Sunggingan

Senin, Agustus 25, 2008

Sungai Sunggingan adalah sebuah sungai selebar delapan meter yang mengalir di sebelah timur desaku. Dasarnya berupa batuan cadas, berair jernih kecoklatan, dan banyak ikannya. Kiri-kanannya rimbun dengan berbagai perdu, pohon, dan rumpun bambu. Sungai Sunggingan bermata air di Gunung Lawu, mengalir berkelok-kelok melewati lembah-lembah, menembus hamparan persawahan, perkebunan, pedesaan, dan bermuara di Bengawan Solo. Sunggingan adalah bahasa Jawa yang berarti ukiran. Sungai Sunggingan memang laksana sungai yang terukir indah di bentang alam antara Gunung Lawu dan Bengawan Solo, itulah yang menyebabkan sungai itu dinamakan demikian.

Sungai Sunggingan hampir tak pernah sepi dari waktu ke waktu. Para perempuan mencuci pakaian ramai bercanda di atas batu-batu besar di pagi hari. Menjelang siang, ramai orang mencuci rumput untuk ternak mereka. Para petani melantunkan tembang beristirahat di bawah pepohonan di pinggir Sungai yang sejuk dan teduh itu. Sore harinya, Sunggingan diramaikan oleh kerbau, kambing, penggembala, dan anak-anak yang mandi bersuka-ria. Dan cobalah untuk menyempatkan waktu menatap ke arah sungai Sunggingan di malam hari, sesekali akan kita jumpai kerlip senter atau cahaya obor para Pencari ikan yang menyusuri sungai itu.

Aku dan teman-temanku senang bermain-main di Sungai Sunggingan. Ada bagian sungai itu yang agak dalam, sebuah palung sepanjang kira-kira tigapuluh meter. Bagian itulah yang menjadi tempat main favorit kami untuk lomba renang, lempar dan cari batu, serta lomba menahan nafas di dalam air. Di masa kecilku, semua anak laki-laki di desaku bisa berenang dan semuanya adalah perenang dan penyelam yang tangguh. Kami tahu benar apa yang harus kami lakukan bila telinga kemasukan air saat menyelam, atau bagaimana cara menyelamatkan diri dari derasnya arus sungai saat banjir.

Bila sedang banjir di musim penghujan, Sungai Sunggingan berarus sangat deras dan berair keruh kecoklatan. Inilah saatnya aku dan teman-temanku bermain arung jeram menggunakan ban dalam mobil. Satu ban dalam mobil, bisa dinaiki oleh dua orang anak. Kami tidak menggunakan dayung, melainkan hanya tangan dan kaki untuk mengendalikan laju ban tersebut. Arung jeram dimulai dari Bendungan Mantrasan yang terletak tujuh ratus meter ke arah hulu sampai di bawah Jembatan kereta api. Kadang kala, bila banjir tidak terlalu besar, arung jeram kami lanjutkan sampai ke bawah pohon Elo di belakang rumah Bah Sin Jok sejauh lima ratus meter ke arah hilir untuk kemudian menepi dan kembali ke Bendungan Mantrasan dengan berjalan kaki membawa ban, perahu arung jeram kami, sampai kami puas bermain di hari itu.

Saat ini, bila aku pulang ke desaku dan mengunjungi Sungai Sunggingan, suasanyanya jauh berbeda. Sungai Sunggingan itu memang tetap teduh dan sejuk di siang hari, tetapi suasananya sepi, dan airnya tidak sejernih dulu lagi. Modernisasi di desaku telah menghilangkan semuanya. Kebisuan Sunggingan seakan membisikkan kerinduan yang mendalam: kerinduan pada obrolan para perempuan mencuci pakaian, tawa para pencari rumput, tembang para petani, lenguhan kerbau, canda anak-anak di kala senja, dan juga kerlap-kerlip senter pencari ikan di malam hari...

0 comments

Posting Komentar