Sepur

Kamis, September 18, 2008

Rel kereta api yang membentang di sebelah utara desaku membuat orang di desaku terbiasa dengan kereta api atau yang kami sebut juga sepur. Bahkan kami juga hapal jenis-jenis sepur yang lewat disana termasuk jam lewatnya sekaligus. Frekuensi lewatnya sepur itu memang tidak terlalu sering dan kebanyakan juga sepur barang yang mengangkut semen, pupuk, minyak, atau hewan ternak semisal kuda atau sapi. Ada juga sepur penumpang, tapi kebanyakan lewat di malam hari. Di siang hari sepur penumpang itu hanya lewat sekitar tiga atau empat kali saja.

Pada masa kecilku, sebagian sepur yang lewat adalah sepur uap yang berwana hitam, kokoh, angker, dan biasanya merupakan sepur pengangkut barang. Orang di desaku menyebutnya sepur kluthuk atau sepur kuk, karena bunyi peluitnya "Kuk..kuk...kuuukkkk...." begitu. Sepur Kuk itu dari kejauhan saja sudah ketahuan dari asapnya yang membubung tinggi dan suaranya yang khas,"Juk jes..juk ejes...juk ejes". Selain sepur kuk, ada juga sepur disel yang jalannya lebih cepat dibanding sepur kuk dan biasanya digunakan untuk mengangkut penumpang

Bahan bakar Sepur Kuk itu disebut areng setengkul (batu bara) yang dimuat di gerbong kecil tepat di belakang lokomotif itu. Areng setengkul itu bentuknya seperti kerikil dan warnanya hitam mengkilat. Masinis kereta dan asistennya memiliki sekop untuk memasukkan areng setengkul itu ke dalam tungku pembakaran. Tapi aku juga sering melihat bahwa bahan bakarnya kadang kayu gelondongan, kata orang kayu itu adalah kayu Karet. Kadang kala aku dan teman-temanku mencari areng setengkul itu di sepanjang rel kereta api untuk dipakai membakar pohung (ketela pohon). Areng setengkul itu memang susah menyala, harus disiram lenga pet (minyak tanah) dulu. Tapi kalo sudah membara, panasnya minta ampun deh.

Para sepur yang lewat ke arah timur sangat sering berhenti sebentar di rel sebelah utara desaku itu, jaraknya kira-kira satu kilometer menjelang masuk stasiun di depan pasar sana. Biasanya sepur itu menunggu sinyal aman. Di desaku ada dua buah sinyal kereta. Pokoknya bila sinyalnya masih menunduk dan berwarna merah, sepur akan berhenti dan tentu saja itu akan menghalangi jalanan yang menghubngkan desaku dengan desa tetangga.

Anak-anak kecil seperti aku dan juga orang-orang dewasa yang akan pergi ke pasar, sering naik sepur yang berhenti itu sampai ke stasiun dekat pasar. Kadangkala, bila Masinisnya sedang baik hati, satu atau dua anak diperbolehkan naik di ruang Masinis dan Masinis akan menjelaskan cara kerja sepur itu. Pulangnya, kami semua harus berjalan kaki menyusuri rel. Bila ada yang nekat naik sepur dari stasiun, bisa-bisa kami akan terbawa sampai kota Solo, soalnya hampir tidak pernah ada sepur ke arah barat yang berhenti di desaku.

Yang paling ditunggu oleh anak-anak seumuranku adalah berhentinya sepur penumpang di siang hari. Sepur penumpang itu mudah dicirikan dari gerbongnya yang berwarna hijau-kuning dan berjendela banyak. Bila ada sepur penumpang berhenti, anak-anak kecil akan bersorak-sorai di dekat jendela sambil melompat-lompat dan berteriak,"Nasi...nasi.....!!" Dan tak jarang penumpang yang baik hati menjatuhkan beberapa bungkus nasi pecel ayam. Mungkin mereka kasihan juga melihat kami, bocah ndeso (anak desa) yang ting kecumut raine (berwajah kotor), kuru aking (kurus-kering) dan seringkali ngliga (tidak memakai baju) itu. "Hore...hore...!!" Nasi itu kemudian kami bawa ke kebon suwung (kebon kosong) di pinggir rel itu, "Matur nuwun Mas...Mbak, Pak, Bu!!". Dan dibawah pohon Mangga yang rindang, kami akan berpesta makan nasi pecel ayam. Perbaikan gizi mas.....

0 comments

Posting Komentar