Senjata Sakti

Jumat, November 07, 2008

Banyak sekali orang-orang tua di desaku yang memiliki senjata pusaka yang sakti. Ada yang berupa keris, tombak, atau pedang yang semuanya terawat dengan baik. Tidak jarang orang-orang memiliki lebih dari satu buah senjata. Kakekku misalnya, beliau memiliki sebuah keris dan dua buah tombak. Senjata pusaka itu pada umumnya diperoleh secara turun-temurun dari nenek-moyang. Bisa jadi dulunya nenek-moyang kami adalah para prajurit kraton atau mungkin juga pendekar yang tangguh. Orang-orang tua kami tidak pernah mau bercerita profesi nenek-moyang kami, mereka sepertinya menyembunyikan informasi yang satu itu.

Setiap tanggal satu Sura (Muharam), saat tahun baru Saka, semua senjata sakti akan diwarangi (arti sebenarnya adalah dibubuhi racun, namun lebih tepatnya dibersihkan, pengertiannya, setelah dibersihkan senjata sakti itu biasanya dibubuhi racun lagi). Tidak sembarang orang boleh dan bisa memandikan senjata sakti itu. Saat aku kecil, di desaku hanya ada satu orang yang mampu melakukannya yaitu almarhum mbah Modin, seorang pejabat penghulu di kelurahan yang sudah sepuh (tua) namun sakti mandraguna

mBah Modin itu hapal benar sejarah setiap senjata di desaku, seringkali aku dan teman-temanku yang melihat prosesi itu mendengarkan sejarah salah satu pusaka yang sedang dibersihkannya. Kapan dibuatnya, apa isinya, kesaktiannya, siapa saja yang pernah kanggonan (ketempatan), dan bahkan apa saja yang pernah dilakukan senjata sakti itu di masa lalu. Dari cerita mBah Modin itulah, seringkali aku menyimpulkan bahwa nenek moyang orang-orang di desaku itu memang ada yang prajurit kraton atau juga tokoh-tokoh sakti pada masanya...

Konon, senjata sakti tidak hanya berguna saat berperang saja, melainkan juga untuk tetulak baya (menolak bahaya), untuk kawibawan (kewibawaan), atau juga untuk pamong (penjaga). Salah satu pamanku dikenal sebagai petani yang tak pernah gagal, panennya selalu bagus dan sawahnya tak pernah terserang hama. Kata orang banyak, itu karena pamanku memiliki sebuah keris pusaka bernama Kyai Pariputih, sebuah keris berluk (berlekuk) tiga berwarna hitam dengan ukiran bulir padi berwarna putih-keemasan di sepanjang wilahannya. Pak Bayan bahkan diceritakan memiliki keris Kyai Tundhung yang konon bisa membuat desa kami dan juga dirinya sekeluarga aman dari penggawe ala (perbuatan jahat).

Setiap malam jumat, semua senjata pusaka akan dikutugi (diasapi kemenyan wangi sambil dimantrai) dan juga disajeni banyu kembang setaman (diberi air bunga mawar di dekatnya). Di waktu Maghrib, pemilik pusaka akan membakar kemenyan, membaca mantra-mantra tertentu, atau juga bercakap-cakap dengan senjata-senjata itu. Kalo pemiliknya lupa melakukan hal itu, maka senjata-senjata itu akan glodhakan (bergerak sendiri dan menabrak-nabrak dinding) di dalam lemari. Bahkan seringkali senjata itu mampu membuka lemari dan terbang keluar rumah dengan menjebol atap. Kalo sedang ngambek seperti itu, senjata itu akan bersinar seperti meteor dan bisa saja pergi sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Mereka baru kembali lagi kalo pemiliknya memberinya sajen (sesaji) dan membaca mantra-mantra tertentu.

Bila tidak sempat diwariskan ke anak-cucu oleh pemiliknya, biasanya senjata sakti itu akan murca (hilang tak tentu rimbanya) saat pemiliknya meninggal dunia. Atau juga senjata sakti itu akan kehilangan ruh-nya, wujudnya memang masih ada, tetapi sudah tidak sakti lagi. Kalo sudah begitu, senjata itu akan mudah rusak juga. Mula-mula pamornya (hiasannya) akan kusam dan besinya akan berkarat, bahkan tugel (patah) atau moprol (hancur berkeping-keping). Ketika akan kehilangan ruh-nya, seringkali "isi" senjata sakti itu menampakkan wujud asli mereka: ular besar, singa, macan, asu ajag (srigala), gendruwo, jin atau bahkan wanita cantik yang mondar-mandir kebingungan di sekitar senjata itu berada. Lama-kelamaan mereka akan menghilang tak berbekas.

0 comments

Posting Komentar