Gelut

Jumat, Oktober 31, 2008

Kalo lagi musim panen, saat sawah masih bera (belum ditanami), aku dan teman-temanku suka main di persawahan selatan desa. Banyak anak-anak bermain di sana, ada yang main layang-layang, main bola plastik atau pedang-pedangan. Ada juga yang menggembala kerbau atau kambing.

Di areal persawahan itu biasanya masih banyak tumpukan-tumpukan dami (batang padi). Sebagian ada yang dibakar dan menyisakan abu yang beterbangan tinggi ke udara saat angin kencang. Kalo sudah capek bermain-main biasanya aku dan teman-temanku duduk-duduk di atas tumpukan jerami itu sambil ngobrol, cerita dan bercanda ria sambil menikmati sejuknya angin sore yang sepoi-sepoi.rindu

Salah satu temanku yang lebih tua beberapa tahun di atas umurku adalah Mul Meok yang punya hobi mengadu gelut (berkelahi) anak-anak seumurku. Mula-mula ia akan memprovokasi kami dengan mengatakan bahwa Gareng tidak berani melawan Lentho. Kalo Gareng mulai terprovokasi, si Jahat itu akan membujuknya agar Gareng mithes irunge (memencet hidung) Lentho. Nah kalo Gareng sudah berani mithes irunge Lentho, maka gelut tak dapat lagi dihindarkan, karena mithes irung itu adalah perbuatan yang paling menghina bagi kami.

Gelut itu bisa berlangsung lama juga, tidak ada adegan pukul-pukulan. Yang ada adalah saling pithing (mengunci posisi lawan), saling tekak (cekik) dan berguling-guling berusaha saling menindih tubuh lawan agar tak berkutik. Kalo salah satu sudah merasa kalah, maka ia akan berteriak keras-keras "mbeeekkk!" maka selesailah gelut itu....

Gelut juga bisa terjadi kalo ada dua kerbau jantan yang berkelahi dan salah satunya kalah. Bila Penggembala kerbau yang kalah nggak terima, maka gelut dengan penggembala kerbau yang menang juga akan terjadi. Kalo gelut yang beginian, kejadiannya akan lebih seru lagi, karena pecut (cambuk) mereka ikut-ikutan bicara. Bagi penggembala yang kurang piawi perang pecut, dipastikan tubuhnya akan nggaler-nggaler (berbilur-bilur) ditimpa pecut lawan. Tak jarang orang tua masing-masing akan terlibat juga, pokoknya gara-gara kerbau yang berkelahi itu, urusannya bisa panjang sampe ke kelurahan...hah

Aku paling benci kalo aku dan teman-temanku lagi duduk-duduk di dami dan ada Mul Meok disana. Bukan apa-apa, soalnya aku ini termasuk anak yang paling penakut dan nggak bisa berkelahi, makanya kalo ada yang mithes irungku, yang bisa kulakukan cuma menangis dan kemudian pulang ke rumah.....nangih

[+/-] Selengkapnya...

Wayangan

Jumat, Oktober 24, 2008

Nonton wayang kulit merupakan kegemaranku sejak kecil sampai kini. Banyak hal yang aku pelajari dari cerita yang disajikan sang Dhalang. Mulai dari kepahlawanan, cinta, pengorbanan, kehormatan dan banyak lagi. Banyak orang meyakini kisah itu benar-benar terjadi di masa lampau. Sebagian masyarakat Jawa yakin benar kisah itu terjadi di tanah Jawa, bahkan juga meyakini bahwa para Raja tanah Jawa itu sendiri adalah keturunan para Dewa. Bagiku sih it's ok aja, soalnya aku kadang kala juga merasa sebagai keturunan Dewa. kenyit

Di desaku, setahun sekali selalu diadakan pertunjukan wayang kulit semalam-sehari dalam kegiatan bersih desa. Tradisi wayangan ini konon sudah muncul sejak dulu kala. Sejarahnya panjang, namun tradisi ini memiliki tujuan untuk memuliakan Dewi Sri, yaitu Dewi Padi yang dipercaya mampu menjadikan tanah pertanian menjadi subur. Cerita wayang di siang hari selalu menyajikan kisah Sri Mulih atau Sri-Sadono, yang menceritakan kembalinya Dewi Sri ke tanah Jawa dan diharapkan bisa melestarikan kesuburan tanah pertanian. Sedangkan di malam hari, ceritanya beragam, mulai dari petikan cerita Mahabharata sampai Ramayana.

Wayangan selalu diselenggarakan pada malam Jumat sampai Jumat sore dan biasanya diadakan di rumah Pak Bayan yang cukup besar dan berhalaman luas. Pak bayan itu adalah pejabat kelurahan yang membawahi beberapa RW. Sebelum wayangan dimulai, diadakan tumpengan lebih dulu, inilah saatnya bagi kami makan enak: nasi uduk dengan kedele hitam, sambel goreng ati, ayam bakar kecap dan kerupuk udang. Tak lupa para Dhanyang (mahluk halus) penunggu desa juga mendapat bagian, sepaket nasi komplit dengan ingkung (ayam bakar kecap utuh ) yang ditaruh di bawah pohon asam besar di pinggir sawah sebelah tenggara desa.

Dari Kamis pagi, sudah banyak pedagang berjualan, mulai dari pedagang mainan sampai makanan dan minuman. Dan juga tentu saja, desa kami akan kedatangan para Penjudi dari berbagai daerah. Mereka akan berjudi habis-habisan di salah satu rumah di desa kami selama wayangan berlangsung malam dan siang hari. Tuan rumah akan mendapatkan uang cuk yang disisihkan oleh pemenang pada setiap permainan. Karena berlangsung malam dan siang hari, jumlah uang itu bisa sangaaaat banyak. Menurut orang-orang, begitulah pekerjaan para Penjudi itu, berpindah dari satu desa ke desa berikutnya hari demi hari, mengikuti acara keramaian yang berlangsung dari satu tempat ke tempat lain.

Di malam hari, aku paling suka nonton wayang dari balik kelir karena bayangan wayangnya kelihatan hidup dan bisa bernafas terkena sorotan blencong (lampu minyak kelapa) yang terkena tiupan angin malam. Nah, kalo siang hari baru asyik nonton dari depan kelir, karena kami boleh berteriak-teriak sepuas-puasnya saat tokoh wayang baik berperang melawan tokoh jahat. Pernah sekali waktu, saking benci dan geram pada kelakuan jahat tokoh wayang Prabu Tikus Diraja, raja hama yang menyerbu tanah Jawa, aku melempar wayang itu dengan sebilah bambu saat sedang perang dengan Raden Sadana. Tentu saja adegan perangnya jadi berhenti sejenak dan dalang beserta orang-orang pada ngomel panjang lebar padaku....

Salah satu tokoh wayang yang aku senangi adalah Arjuna, seorang satria yang baik, sakti mandraguna, gagah dan tampan (begitulah kata dalangnya). Dalam keadaan tertentu, aku juga seringkali membayangkan diriku ini sebagai Arjuna yang gagah dan tampan, dan membayangkan teman-teman mainku sebagai Bala Wanara (bala tentara kera) atau Bala Brekasakan (bala tentara raksasa yang jahat), atau sebagai Punakawan (semar, gareng, petruk dan bagong). Tapi lama-lama aku sadar bahwa semua teman-temanku juga membayangkan diri mereka sebagai Arjuna dan menganggapku sebagai Buto Terong, tokoh raksasa lucu yang berhidung seperti buah terong... sedih

[+/-] Selengkapnya...

Gigi Emas

Jumat, Oktober 17, 2008

Menurutku, orang desa itu kadangkala lebih ekstrem dibandingkan orang kota dalam mengekspresikan diri. Dan tentu saja hal itu bisa saja membuat diri mereka susah, bahkan sepeninggal merekapun, sanak saudara mereka yang masih hidup juga jadi ikut-ikutan susah.

Dahulu kala, orang kaya di desaku mengekspresikan diri mereka dengan rumah besar bertembok batu bata tebal dengan pendopo yang luas, lampu gobyok (lampu hias gantung) yang indah, dan juga pagar yang kokoh. Tak lupa beberapa burung perkutut yang gacor (mahir berkicau), istri yang bergelimang perhiasan emas, kerbau yang banyak, pit cik-cik (sepeda) yang anggun, dan tentu saja baju drill bagus dan topi sinder (topi bulat seperti topi orang belanda). Pada masa motor dan mobil mulai bisa terbeli, maka dua jenis kendaraan itu juga turut melengkapi daftar kekayaan mereka, nggak peduli bisa nyetir atau tidak.

Namun ada satu hal yang benar-benar bisa menunjukkan ciri orang kaya dimanapun mereka berada, walaupun misalkan mereka sudah tidak kaya lagi adalah: gigi emas! Itulah mungkin sebabnya, orang kaya di daerahku suka banget berbicara atau sekedar tersenyum lebar di depan orang banyak. Aku nggak tahu persis apakah gigi emas itu hanya lapisan atau memang benar-benar emas yang dibentuk seperti gigi dan dipasang secara khusus menggantikan gigi aslinya yang mungkin saja dicabut paksa. Yang jelas ada dua jenis gigi emas itu, gigi emas putih dan gigi emas kuning.

Yang aku ingat, gigi emas itu biasanya ada satu atau dua buah. Letaknya bermacam-macam, ada yang di depan, di gigi taring atau geraham depan. Gigi emas itu memang paten benar, soalnya sehitam apapun gigi asli di sekitarnya akibat merokok, yang namanya gigi emas tetap saja terlihat cemerlang. Seringkali untuk menunjukkan gigi emasnya itu ke khalayak ramai, sehabis minum teh atau kopi mereka akan menggerakkan mulut seperti gerakan menghisap dan mengusap gigi atas mereka dengan lidahnya yang secara otomatis akan membuat mulutnya terbuka, dan.... kilatan gigi emas akan menerpa menyilaukan mata orang-orang yang ada di dekatnya.

Orang-orang yang memiliki gigi emas itu rata-rata adalah para pengusaha, pedagang atau petani yang kaya. Bahkan Pak Dhalang yang hampir setiap tahun memainkan wayang di acara bersih desa itu juga memiliki gigi emas yang memenuhi mulutnya, mungkin juga untuk dipamerkan ke wayang-wayang yang dimainkannya. Kupikir ia pasti telah mengganti semua gigi seri dan taringnya dengan gigi emas. Pokoknya gigi emas itu sempat ngetrend berat di daerahku.

Nah yang paling repot itu kalo lagi musim Begal (perampok). Orang kaya bergigi emas itu harus hati-hati benar menjaga gigi mereka, soalnya pernah ada kejadian di daerah yang nggak jauh dari kawasanku, ada begal nekat yang selain merampok harta benda juga sempat mencabuti gigi emas yang cuma dua biji itu dari mulut orang kaya yang dirampoknya. Wuih, mengerikan ya...

Itu belum lagi kalo orang kaya bergigi emas itu meninggal. Lengah sedikit saja kuburannya dari penjagaan sanak saudaranya, besoknya pasti kuburan itu sudah dibongkar oleh Maling Gigi Emas. Yang begitu itu tentu saja nyusahin sanak keluarganya yang masih hidup kan. Siapa sih yang sanggup menjaga kuburan tiap malam selama berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun?

Sejak adanya kejadian perampokan gigi emas dan bongkar-membongkar kuburan bergigi emas yang berlangsung tidak hanya sekali itu, maka mulai surut jugalah trend gigi emas di daerahku. Satu demi satu orang-orang kaya mulai menanggalkan gigi emasnya dan menggantinya kembali dengan gigi biasa. Mungkin lapisan emasnya yang dilepas, atau mungkin juga ditanam lagi gigi biasa. Yang jelas saat aku mulai duduk di bangku SMP, jarang sekali aku melihat orang bergigi emas di daerahku, bahkan di kota Solo sekalipun....

[+/-] Selengkapnya...

Tayuban

Jumat, Oktober 10, 2008

Di desa nenekku juga ada perayaan bersih desa setahun sekali. Bedanya, di desa nenekku itu tontonannya bukan wayang kulit, melainkan tayuban, yaitu pertunjukan tarian atraktif-interaktif oleh beberapa ledhek (penari wanita). Disebut atraktif karena alih-alih menari sesuai pakem, ledhek-ledhek jalang itu bahkan kebanyakan menampilkan gerakan-gerakan yang sangat erotis. Kamu tahu nggak, gerakan ngebornya Inul itu bahkan nggak ada apa-apanya dibanding gerak tarian ledhek mesum itu. Disebut interaktif, karena satu atau lebih penonton dapat ikut serta menari bersama ledhek itu kalo ketiban sampur (dilempar selendang).

Penonton yang ikut menari itu pada umumnya akan nyawer ledhek dengan memasukkan sejumlah uang ke dalam -maaf- BH si Penari, dan kamu pasti sudah mahfum dengan apa yang dilakukan tangan durhaka itu di dalam sana. Semakin malam, suasananya akan semakin gayeng (ramai), soalnya penonton sudah banyak yang mabuk berat. Bagian paling seru adalah di akhir tarian, begitu terdengar salah seorang berteriak, "puull, puull, puulll!". Maka puluhan orang berlari mengerubungi penari, ada yang memeluk, mencium, dan menggerayangi si penari. Wah pokoknya nggilani (menjijikkan) deh. Dan itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Benar-benar pesta Iblis...takbole

Sebenarnya yang paling menarik perhatianku itu bukan ledheknya, tetapi penjual mainan yang bertebaran di sekitar rumah Kamituwa (sesepuh desa) tempat perayaan itu berlangsung. Nenekku yang baik hati itu akan dengan suka cita membelikan mainan yang disukai cucu pertamanya yang ganteng ini. Lagipula aku senang kok main di desa nenekku itu, soalnya aku kan bisa main terus dan nggak perlu ngangsu mengisi gentong dan kamar mandi di rumah. Namun seringkali aku juga penasaran, tayuban itu seperti apa sih, apalagi banyak sepupuku yang ngompori diriku untuk melihat ledhek, "Cuantik-cuantik lho...." Padahal aku kan masih kecil dan nggak peduli pada apa yang namanya kecantikan...

Orang tuaku paling nggak suka kalo aku datang ke desa nenekku untuk menonton tayuban itu. Paling-paling aku diijinkan mengunjungi nenekku di siang harinya sebelum tayuban itu berlangsung. Sore harinya sebelum maghrib aku sudah harus di rumah, atau ayahku akan menyusulku dan memaksaku pulang. Namun saking ingin tahunya, aku kadang bandel juga. Sembunyi saat ayahku datang mencariku dan nonton tayub sampai malam. Aku tahu kalo malam-malam pulang ke rumah, pasti nggak akan dibukain pintu. Makanya pagi-pagi benar aku diantar pamanku pulang. "Kok ledheke ora mbok gawa mulih sisa ta le? - Kok penarinya nggak kamu bawa pulang sekalian sih nak?" Sambut ayahku menyindir begitu pamanku sudah nggak kelihatan. Dan seperti biasanya, jeweran mesra akan mampir di kuping ajaibku ini. Kapok lombok deh..... Kapok lombok itu seperti kepedasan saat makan lombok, selesai pedasnya ya makan lombok lagi kenyit

Ada satu rahasia yang baru aku ketahui menjelang dewasa mengenai tradisi tayuban itu. Kata orang, dalam tayuban itu, semakin mesum ledheknya, semakin mabuk penontonnya, dan semakin banyak pisuhannya (umpatan), maka akan semakin senang Dhanyangnya (mahluk halus penunggu desa). Dan itu artinya sawah terhindar dari hama, dan panen akan berlimpah sepanjang tahun. Well, kamu percaya nggak kalo hal itu bisa benar? Soalnya pernah sekali waktu, tayuban itu diawaki oleh beberapa ledhek remaja yang masih malu-malu sehingga tayuban tidak gayeng (ramai). Akibatnya sawah diserang hama dan panen tidaklah memuaskan, aneh ya...

Sejak meninggalnya Kamituwa di desa nenekku dan mulai pesatnya perkembangan Islam di sana sesudahnya, tayuban itupun dihapus dari agenda bersih desa. Tidak ada acara pengganti tayuban itu, jadi bersih desa itu ya benar-benar syukuran murni. Tumpengan, doa dan selesailah sudah. Walaupun masih ada satu-dua orang yang berjudi setelahnya, kebiasaan itupun dikabarkan semakin lama semakin hilang. Syukurlah, akhirnya satu tonggak kemaksiatan sirnalah sudah dari desa nenekku...senyum

[+/-] Selengkapnya...

SD

Jumat, Oktober 03, 2008

Sekolahan SD-ku terletak di desa tetangga, sekitar satu kilometer dari desaku. Untuk sampai kesana, aku harus melewati jalan tanah di tengah persawahan yang becek saat hujan dan juga sebuah sungai kecil yang sering banjir.

Berangkat dan pulang sekolah, kami selalu berjalan telanjang kaki, karena sepatu adalah barang mewah pada saat itu. Banyak diantara kami yang tidak memakai sepatu saat sekolah, bahkan juga saat upacara bendera. Aku sendiri baru memakai sepatu saat kelas 4, itu juga karena harus mengikuti lomba cerdas-cermat di Kecamatan. Sepatu pertamaku adalah sepasang sepatu Bata yang dibelikan ayahku di sebuah toko sepatu di daerah Jebres, di kota Solo.

Selama sekolah SD, kami tidak pernah membeli buku pelajaran, karena dipinjami dari sekolah secara turun-temurun, makanya tidak jarang buku pelajaran yang kami miliki sudah lecek dan banyak coretan-coretan dari kakak kelas kami. Saat pembagian buku baru, wajib bagi kami untuk mengganti sampulnya menggunakan kertas coklat yang juga kami dapat secara gratis dari sekolah.

Uang saku kami, nilainya bervariasi, mulai dari 5 rupiah sampai setinggi-tingginya 25 rupiah. Banyak juga di antara kami yang tidak membawa uang saku. Pada masa itu, uang 5 rupiah adalah sangat berharga, dengannya kami bisa mendapatkan 5 bungkus permen jeruk, atau 2 butir permen karet, atau segelas kecil dawet atau bahkan sebungkus kecil gendar pecel (makanan seperti lontong dengan sedikit sayuran dan sambel), makanya kalo kami punya uang saku 25 rupiah, kami sudah bisa berfoya-foya sengihnampakgigi

Pagi-pagi, setiba di sekolah, kami selalu menunggu kedatangan para guru di jalanan di luar sekolah. Adalah kegemaran kami berebut membawakan tas atau sepeda para guru ke sekolah. Kami sangat patuh dan rajin di sekolah; membersihkan kelas, menghapus papan tulis, mengambilkan kapur, membawakan buku para guru, dan juga membersihkan lingkungan sekolah setiap Sabtu.

Kami juga mengikuti kegiatan pramuka, dan tentu saja berkemah. Yang paling seru saat berkemah adalah di acara jurit malam, kami akan diuji jalan di tengah malam, satu persatu melewati daerah-daerah angker tanpa bantuan alat penerangan secuilpun. Ditakut-takuti para pembina adalah hal biasa, tapi kalo bener-bener ketemu hantu itu yang luar biasa. Saat jurit malam, ada saja diantara kami yang tersesat. Perasaan sih seperti jalan bersama teman-teman lainnya. Eh, tau-tau sudah berada di hutan jati di tepi bengawan Solo sendirian, untung saja para pembina sudah hapal peristiwa yang begitu, jadi selalu saja ada yang jaga disana senyum

Setiap hari besar nasional, sekolah kami selalu libur belajar dan mengadakan peringatan atau lomba. Kami juga akan membawa makanan untuk saling ditukar dengan teman sekelas. Pokoknya kalo hari besar nasional, di sekolah meriahnya minta ampun.

Pelajaran yang paling aku senangi adalah ilmu pengetahuan alam dan menggambar, terutama gambar pemandangan. Namun selama SD, gambar pemandangan yang aku buat tidak pernah berubah: dua buah gunung kembar, matahari di tengahnya dengan sedikit awan, beberapa burung dari angka 3 tengkurap, jalan mengecil menuju ke gunung dengan barisan pohon atau tiang listrik dan sawah di kiri-kanannya. Kadang-kadang juga aku tambahi sungai atau kerbau dan kambing. kenyit

Yang paling mengharukan adalah saat aku lulus SD, walaupun kami bersuka cita dengan kelulusan kami, namun kami merasa enggan sekali pulang ke rumah. Meninggalkan SD di hari terakhir itu seperti kehilangan teman, saudara, rumah dan kampung halaman. Terima kasih kami untukmu wahai para guru yang mulia, atas jasa yang tulus dan kesabaran yang tak terbalaskan...rindu

[+/-] Selengkapnya...