Asmaradana

Sabtu, September 26, 2009

Pelan-pelan Bandot memacu motornya menyusuri jalanan Jakarta yang basah oleh bekas air hujan di sore hari itu. Genangan air di sana-sini memantulkan semburat cahaya jingga menandai pergantian siang dan malam. Satu dua bintang bersinar redup menghiasi langit biru di ufuk timur menemani perjalannya pulang dari pesta perkawinan Lea, mantan pacarnya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Bandot merenung dan berusaha memahami arti cinta dan kehidupan.

Sore hari itu, untuk keduabelas kalinya hati Bandot hancur berkeping-keping saat harus menelan ungkapan, bahwa cinta tidak harus memiliki. Sungguh, lahir batin Bandot sangat tidak menyukai ungkapan itu. Bagi Bandot, ungkapan itu bagaikan momok yang menghantuinya setiap kali dirinya mencintai seorang wanita. Dan berkali sudah Bandot harus menjadi korban ungkapan sial itu.

Bandot teringat pada tembang Macapat Asmaradana yang sering dinyanyikannya sewaktu SD di kampung halamannya nun jauh di pedalaman tanah Jawa, "Gegarane wong akrami (pedoman orang berumah tangga), dudu bandha dudu rupa (bukan harta, bukan penampilan), amung ati pawitane (modalnya hanya hati), luput pisan kena pisan (kadang sekali jadi, kadang nihil nggak jadi-jadi), yen gampang luwih gampang (bila mudah, segalanya menjadi sangat mudah), yen angel angel kalangkung (bila sulit, semuanya menjadi serba sulit), tan kena tinumbas arta (tak bisa dibeli dengan uang)". Bandot tak tahu lagi apakah syair tembang itu masih bisa dipercaya kebenarannya.

"Diinnn diiinnn!!!", klakson Trailer menyadarkan lamunannya. Ia segera membelokkan motornya ke jalur lambat. "Hampir saja.", batin Bandot bersyukur, namun kegalauan hati dan pikirannya tak juga sirna. Masih terbayang jelas dalam angannya, masa-masa indah berpacaran dengan Lea. Touring bersama, berangkat dan pulang kerja bersama, ke Dufan, ke Ragunan, ke Taman Mini, Nonton di PI, jalan-jalan ke Mall selalu berdua dan penuh cinta-kasih. ""Ahhh!!", Bandot menghela nafas panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, dan matanya terasa panas oleh linangan air mata kepedihan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.



Setahun yang lalu, Bandot harus merelakan pacar kesebelasnya. Semuanya berawal dari sebab yang itu-itu juga, ketika sang pacar meminta untuk segera menikah. Bandot pusing tujuh keliling, ia tahu tabungannya tak seberapa, masih kost, dan dengan gajinya yang sekarang, Bandot takut tak mampu memimpin bahtera rumah tangga mereka ke taraf sejahtera. "Aku belum siap", Kilah Bandot. "Bagaimana kalo tahun depan?", Bandot mencoba bernegosiasi. Sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Tidak disangka-sangka, empat bulan kemudian datanglah undangan pesta perkawinan pacarnya yang memaksa Bandot untuk kesekian kalinya tegar menyaksikan kekasih hatinya bersanding dengan pria lain. Bandot menghela nafas panjang,"Wahai, begitu cepatnya orang berpindah ke lain hati"

Sejak saat itu, Bandot bertekat tak mau lagi kehilangan kekasih. "Lea harus menjadi pacar terakhirku. Sebelas kali gagal sudah lebih dari cukup. Lea harus menjadi ibu dari anak-anakku", tekat Bandot semenjak mereka jadian. Maka empat bulan yang lalu, ketika Lea memintanya untuk menikahinya, Bandot menjawab tegas, "Baiklah, dik. Bulan depan kita menikah." Bandot buru-buru mengajukan kredit multiguna ke bank rekanan perusahaannya, lumayanlah 30 juta tanpa agunan pasti cukup untuk biaya pernikahan dan mengontrak sebuah rumah mungil selama dua tahun. Kredit cair dalam dua minggu, dan lamaranpun siap diajukan.

Dengan hati berbunga-bunga Bandot berangkat ke kampung halamannya untuk menjemput kedua orang tuanya. Bertahun-tahun tak pulang membuat Bandot rindu pada semuanya: pada orang tuanya, sanak saudaranya, teman-teman sepermainannya, sawah-sawah, kebun-kebun, sungai, jalanan, pohon-pohon, sapi-sapi, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bebek-bebek, angsa-angsa, tanah, udara, air, awan, rembulan, matahari, bintang-bintang, langit, semuanya. Dan seluruh kampung halaman seolah bersorak gembira menyambut kedatangannya, Bandot yang orang Jakarta.

Kampung halaman Bandot masih jauh dari modern, terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan asri. Sawah ladang, kebun, hutan, dan sungai memagari rumah-rumah di perkampungannya. Setelah bertahun-tahun ditinggal ke Ibukota, masih banyak hal yang belum berubah. Semua orang mandi dan mencuci baju di sungai, pagi dan sore hari. Dua hari di kampung halamannya Bandot kembali terbiasa dengan kehidupan masa kecilnya.

Sore hari itu, Bandot terlihat riang menaiki kerbau pamannya sepanjang jalan setapak menuju sungai untuk dimandikan. "Nostalgia", katanya. Semua orang tertawa, tapi Bandot tak peduli. "Kapan lagi aku bisa naik kerbau, sebentar lagi menikah, naik yang lain!", teriak Bandot setengah bercanda. Dan orang-orangpun kembali tertawa. Ketika melihat Bandot duduk terayun-ayun pelan di punggung kerbau, tiba-tiba semua orang membayangkan Bandot menaiki........, dan tawapun kembali pecah berderai menembus seluruh pelosok desa. Bandot bingung, apa yang sedang ditertawakan orang-orang. Tetapi ketika menyadari gerakan duduknya, Bandot pun terbahak-bahak, lebih keras dari tawa semua orang.

Sampai di bibir sungai, tiba-tiba rombongan kerbau gaduh dan berlarian, kaget oleh ular sawah sebesar paha yang melintas di jalan setapak itu. Bandot yang tak siap terjatuh dari punggung kerbau, terinjak-injak, terguling-guling, masuk sungai, memar, lecet-lecet, dan patah kaki. Akhirnya, hampir sebulan lamanya Bandot harus menginap di kampung halamannya, lamaran batal, tertunda. Dan selama itu Bandot harus berurusan dengan mbah Waong, dukun patah tulang di desanya.

Genap sebulan kemudian, Bandot kembali ke Ibukota dengan sisa-sisa uangnya yang semakin berkurang untuk menyumbang saudara misannya yang dua minggu lagi menikah. Ia ragu untuk meneruskan niatnya melamar Lea, uangnya sudah berkurang banyak. Ketakutannya tak mampu menyejahterakan bahtera rumah tangga kembali menjalari hatinya, apalagi sekarang ia terbebani oleh cicilan hutang. Bandot bingung, ia malu berterus terang pada teman-temannya dan juga pada Lea kekasihnya.

Lea yang menunggu-nunggu dilamar mulai bosan, Bandot yang kebingungan tak juga melamar. Hubungan mereka menjadi renggang dan semakin renggang. Dan tiga bulan semenjak peristiwa itu, sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda mendarat di meja kerja Bandot. "Duhh Gusti.", keluh Bandot, "Ini yang kedua belas kalinya."

Mendung jingga semakin jelas tergambar di langit biru kota Jakarta mengawali pergantian siang dan malam. Dengan suara pelan tertahan oleh kepedihan hatinya, Bandot menggumamkan Macapat Asmaradana, "Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel angel kalangkung, tan kena tinumbas arta". Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib syahdu memecah angkasa raya mengiringi derasnya air mata di pipi Bandot.

0 comments

Posting Komentar