mBeksa

Jumat, September 26, 2008

Rumah kakekku termasuk salah satu rumah terbesar di desaku. Rumah itu sebenarnya gabungan dari empat buah rumah yang berjajar ke samping dan kedepan membentuk huruf L. Rumah utamanya berbentuk limasan dan memiliki ruangan yang paling luas, bertiang empat di tengahnya, berlantai dan berdinding batu bata. Bagian depannya memiliki 10 daun pintu, dan sepasang jendela dari kayu jati. Terasnya lebar dan membentang sepanjang dua rumah dan halamannya sangat luas. Tidak mengherankan bila rumah kakekku itu juga sering digunakan untuk Wayangan (pentas wayang kulit) di acara bersih desa.

Di rumah kakekku, seminggu dua sekali diadakan latihan mbeksa (menari) dari jam empat sore sampai jam tujuh malam. Hampir semua anak dan remaja di desaku belajar mbeksa, termasuk aku juga. Bayarannya waktu itu sekitar 75 rupiah per bulan. Kami belajar bermacam-macam tarian Jawa, mulai dari tari Gambyong, Bondhan, Pemburu Kidang, Minakjinggo-Dayun, dan juga Gathutkaca Gandrung. Karena pesertanya sangat banyak, yang paling sering diajarkan adalah tarian yang bisa melibatkan banyak penari, semisal tari Bondhan atau Gambyong.

Guru tarinya adalah seorang laki-laki setengah baya, berpenampilan rapi, dan memiliki brengos sekepel (berkumis tebal melintang) mirip kumis Raden Gathutkaca, satria sakti yang bisa terbang. Pak guru itu selalu datang dengan mengendarai sebuah sepeda motor honda berwarna biru, membawa tape recorder dan juga sebuah accu kecil. Kata orang-orang, guru tari itu merupakan salah seorang pemain Wayang Orang Sri Wedari di kota Solo. Kadangkala pak guru itu mengajar bersama anak laki-lakinya bila mengajar tari berpasangan seperti tari Minakjinggo-Dayun.

Orang sedesa, terutama kaum wanita akan selalu datang untuk melihat latihan tari itu. Malah ada juga beberapa orang yang membawa barang dagangan seperti kacang, kedelai, jagung, lemper, gendar pecel, brambang asem, karag, krupuk, tahu dan juga tempe goreng. Rumah kakekku sampai penuh sampai ke teras, bahkan sampai ke halaman. Ada juga para lelaki yang datang setelah Maghrib, biasanya mereka malah nggelar klasa (menggelar tikar) di halaman sambil rokokan, ngopi dan ngobrol kesana-kemari, bahkan bila latihan sudah selesai, mereka tetap saja ngobrol sampai larut malam.

Bila peserta tari sudah dianggap menguasai tari yang diajarkan maka akan digelar Gebyakan, yaitu pagelaran tari di atas panggung dengan pakaian tari yang sebenarnya. Para penari juga akan dirias sebelum menari, pokoknya benar-benar mirip dengan wayang orang di Sriwedari sana. Gebyakan selalu berlangsung di malam Minggu atau di malam hari perayaan kemerdekaan dari selepas Maghrib sampai tengah malam. Di hari itu, panggung tari didirikan di halaman kakekku secara gotong-royong dan dihias dengan indah. Sejak siang hari, para pedagang mainan, makanan dan minuman mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Entahlah siapa yang telah memberitahu mereka. Menjelang Magrib, penonton dari desa-desa sekitar juga akan berdatangan. Pokoknya bener-bener meriah habis deh...

Para penari seperti aku dan teman-temanku tidak pernah merasakan demam panggung. Bahkan, seringkali dengan dandanan penari seperti itu, berjam-jam kami harus sabar menunggu giliran untuk naik panggung. Kalo sudah di atas panggung, kami semua akan menari dengan lincah, penuh semangat dan rasa percaya diri yang luar biasa. Tidak pernah ada ceritanya salah satu dari kami yang salah saat menari di panggung. Bangga banget rasanya bisa naik ke panggung untuk menari dan ditonton orang banyak :-)

Gebyakan akan tetap dibicarakan orang sedesa sampai berhari-hari sesudahnya. Yang paling membanggakan adalah kalo aku ketemu orang-orang dan mereka berkata, "Lha iki Gathutkacane teka. Cah gagah, nggantheng suk gedhe dadi Gathutkaca Sriwedari ya le." (Ini dia Gathutkacanya datang. Anak gagah dan ganteng, kelak jadi Gathutkaca Sriwedari ya nak). Wuiihhhh, hebat banget ya...

[+/-] Selengkapnya...

Sepur

Kamis, September 18, 2008

Rel kereta api yang membentang di sebelah utara desaku membuat orang di desaku terbiasa dengan kereta api atau yang kami sebut juga sepur. Bahkan kami juga hapal jenis-jenis sepur yang lewat disana termasuk jam lewatnya sekaligus. Frekuensi lewatnya sepur itu memang tidak terlalu sering dan kebanyakan juga sepur barang yang mengangkut semen, pupuk, minyak, atau hewan ternak semisal kuda atau sapi. Ada juga sepur penumpang, tapi kebanyakan lewat di malam hari. Di siang hari sepur penumpang itu hanya lewat sekitar tiga atau empat kali saja.

Pada masa kecilku, sebagian sepur yang lewat adalah sepur uap yang berwana hitam, kokoh, angker, dan biasanya merupakan sepur pengangkut barang. Orang di desaku menyebutnya sepur kluthuk atau sepur kuk, karena bunyi peluitnya "Kuk..kuk...kuuukkkk...." begitu. Sepur Kuk itu dari kejauhan saja sudah ketahuan dari asapnya yang membubung tinggi dan suaranya yang khas,"Juk jes..juk ejes...juk ejes". Selain sepur kuk, ada juga sepur disel yang jalannya lebih cepat dibanding sepur kuk dan biasanya digunakan untuk mengangkut penumpang

Bahan bakar Sepur Kuk itu disebut areng setengkul (batu bara) yang dimuat di gerbong kecil tepat di belakang lokomotif itu. Areng setengkul itu bentuknya seperti kerikil dan warnanya hitam mengkilat. Masinis kereta dan asistennya memiliki sekop untuk memasukkan areng setengkul itu ke dalam tungku pembakaran. Tapi aku juga sering melihat bahwa bahan bakarnya kadang kayu gelondongan, kata orang kayu itu adalah kayu Karet. Kadang kala aku dan teman-temanku mencari areng setengkul itu di sepanjang rel kereta api untuk dipakai membakar pohung (ketela pohon). Areng setengkul itu memang susah menyala, harus disiram lenga pet (minyak tanah) dulu. Tapi kalo sudah membara, panasnya minta ampun deh.

Para sepur yang lewat ke arah timur sangat sering berhenti sebentar di rel sebelah utara desaku itu, jaraknya kira-kira satu kilometer menjelang masuk stasiun di depan pasar sana. Biasanya sepur itu menunggu sinyal aman. Di desaku ada dua buah sinyal kereta. Pokoknya bila sinyalnya masih menunduk dan berwarna merah, sepur akan berhenti dan tentu saja itu akan menghalangi jalanan yang menghubngkan desaku dengan desa tetangga.

Anak-anak kecil seperti aku dan juga orang-orang dewasa yang akan pergi ke pasar, sering naik sepur yang berhenti itu sampai ke stasiun dekat pasar. Kadangkala, bila Masinisnya sedang baik hati, satu atau dua anak diperbolehkan naik di ruang Masinis dan Masinis akan menjelaskan cara kerja sepur itu. Pulangnya, kami semua harus berjalan kaki menyusuri rel. Bila ada yang nekat naik sepur dari stasiun, bisa-bisa kami akan terbawa sampai kota Solo, soalnya hampir tidak pernah ada sepur ke arah barat yang berhenti di desaku.

Yang paling ditunggu oleh anak-anak seumuranku adalah berhentinya sepur penumpang di siang hari. Sepur penumpang itu mudah dicirikan dari gerbongnya yang berwarna hijau-kuning dan berjendela banyak. Bila ada sepur penumpang berhenti, anak-anak kecil akan bersorak-sorai di dekat jendela sambil melompat-lompat dan berteriak,"Nasi...nasi.....!!" Dan tak jarang penumpang yang baik hati menjatuhkan beberapa bungkus nasi pecel ayam. Mungkin mereka kasihan juga melihat kami, bocah ndeso (anak desa) yang ting kecumut raine (berwajah kotor), kuru aking (kurus-kering) dan seringkali ngliga (tidak memakai baju) itu. "Hore...hore...!!" Nasi itu kemudian kami bawa ke kebon suwung (kebon kosong) di pinggir rel itu, "Matur nuwun Mas...Mbak, Pak, Bu!!". Dan dibawah pohon Mangga yang rindang, kami akan berpesta makan nasi pecel ayam. Perbaikan gizi mas.....

[+/-] Selengkapnya...

Televisi

Rabu, September 10, 2008

Televisi adalah barang langka di masa kecilku. Satu-satunya orang yang punya televisi di daerahku saat itu adalah seorang Cina tua peternak babi yang dipanggil Bah Sin Jok. Bah Sin Jok tinggal di desa tetangga dan berjarak sekitar satu kilometer dari desa ku. Televisi satu-satunya itu berukuran 14", hitam-putih, dan selalu ditonton oleh puluhan orang yang menjejali halaman rumahnya.


Televisi kecil itu menggunakan accu 12 volt yang setiap tiga hari sekali harus dicharge selama tiga hari juga di Tukang Aki yang buka toko di pasar, satu kilometer dari rumah Bah Sin Jok. Maklumlah, pada saat itu di desaku belum ada listrik. Listrik PLN baru menyala di desaku saat aku sudah duduk di kelas satu SMA, walaupun tiang listriknya sendiri sudah dipasang di desaku sejak aku masih SD.

Acara yang aku gemari adalah serial Rin Tin Tin, kisah tentang seekor anjing yang pintar yang diputar TVRI di Sabtu senja. Aku juga suka serial The Giant, film yang mengisahkan petualangan sekelompok manusia bumi yang terdampar di sebuah planet yang dihuni manusia raksasa. Pada waktu itu, The Giant diputar TVRI di hari Minggu siang. Namun demikian, karena kondisi accunya yang seperti itu, kami sangat jarang sekali menonton televisi. Kami lebih suka main betengan di malam minggu, atau main perang-perangan di minggu siang hari.

Saat aku dan teman-temanku menonton televisi di malam hari, biasanya salah satu dari kami akan kami isengin. Bila salah seorang teman kami lengah, kami akan pulang secara diam-diam. Teman yang kami tinggalkan pada umumnya tidak berani pulang sendirian ke rumahnya, karena harus melintasi bulak atau ara-ara (kebun dan padang rumput terbuka yang luas) yang gelap gulita dan jauh dari pemukiman. Maka sudah dapat dipastikan, Ia akan menginap di rumah Bah Sin Jok sampai pagi. Konon, orang yang berjalan sendirian lewat bulak itu -tidak peduli tua atau muda- pasti akan ditakuti memedi (hantu). Yang paling terkenal disana adalah memedi pring (hantu bambu), bila ada yang lewat di dekat rumpun bambu, tiba-tiba salah satu bambu itu akan rebah melintang menghalangi jalan. Bila sudah begitu, orang itu harus pura-pura menebang pohon bambu yang rebah itu dengan sesuatu, agar bambunya kembali lagi seperti semula, aneh memang.

Nah, bila teman kami itu sudah pulang dari rumah Bah Sin Jok keesokan harinya, dia akan kami panggil sebagai Ndara Sinyo (Tuan Cina) dan kami olok-olok telah tidur dengan babi semalaman.

[+/-] Selengkapnya...

Kunang-kunang

Selasa, September 02, 2008

Di malam yang cerah tanpa cahaya rembulan, kadang-kadang ayahku membangunkanku menjelang tengah malam dan mengajakku berjalan-jalan ke persawahan di sebelah timur desaku, bukan untuk menjaga air, tetapi untuk menikmati indahnya malam.

Hamparan persawahan di sebelah timur desaku itu dibelah oleh sebuah jalan tanah yang cukup lebar dengan pohon trembesi, johar, asam dan kapuk randu tumbuh di kiri-kanannya. Di pohon kapuk randu dan asam yang besar-besar itu biasanya banyak bersarang burung hantu coklat dengan bunyinya yang khas di malam hari. Orang-orang di desaku tahu burung hantu banyak berjasa memberantas hewan tikus di persawahan, makanya tidak ada seorangpun yang mengusik keberadaan mereka. Di kiri kanan jalan itu juga mengalir selokan selebar kurang lebih satu meter untuk keperluan irigasi. Selokan yang selalu berair dan bersumber dari saluran irigasi dari waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Dahulu sekali, sebelum ada waduk, sering banget orang berebut air untuk mengairi sawah mereka karena airnya tidak terlalu lancar. Walaupun tanpa rembulan, kalo malam sedang cerah tak berawan, jalan di tengah sawah itu bisa terlihat dengan jelas.

Dua bulan setelah padi ditanam, biasanya padinya sudah tinggi-tinggi. Saat itulah pemandangan malam akan kelihatan indah dikala bulan mati. Di kegelapan dan dinginnya malam yang sunyi-senyap, akan terlihat jutaan cahaya berkelip di atas hamparan sawah sejauh mata memandang, itulah cahaya jutaan kunang-kunang yang sedang mencari makan, atau mungkin juga sedang berkembang biak, tak tahulah, tapi yang pasti jumlahnya sangaaaat buanyak. Sementara itu, kalo kita melihat ke atas, jutaan bintang membentang dari ujung ke ujung cakrawala. Sungguh, kita akan merasa berada di tengah-tengah lautan cahaya yang berkelip dengan indahnya. Kalo kamu melihatnya, pasti kamu akan betah berlama-lama berdiri di sana. Mungkin kamu sudah sering melihat indahnya kerlip lampu kota dari kawasan puncak di kejauhan ya, hampir mirip. Bedanya, di tengah sawah, kerlipan jutaan cahaya itu terasa begitu dekat dan menyatu dengan kita, sehingga kadang-kadang kita akan merasa mengambang dan nggak tahu sedang berada di mana.

Aduuuh.... aku jadi ingin pulang nih, untuk menikmati indahnya kunang-kunang. Wahai ayah, kapan ya kita jalan-jalan lagi ke sawah malam-malam?

[+/-] Selengkapnya...