Bengawan Solo

Senin, Agustus 18, 2008

Desaku diapit dua buah sungai. Di sebelah barat, kira-kira satu kilometer dari batas desa, mengalir dari arah barat laut ke utara adalah sungai Bengawan Solo yang legendaris itu. Sedangkan lima ratusan meter di sebelah timur desaku mengalir sungai Sunggingan yang lebih kecil yang mengalir dari arah timur, berkelok ke utara lalu ke barat dan akhirnya bermuara di Bengawan Solo itu juga.

Bengawan Solo itu sungai yang sangat lebar. Dulu aku mengira mata airnya berasal dari laut selatan dan mengalir ke laut utara. Setelah aku sekolah, barulah aku tahu bahwa airnya berasal dari Pegunungan Seribu yang membentang di bagian selatan pulau Jawa. Menurut orang-orang tua, dahulu sekali banyak perahu besar lalu lalang di Bengawan Solo karena pada masa itu, transportasi melalui sungai lebih mudah dan lebih cepat dibanding melalui daratan yang masih berhutan lebat dan banyak begalnya (perampok). Di musim kemarau airnya sedikit dan sangat jernih, serta banyak orang mencari pasir yang diangkut dengan kuda beban. Aku, saudara-saudara dan teman-temanku suka main dan berenang di sungai itu selepas pulang sekolah di musim kemarau. Selesai berenang, biasanya kami juga mencari ikan yang terperangkap di ceruk-ceruk kecil di sepanjang sungai, lumayanlah buat dibakar dan dimakan di bawah jembatan kereta api.

Bengawan Solo itu memisahkan daerahku dengan kota Solo, makanya kalau airnya sedang surut, dibangun jembatan penyeberangan ke kota Solo yang dibuat dari anyaman bambu yang disebut Sasak. Setahun sekali pada setiap pergantian musim kemarau ke musim penghujan, biasanya terjadi bladu (banjir besar yang disertai pasir dan lumpur) yang berlangsung beberapa hari. Banjir itu diakibatkan karena di hulu sungai, di daerah Wonogiri, terjadi hujan besar, dan bladu inilah yang selalu ditunggu-tunggu penduduk desa di pinggiran Bengawan. Banjir itu datang dengan membawa ribuan ikan yang mabuk akibat kotornya air Bengawan, kalo sudah begitu, kami akan ramai-ramai mendatangi pinggir Bengawan dengan membawa ikrak (pengki dari bambu) atau tenggok (bakul besar dari bambu) untuk panen ikan, persis seperti orang yang memanen ikan di tambak...

Di musim penghujan, jembatan sasak akan dibongkar dan perahu penyeberangan akan kembali dijalankan. Perahu itu cukup besar, mampu memuat 30-an orang dan beberapa sepeda dalam sekali jalan, dan hanya dikemudikan oleh satu orang saja, kadang aku suka bertanya-tanya, betapa kuatnya tenaga orang ini melawan arus Bengawan ...

Saat aku kecil, Bengawan Solo banyak dihuni ular besar dan buaya. Hewan-hewan buas itu akan lebih sering terlihat di musim penghujan atau saat banjir, tidak jarang kami melihat ular sebesar paha orang dewasa melingkar di pohon Lo atau Beringin yang banyak tumbuh menjorok ke sungai, kebanyakan dari ular-ular itu adalah ular pithon yang kami sebut ula sawa kembang atau ula dumung kebo.

Penduduk di daerah kami waktu itu belum ada yang mikirin WC, jadi kalo "bab" mereka akan selalu ke sungai di pagi buta. Pada suatu pagi, ketika salah seorang penduduk desa tetangga sedang "bab" di pinggir sungai, ia merasa heran karena tempat yang dipakainya bergerak ke tengah sungai, lama-lama ia sadar bahwa saat itu ia sedang jongkok di atas punggung buaya, untunglah, setelah kalang-kabut, lintang-pukang dan secara membabi-buta menyelamatkan diri ke pinggir sungai dengan paniknya, dia selamat dengan sukses... :-)

1 comment

Den Babeh mengatakan...

Seneng kalo inget masa dulu jd betah dengernya

05 Desember, 2011 10:24

Posting Komentar