Aras Pepet

Sabtu, Juli 04, 2009

Sore itu Ogleng berdiri di tepian dinding puncak gedung berlantai lima belas di tengah kota. Tatapan matanya kosong menyapu langit. Pikirannya kalut, hatinya bingung, dan keyakinannya goyah sampai titik terendah: Dari primbon, ia tahu bahwa dirinya dilahirkan dengan perwatakan aras pepet dan itu sama dengan hidup susah, rejeki yang terhambat, dan sukses yang tak pernah terwujud. Dan perwatakan itu adalah sebuah kutukan yang terbawa dari lahir sampai mati, sekali aras pepet dan selamanya akan begitu. Ia merasa seperti divonis untuk hidup susah selamanya.

Pikiran Ogleng mengembara meniti flashback jalur perjalanan hidupnya. Hari itu ia baru saja kehilangan pekerjaannya setelah gagal menyelesaikan proyek IT tepat pada waktunya, walaupun sudah diberi tenggat dua bulan. Tak habis-habisnya ia berusaha siang dan malam bersama anak buahnya tapi proyek itu tak juga kunjung selesai, ada-ada saja masalahnya. Hal itu membuat perusahaannya kena penalty yang cukup besar. Dan kini Ogleng kehilangan segalanya: fasilitas kantor, gaji dan tunjangan besar yang baru dinikmatinya selama empat bulan setelah dipromosikan sebagai manager. Jamsostek dan sertifikat rumahnya telah lama menjadi jaminan pinjamannya di sebuah Bank. Kini Ia tidak tahu lagi darimana ia akan memperoleh uang untuk membayar hutang-hutangya.

Enam bulan lalu, usaha sampingannya mengimpor laptop bekas menuai kebangkrutan setelah ditipu rekan usahanya sendiri senilai ratusan juta rupiah. Modal yang tersisa tak mungkin digunakan untuk menjalankan usahanya lebih lanjut. Dan usahanya itu menyisakan hutang yang harus ditanggungnya sendirian. Ogleng memang kurang fokus dalam mengelola usahanya itu lantaran tidak mau meninggalkan pekerjaan tetapnya. Tapi ia belum putus asa, aras pepet hanya mitos! Demikianlah, dua bulan kemudian ia dipromosikan sebagai manager di kantornya.

Tahun lalu saat tsunami menerjang pantai selatan Jawa, usaha pembesaran sapi yang dirintisnya selama bertahun-tahun musnah dalam sehari. Ogleng memiliki strategi bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Hasil penjualan sapi-sapinya dibelikan lagi sapi-sapi kecil dan perluasan sewa lahan peternakan, ia tidak mau mengambil keuntungan saat itu. Nanti saja kalo sudah mencapai seratus sapi, pikir Ogleng. Sebuah cita-cita yang tak pernah terwujud. Menyikapi kehancurannya, Ogleng berpikir, itu hanya ujian saja. Aras pepet itu tak lebih dari ujian, dan ujian selalu akan ada akhirnya. Ogleng tak patah semangat. Aku masih punya pekerjaan tetap dan kepercayaan Bank, batinnya menghibur diri.

Satu setengah tahun lalu, Ogleng tertarik dengan bisnis sampingan berternak gurame. Iapun ikut kursus dan mulai menyewa sepuluh empang sekaligus di Bogor. Usaha tak boleh setengah-setengah, kalau mau sukses besar ya harus berani modal besar, begitu tekatnya saat diingatkan teman-temannya untuk berhati-hati, tidak tergesa-gesa dan kemaruk. Dan nasehat teman-temannya terbukti. Seminggu sebelum panen, Ogleng hanya menuai puluhan sandal jepit milik para pencuri ikan di empang guraminya. Ini bukan aras pepet tapi hanya sebuah kebetulan saja, pikir Ogleng. Namun tak urung ia kehilangan minat untuk beternak Gurami lagi.

Sederetan kegagalan dalam usaha sampingan mendera Ogleng sejak pertama kali ia bekerja tetap dan berpikir bisa kaya dengan usaha sampingan. Mulai dari menanam Rosella, beternak Lobster, beternak Lele, jual-beli mobil bekas, usaha angkot, mendirikan bengkel, tengkulak beras dan kedelai, konsultan IT, kontraktor rumah dan infrastruktur jalan, sampai internet marketing tidak ada satupun yang jadi. Gaji tetap dan pinjamannya dari Bank seolah lenyap menjadi tumbal bagi setiap usaha sampingannya yang gagal. Dan sepanjang kegagalannya, ia tak pernah mempercayai aras pepet itu. Hanya kurang cerdas dalam berusaha, katanya membela diri.

Di puncak gedung berlantai lima belas menjelang terbenamnya sang mentari, Ogleng berdiri termenung, temangu-mangu, ragu-ragu: terjun atau kembali. Terjun berarti ia terbebas, merdeka dari aras pepet selamanya. Dan kembali, dia tidak melihat cara untuk membebaskan diri dari kungkungan aras pepet itu. Selama ini ia tak pernah berhenti berusaha dan semuanya telah berakhir pada kegagalan. Ia dilahirkan di bawah perwatakan aras pepet dan akan begitu selamanya. Sementara itu jalanan di bawah gedung mulai macet, orang-orang mulai ramai berkumpul di bawah gedung, menunjuk-nunjuk Ogleng yang berada di antara hidup dan mati di puncak gedung berlantai lima belas itu.

Pembaca yang budiman, anggaplah anda berada di sebelah Ogleng dan berkesempatan bicara dengannya di puncak gedung berlantai lima belas itu. Maka akhir dari kisah ini sepenuhnya saya serahkan pada anda: Ogleng yang terjun atau Ogleng yang kembali. Saya lihat Ogleng telah siap berbincang dengan anda, monggo silahkan dilanjut. Mungkin saja ia masih menyimpan setitik harapan. Jangan lupa tulislah hasil pembicaraan anda dengan Ogleng di kotak komentar, siapa tahu banyak orang yang membutuhkannya...

0 comments

Posting Komentar