin Ki Bayan menenangkan diri. Tapi ketika Ki Bayan menelepon, yang menerima adalah pembantu baru yang tidak dikenalnya dan tidak tahu menahu. Ki Bayan menjadi murka dan tak sabar, HP anaknya masih juga tidak bisa dihubungi.

"Sudahlah, langsung saja ke rumahnya. Paling tidak aku bisa segera ngopeni Kyaine disana.", sungut Ki Bayan jengkel.

Setelah mbayoni burung perkututnya, Ki Bayan naik mikrolet jurusan Senen. Dengan segera masalah muncul ketika penumpang mulai penuh. Terpaksa Ki Bayan memangku sangkar Kyaine dengan susah payah. Bau kotoran Kyaine memenuhi mikrolet di siang hari terik itu. Para penumpang mulai menutup hidung dan memandang tajam bergantian ke wajah Ki Bayan dan sangkar burungnya, tapi tak sorangpun yang berkata-kata. Semua kaca jendela dibuka, tapi tak banyak membantu, bahkan sisa-sisa kotoran yang melekat di sangkar mulai beterbangan diterpa angin.

Mikrolet berjalan kencang, sesekali menerobos jalur busway berlomba dengan mikrolet lain berebut rezeki di jalanan yang panas.

"Cciiiitttt!", tiba-tiba mikrolet direm mendadak. Sebuah sepeda motor memotong jalan. Penumpang yang berhimpitan terpental. Sangkar terlepas dari pegangan Ki Bayan, menyerempet, membentur kepala para penumpang, melayang menuju pintu, dan terlempar ke luar mikrolet. Pintu sangkar terbuka dan Kyai Godheg Sonto terbang keluar sangkar.

"Bangsat!!!", sopir meneriaki motor yang kabur.

"Setan!!!", maki para penumpang. Wajah dan baju mereka basah oleh tumpahan air minum dari sangkar.

"Manukku!!", Ki Bayan melompat keluar. Tangan kirinya sigap menyambar sangkar, kaki tuanya bergerak cepat, berlari memburu Kyaine yang terbang menjauh. Lelaki tua itu terus berlari dan berlari sepanjang jalan. Tangan kanannya menggapai-gapai ke udara dan dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".

[+/-] Selengkapnya...

Mbah Jenderal

Sabtu, Oktober 03, 2009

Entahlah, siapa yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Jenderal. Yang jelas nama sebutan itu sudah melekat padanya sejak ia mulai memiliki daya ingat puluhan tahun yang lalu. Mungkin sebutan itu dinisbahkan pada namanya yang sama dengan salah satu nama Jenderal Pahlawan Revolusi, atau mungkin juga disebabkan karena cita-citanya di masa kecil yang ingin menjadi seorang Jenderal di kelak kemudian hari, sebuah cita-cita yang mengherankan semua orang pada masa itu. Pertama, ia tidak memiliki family dari kalangan militer. Kedua, semua anak kecil pada saat itu bercita-cita menjadi seorang dokter.

Mula-mula Sang Jenderal memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Ia berusaha untuk bertindak disiplin dalam berbagai hal dan berusaha untuk menjadi manusia yang bertubuh tegap, sehat, dan kuat. Untuk itu Sang Jenderal rajin mengikuti olah raga bela diri sejak duduk di bangku SMP. Sang Jenderal juga rajin belajar dan rajin membaca berbagai artikel kemiliteran, mengikuti berita kemiliteran, bahkan rajin menonton kegiatan tentara yang sedang latihan di barak militer di seberang komplek rumahnya.

Demikianlah, kedisiplinannya menyebabkan Sang Jenderal tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat, kuat, cerdas, dan pandai bicara. Garis keturunannya yang memiliki setetes darah Belanda telah mengukir kegantengan parasnya dengan sempurna. Satu-satunya hal yang mengkhawatirkan semua anggota keluarganya, dan juga teman-teman lelakinya adalah kegemarannya pada wanita cantik. Untuk urusan yang satu itu Sang Jenderal benar-benar kacau dan keterlaluan. Pertama, Sang Jenderal diketahui telah "berusaha" untuk pacaran pada kelas lima SD. Kedua, memiliki pacar adalah hal yang wajar, tapi gonta-ganti pacar?

Namun cita-cita Sang Jenderal pupus sejak kecelakaan sepeda motor yang dialaminya saat ia duduk di bangku SMA. Biasalah, anak laki-laki, duduk di bangku SMA, punya motor RX-King. Ngapain lagi kalo nggak balapan liar. Kecelakaan itu telah menyebabkan kaki kirinya menjadi tak sempurna. Ia tidak lagi bisa berlari jauh dan cepat, sehingga tak mungkin baginya menjadi seorang tentara. Tapi kecelakaan itu tak mampu menyembuhkan penyakit playboy-nya, bahkan sejak peristiwa itu Sang Jenderal seperti kehilangan arah, kegemarannya bergonta-ganti pacar semakin menggila .

Menginjak masa kuliah, hobby Sang Jenderal tak juga berkurang. Perkenalannya dengan lebih banyak wanita dari berbagai penjuru negeri semakin membuatnya keranjingan. Dan ia mulai berani mencicipi apa yang seharusnya dilarang. Satu demi satu, mahasiswi cantik yang lengah terpedaya. Kepiawian Sang Jenderal dalam hal rayu-merayu telah merontokkan benteng pertahanan wanita yang tak tahan godaan. Dan pelan tapi pasti, bunga-bunga kampus pudar layu berguguran, laksana meranggas-gugurnya daun jati di musim kemarau panjang.

Langkah kotor Sang Jenderal makin melaju tak terbendung, sampai pada suatu hari di musim ospek, matanya tertumbuk pada Jane, mahasiswi yang segala sesuatunya serupa dengan profil bidadari tercantik di kahyangan para Dewata. Sungguh, Jane memang mahasiswi yang indah. Rambutnya hitam kemerahan lurus tergerai, berponi, melambai tertiup angin bak jatuhan air terjun Cibereum yang elok. Matanya belok bening berkilat, kemerlip bak berlian di mahkota para raja. Bibirnya, pipinya, anunya, wuah pokoknya semuanya memiliki perumpamaan yang sempurna. Hati Sang Jenderal menggeliat, meronta, menjerit sekencang-kencangnya memunculkan nafsu keserakahannya pada wanita. Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sang pacar lama dicerai, dan Jane resmi menjadi pacar baru Sang Jenderal.

Belakangan, Sang Jenderal terbentur kenyataan, bahwa memacari gadis jelita seperti Jane bukanlah perkara yang mudah. Halangan terbesar muncul dari Bung Waong, ayah Jane yang galak, bermata kemerahan, dan jauh lebih berandalan dibanding Sang Jenderal. Pengalaman Sang Jenderal selama ini tak mempan melawan Bung Waong yang super dahsyat itu. Kalah ilmu, kalah pengalaman, kata orang. Akhirnya acara pacaran dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tapi Bung Waong tak bisa dikibuli. Sang Jenderal benar-benar mati kutu. Otaknya segera berputar cepat mencari jalan keluar. Namun segala cara kandas di tangan Bung Waong dengan mudahnya.

Sang Jenderal mulai sakit hati dan putus asa. Kebenciannya pada Bung Waong pada akhirnya berbuah niat buruk untuk membalas dendam. Ia segera mengatur siasat.

Malam Minggu itu Sang Jenderal berhasil membawa kabur Jane dari rumahnya. Ia beruntung karena Bung Waong sedang menjenguk Boss-nya di rumah sakit. Mula-mula mereka makan bakso di Senayan, kemudian pacaran dilanjutkan di Citos, kemudian putar-putar tak tentu arah tujuan, lewat Ragunan, lewat Pasar Minggu, berhenti makan buah di jembatan layang Pasar Rebo, kemana saja. Menjelang jam sembilan malam, Jane yang lugu itu dibawa ke rumah mbah Bawuk, janda gendut mendekati kepala enam, mantan tetangga Sang Jenderal yang tinggal di pinggiran Jakarta.

Mbah Bawuk sudah hapal benar kelakuan Sang Jenderal, karena Jane bukanlah yang pertama. Tapi mbah Bawuk cuek aja. Yang penting dirinya mendapat uang untuk menyambung kehidupannya. Setelah basa-basi sejenak dan menyuguhkan dua gelas sirup dingin, mbah Bawuk meninggalkan keduanya di ruang tamu, pergi entah kemana dan Sang Jenderalpun mulai kasak-kusuk merayu Jane yang jelita.

Yang namanya gadis lugu melawan bandot, tentulah tak seimbang. Gempuran rayuan maut Sang Jenderal bertubi-tubi menerpa benteng pertahanan hati Jane yang masih lemah kurang pengalaman. Hati Sang Jenderal bersorak riang ketika membaca gelagat, bahwa Jane sudah termakan oleh bujuk-rayuannya. Ia yakin sebentar lagi sirup dingin mbah Bawuk segera bekerja melenakan Si Jelita. Sang Jenderal berdiri, tangannya menggandeng Jane dibimbingnya menuju kamar, tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya kabur berkunang-kunang. Dalam sekejap Sang Jenderal terjatuh di sofa panjang dan menggelinding ke lantai tak sadarkan diri.



Suara orang ramai menggedor-gedor pintu membangunkan Sang Jenderal. Ia mencoba mengenali keberadaan dirinya. Masih dengan pandangan setengah kabur, Sang jenderal terperanjat mendapati dirinya di tempat tidur disamping mbah Bawuk tanpa selembar benangpun. Ia mencoba melompat turun dari tempat tidur, namun kepalanya yang masih pusing membuatnya jatuh terjerembab ke lantai.

"Braakkkk!!", pintu kamar berhasil dijebol dari luar.

Puluhan orang menyerbu masuk ke kamar sambil berteriak-teriak. Tak sampai satu jam kemudian, di malam Minggu yang sial itu, resmilah Sang Jenderal menjadi suami mbah Bawuk.

[+/-] Selengkapnya...

Asmaradana

Sabtu, September 26, 2009

Pelan-pelan Bandot memacu motornya menyusuri jalanan Jakarta yang basah oleh bekas air hujan di sore hari itu. Genangan air di sana-sini memantulkan semburat cahaya jingga menandai pergantian siang dan malam. Satu dua bintang bersinar redup menghiasi langit biru di ufuk timur menemani perjalannya pulang dari pesta perkawinan Lea, mantan pacarnya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Bandot merenung dan berusaha memahami arti cinta dan kehidupan.

Sore hari itu, untuk keduabelas kalinya hati Bandot hancur berkeping-keping saat harus menelan ungkapan, bahwa cinta tidak harus memiliki. Sungguh, lahir batin Bandot sangat tidak menyukai ungkapan itu. Bagi Bandot, ungkapan itu bagaikan momok yang menghantuinya setiap kali dirinya mencintai seorang wanita. Dan berkali sudah Bandot harus menjadi korban ungkapan sial itu.

Bandot teringat pada tembang Macapat Asmaradana yang sering dinyanyikannya sewaktu SD di kampung halamannya nun jauh di pedalaman tanah Jawa, "Gegarane wong akrami (pedoman orang berumah tangga), dudu bandha dudu rupa (bukan harta, bukan penampilan), amung ati pawitane (modalnya hanya hati), luput pisan kena pisan (kadang sekali jadi, kadang nihil nggak jadi-jadi), yen gampang luwih gampang (bila mudah, segalanya menjadi sangat mudah), yen angel angel kalangkung (bila sulit, semuanya menjadi serba sulit), tan kena tinumbas arta (tak bisa dibeli dengan uang)". Bandot tak tahu lagi apakah syair tembang itu masih bisa dipercaya kebenarannya.

"Diinnn diiinnn!!!", klakson Trailer menyadarkan lamunannya. Ia segera membelokkan motornya ke jalur lambat. "Hampir saja.", batin Bandot bersyukur, namun kegalauan hati dan pikirannya tak juga sirna. Masih terbayang jelas dalam angannya, masa-masa indah berpacaran dengan Lea. Touring bersama, berangkat dan pulang kerja bersama, ke Dufan, ke Ragunan, ke Taman Mini, Nonton di PI, jalan-jalan ke Mall selalu berdua dan penuh cinta-kasih. ""Ahhh!!", Bandot menghela nafas panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, dan matanya terasa panas oleh linangan air mata kepedihan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.



Setahun yang lalu, Bandot harus merelakan pacar kesebelasnya. Semuanya berawal dari sebab yang itu-itu juga, ketika sang pacar meminta untuk segera menikah. Bandot pusing tujuh keliling, ia tahu tabungannya tak seberapa, masih kost, dan dengan gajinya yang sekarang, Bandot takut tak mampu memimpin bahtera rumah tangga mereka ke taraf sejahtera. "Aku belum siap", Kilah Bandot. "Bagaimana kalo tahun depan?", Bandot mencoba bernegosiasi. Sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Tidak disangka-sangka, empat bulan kemudian datanglah undangan pesta perkawinan pacarnya yang memaksa Bandot untuk kesekian kalinya tegar menyaksikan kekasih hatinya bersanding dengan pria lain. Bandot menghela nafas panjang,"Wahai, begitu cepatnya orang berpindah ke lain hati"

Sejak saat itu, Bandot bertekat tak mau lagi kehilangan kekasih. "Lea harus menjadi pacar terakhirku. Sebelas kali gagal sudah lebih dari cukup. Lea harus menjadi ibu dari anak-anakku", tekat Bandot semenjak mereka jadian. Maka empat bulan yang lalu, ketika Lea memintanya untuk menikahinya, Bandot menjawab tegas, "Baiklah, dik. Bulan depan kita menikah." Bandot buru-buru mengajukan kredit multiguna ke bank rekanan perusahaannya, lumayanlah 30 juta tanpa agunan pasti cukup untuk biaya pernikahan dan mengontrak sebuah rumah mungil selama dua tahun. Kredit cair dalam dua minggu, dan lamaranpun siap diajukan.

Dengan hati berbunga-bunga Bandot berangkat ke kampung halamannya untuk menjemput kedua orang tuanya. Bertahun-tahun tak pulang membuat Bandot rindu pada semuanya: pada orang tuanya, sanak saudaranya, teman-teman sepermainannya, sawah-sawah, kebun-kebun, sungai, jalanan, pohon-pohon, sapi-sapi, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bebek-bebek, angsa-angsa, tanah, udara, air, awan, rembulan, matahari, bintang-bintang, langit, semuanya. Dan seluruh kampung halaman seolah bersorak gembira menyambut kedatangannya, Bandot yang orang Jakarta.

Kampung halaman Bandot masih jauh dari modern, terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan asri. Sawah ladang, kebun, hutan, dan sungai memagari rumah-rumah di perkampungannya. Setelah bertahun-tahun ditinggal ke Ibukota, masih banyak hal yang belum berubah. Semua orang mandi dan mencuci baju di sungai, pagi dan sore hari. Dua hari di kampung halamannya Bandot kembali terbiasa dengan kehidupan masa kecilnya.

Sore hari itu, Bandot terlihat riang menaiki kerbau pamannya sepanjang jalan setapak menuju sungai untuk dimandikan. "Nostalgia", katanya. Semua orang tertawa, tapi Bandot tak peduli. "Kapan lagi aku bisa naik kerbau, sebentar lagi menikah, naik yang lain!", teriak Bandot setengah bercanda. Dan orang-orangpun kembali tertawa. Ketika melihat Bandot duduk terayun-ayun pelan di punggung kerbau, tiba-tiba semua orang membayangkan Bandot menaiki........, dan tawapun kembali pecah berderai menembus seluruh pelosok desa. Bandot bingung, apa yang sedang ditertawakan orang-orang. Tetapi ketika menyadari gerakan duduknya, Bandot pun terbahak-bahak, lebih keras dari tawa semua orang.

Sampai di bibir sungai, tiba-tiba rombongan kerbau gaduh dan berlarian, kaget oleh ular sawah sebesar paha yang melintas di jalan setapak itu. Bandot yang tak siap terjatuh dari punggung kerbau, terinjak-injak, terguling-guling, masuk sungai, memar, lecet-lecet, dan patah kaki. Akhirnya, hampir sebulan lamanya Bandot harus menginap di kampung halamannya, lamaran batal, tertunda. Dan selama itu Bandot harus berurusan dengan mbah Waong, dukun patah tulang di desanya.

Genap sebulan kemudian, Bandot kembali ke Ibukota dengan sisa-sisa uangnya yang semakin berkurang untuk menyumbang saudara misannya yang dua minggu lagi menikah. Ia ragu untuk meneruskan niatnya melamar Lea, uangnya sudah berkurang banyak. Ketakutannya tak mampu menyejahterakan bahtera rumah tangga kembali menjalari hatinya, apalagi sekarang ia terbebani oleh cicilan hutang. Bandot bingung, ia malu berterus terang pada teman-temannya dan juga pada Lea kekasihnya.

Lea yang menunggu-nunggu dilamar mulai bosan, Bandot yang kebingungan tak juga melamar. Hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Dan tiga bulan semenjak peristiwa itu, sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda mendarat di meja kerja Bandot. "Duhh Gusti.", keluh Bandot, "Ini yang kedua belas kalinya."

Mendung jingga semakin jelas tergambar di langit biru kota Jakarta mengawali pergantian siang dan malam. Dengan suara pelan tertahan oleh kepedihan hatinya, Bandot menggumamkan Macapat Asmaradana, "Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta". Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib syahdu memecah angkasa raya mengiringi derasnya air mata di pipi Bandot.

[+/-] Selengkapnya...

Diamput !!!

Sabtu, September 19, 2009

Gareng menarik nafas panjang. Seiring dengan alunan nafasnya, Ia berusaha menata dan mempertajam panca inderanya. Matanya menatap tajam jalan lurus di depannya. Bayangan demi bayangan berbagai peristiwa dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya yang sedang fokus berkonsentrasi. Suara geraman motor di sekelilingnya lambat laun menghilang dari telinganya. Tangannya erat bersiaga menggenggam setang motornya. Pelan tapi pasti hatinya mulai terasa mantap, dan ia merasakan dirinya siap memenangkan balapan tarikan ketujuh malam itu. Enam tarikan pertama telah dimenangkannya dengan gemilang. Tinggal satu kali tarikan lagi, dan uang lima puluh juta rupiah akan berada dalam genggamannya. Ia tahu betul, Koh Li Cheng, sang bandar taruhan, tak pernah mengingkari janjinya.

Sejak masuk kuliah delapan tahun silam sampai bekerja di sebuah perusahaan swasta saat ini, Gareng hampir tak pernah absen dari aktivitas balapan liar setiap malam minggu di berbagai lokasi. Namanya harum terkenal di dunia bawah tanah balapan liar sebagai The Flash, pembalap yang tak terkalahkan. Dari dunia itu pulalah Gareng mampu membiayai kuliah dan kehidupannya dari berbagai kemenangannya. Semua orang memaklumi bahwa balapan liar tak lepas dari taruhan bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dan setiap Pembalap memiliki harganya sendiri sebagaimana halnya para pemain sepakbola dunia.

Malam itu, Gareng benar-benar tampil sempurna. Si Cocor Merah, motor RX-King tuanya membabat habis semua lawannya tanpa ampun dengan jarak kemenangan yang cukup jauh. Koh Li Cheng tersenyum puas. Ia tahu, malam itu merupakan malam terakhir jagoannya memberikan keuntungan ratusan juta rupiah padanya. Sebelum balapan, Gareng menyatakan akan mengundurkan diri dari dunia balap liar untuk fokus pada masa depannya. Dan sebagai tanda terima kasih, Koh Li Cheng menjanjikan lima puluh juta rupiah, cash. Hitung-hitung juga sebagai hadiah ulang tahun Sang Pembalap pada hari itu.

Tak ada seorangpun yang tahu, bahwa sebenarnya Gareng sedang gundah gulana. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya menafsirkan sikap Limbuk, pacar terkasihnya, sebulan belakangan ini. Sejak Gareng serius meminta Limbuk menikah dengannya sebulan yang lalu, Limbuk seperti menjauhi dirinya. Apalagi Gareng mengetahui bahwa sudah beberapa bulan belakangan ini Limbuk terlihat akrab dengan Waong, teman kuliah Gareng yang sekantor dengan kekasihnya itu.

Gareng menyadari betapa bencinya Limbuk pada balapan liar, dan selama ini kekasihnya itu tak pernah tahu bahwa dirinya adalah salah seorang jawaranya. Gareng curiga, jangan-jangan saat ini Limbuk sudah tahu jati dirinya dari Waong dan kemudian berusaha menjauhinya. Hanya Waong yang selama ini tahu jati dirinya. Keragu-raguan hatinya menimbulkan keinginan untuk jujur pada sang kekasih dan mengakhiri petualangannya di dunia balap liar. Ia yakin kekasihnya pasti akan bersenang hati. Gareng paham betul bahwa tidak ada seorang istripun yang menginginkan suaminya memiliki aktivitas yang membahayakan jiwanya.

Tapi keinginan untuk berterus terang itu belum juga mendapatkan jalan. Bahkan sudah dua malam Minggu yang lalu Gareng terpaksa harus balik kanan dari rumah sang kekasih yang tak berada di tempat, dan tak bisa dihubungi. Gareng frustasi, pikiran buruknya mulai mengarah ke Waong. Namun hati kecilnya berkeras menuntunnya pada kesabaran. Gareng berjuang melawan sergapan rasa rindu pada kekasih hatinya. Pengalamannya dalam menyingkirkan emosi saat berlaga di arena balap sedikit banyak membantunya mengatasi kegundahan hatinya dari waktu ke waktu.

Malam Minggu itu Gareng kembali menelan ludah ketika untuk kesekian kalinya harus balik kanan dari rumah sang kekasih. Tapi ia bertekat, besok pagi ia akan menjelaskan semuanya pada kekasih hatinya, ya semuanya, dan ia harus mendapatkan jawaban lamarannya saat itu juga.

Pikiran kalutnya semakin mendorong Gareng untuk mengakhiri petualangannya di dunia balap liar malam itu juga. Pelan-pelan si Cocor Merah diarahkan ke arena balap. Mulanya Gareng hanya ingin pamitan pada para bandar dan rekan-rekannya, namun tawaran Koh Li Cheng dan bujukan rekan-rekan sejawatnya untuk mengukir prestasi terakhir mampu membelokkan hatinya untuk kembali ke aspal.

Dugaan Gareng tidaklah meleset. Pada hari yang sama saat ia mengutarakan keinginannya menikahi sang kekasih, Waong membeberkan jati diri Gareng tanpa sepengetahuannya. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan didorong oleh rasa persahabatannya yang tulus. "Hanya kamu yang bisa menghentikannya.", pinta Waong pada Limbuk sore hari itu. Siasatpun diatur. Kejutan disiapkan di hari ulang tahun Gareng. Di hari itu Limbuk akan menerima pinangan kekasihnya di arena balap dan sekaligus menghentikan aktivitasnya itu untuk selama-lamanya. Dan mulailah Limbuk bersandiwara berhari-hari lamanya, sampai saat itu tiba.

Malam itu langit cerah tak berawan, terang lampu jalanan tak mampu meredupkan kerlipan milyaran bintang di kegelapan angkasa raya. Mercy Waong pelan menyusuri jalanan menuju arena balap, ia dan Limbuk berniat menanti Gareng di ujung track. Tak henti-hentinya keduanya tersenyum membayangkan wajah Gareng saat menerima kejutan. Gegap gempita suara motor yang berlaga di arena mulai terdengar semakin jelas dan semakin keras. Keduanya semakin mendekati arena balap bekas landas pacu yang panjang membentang itu. Senyum Waong dan Limbuk semakin mengembang, diiringi obrolan dan tawa ringan sekali-sekali.

Di arena balap, tujuh motor melaju beriringan dengan kecepatan sekurang-kurangnya 150 km per jam. Gareng memimpin paling depan, senyumnya mengembang membayangkan wajah Limbuk sang kekasih hati. "Besok kamu akan menjadi milikku", bisik hatinya riang.

Tiba-tiba sebuah Mercy melintas memotong jalan di depan lintasan pada jarak 100 meter. Lampu si Cocor Merah sekilas menyorot kaca depan mobil yang terbuka, wajah Limbuk sang kekasih hati terlihat jelas disana. Gareng gugup, ia berusaha menghentikan laju si Cocor Merah sekuat tenaga. Decit ban beradu aspal memecah malam, tapi tak juga mampu menghentikan laju si Cocor Merah.

"Reeeeeeennngggggg!!!!", tak sadar mulutku menjerit keras.

"Bluuug!"

Kudapati tubuhku berada di lantai, di bawah tempat tidur.

"Diampuutt!!"

[+/-] Selengkapnya...