Mabok...

Sabtu, Juli 18, 2009

Hidup orang itu ibarat roda, kadang di atas, kadang di bawah. Seringkali orang tidak tahu kapan ia akan berada di atas atau kapan ia berada di bawah. Kalo lagi di atas, kehidupan akan terasa serba enak, semua kebutuhan tersedia, dan apa-apa bisa dibeli. Namun bila sedang di bawah, semuanya terasa serba kekurangan, serba sulit, dan serba salah. Nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe.

Den Bei dan keluarganya hidup miskin bertahun-tahun lamanya. Walaupun gajinya bertambah setiap tahun, namun semakin lama gaji itu malah semakin tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bagaimana tidak, gajinya naik paling banter 10% per tahun, sementara itu nilai inflasi melebihi prosentase kenaikan gajinya. Maka gajinya itupun semakin terseok-seok mengejar kebutuhan hidup yang semakin mahal. Sembako mahal, transportasi mahal, biaya sekolah mahal dan hutang Den Bei semakin menumpuk dari bulan ke bulan.

Den Bei mencoba ikut-ikut cari pinjaman di koperasi, siapa tahu bisa buat modal dagang kecil-kecilan di rumahnya. Begitu pinjaman cair, maka uang itu tak sempat berlama-lama di tangan Den Bei. Habis dalam sekejap untuk melunasi hutang-hutangnya, dan bayangan dagang di rumahpun amblas menyisakan potongan gaji dari bulan ke bulan. Tak urung istrinya hanya bisa melongo setiap akhir bulan, jatahnya dipotong payroll tanpa ampun.

Tapi Den Bei tidak pernah putus asa, ia selalu yakin bahwa dia akan sukses suatu hari nanti dan mencapai hidup enak sebelum usia tua. Sebenarya hal yang memotivasi Den Bei untuk selalu bersemangat adalah impiannya untuk memiliki sebuah kamar khusus yang akan digunakannya untuk main game kapan saja dia mau, sebuah kamar kedap suara yang dilengkapi dengan layar LCD besar, konsol game yang lengkap dan sound system yang dahsyat menggelegar. Maklumlah Den Bei adalah seorang maniak ding-dong di masa remajanya.

Dan akhirnya sampai jugalah saat yang ditunggu-tunggu itu, Den Bei diterima bekerja di sebuah pabrik makanan kelas atas di negeri ini, posisinya tak tanggung-tanggung: manager departemen purchasing! Den Bei megalahkan ratusan kandidat lain seantero negeri. Ia sangat bangga. Kini ia membawa mobil dinas kemana-mana, gajinya besar, bajunya berdasi, dan handphonenya sudah mirip komputer.

Semakin hari Den Bei semakin merasakan betapa basahnya departemen yang ia pimpin, hatinya senang, raut ketuaan di wajahnya mulai menghilang tertutup lemak yang mulai melapisi sekujur tubuhnya. Hubungannya dengan vendor semakin terjalin akrab dan hal itu membuat dirinya semakin happy.

Hal pertama-tama yang dilakukan Den Bei adalah meminta istrinya berhenti bekerja. Ia ingin istrinya kelihatan cantik sepanjang waktu dan tidak malu-maluin bila suatu saat harus ikut dirinya dalam kegiatan kantor. Di bulan kedua, semua hutangnya lunas tanpa tersisa, bahkan untuk beberapa temannya diberinya lebihan sebagai tanda terima kasih. Di bulan ketiga, sebuah sepeda motor baru bertengger di garasi rumahnya. Dan menginjak bulan kelima, impiannya memiliki studio game di rumahnya terkabul sudah. Dan ia menamainya dengan sebutan The Bunker.

Den Bei mulai keranjingan main game di bunkernya. Semua jenis game ia beli sebagai koleksi. Mulai dari tetris, balapan, sampai game strategy semua ia punya. Bila sedang asyik main game Den Bei tidak mau diganggu bahkan oleh istri dan anaknya sekalipun. Ia beruntung istri dan anaknya tidak ada satupun yang suka main game, mereka lebih suka shopping di mall melebihi apapun.

Begitulah, siang kerja, malam main game merupakan kegiatan wajib Den Bei sehari-hari. Ia bahkan memplesetkan lagu pok ame-ame belalang kupu-pupu menjadi siang kerja keras, kalo malam main game! Istri dan anaknya tak pernah peduli pada kegiatannya, yang penting bagi mereka sealu tersedia cukup uang untuk shopping, dan itu sudah cukup.

Memasuki bulan kedelapan, perusahaan mulai mencium ketidakberesan pada kinerja Den Bei. Sering terlambat dan tidak masuk kerja dengan berbagai alasan mewarnai hari-harinya. Operasional purchasing mulai terganggu gara-gara approval yang terlambat, dan jarangnya dilakukan evaluasi kerja mingguan. Beberapa departemen lain mulai mengeluhkan kinerja departemen purchasing. Rapat koordinasi seringkali berjalan dalam kebuntuan karena ketidakhadiran Den Bei.

Management cepat bertindak, Den Bei dipanggil menghadap. Sehari, seminggu, dua minggu den bei mulai tertib kembali, namun memasuki minggu ketiga, kegemarannya pada game mengalahkan segalanya. Ia kembali sering terlambat dan tidak masuk kerja. Den Bei lupa daratan dan melupakan hal terpenting dalam hidupnya: sumber penghasilan dan pengorbanan.

Akhirnya Den Bei hanya bisa bertahan sampai akhir bulan kesepuluh. Kini ia dan isrinya tak lagi punya sumber penghasilan. Den Bei sempat sedih sebentar, namun segera terhibur dengan koleksi game yang dimilikinya. Ia optimis bahwa suatu hari nanti ia akan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Ia mulai mengirimkan lamaran kemana-mana, tapi kini saingan di luar semakin banyak, dan kesempatannya semakin tipis.

Tiga bulan berlalu sudah dan Den Bei masih tetap menganggur. Tapi hal itu tak terlihat merisaukan hatinya. Main game jalan terus. Omelan istrinya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Semakin hari tabungan Den Bei semakin menipis. Tapi keasyikannya main game telah membuat Den Bei buta dan tuli terhadap kondisi keuangannya.

Pelan tapi pasti putaran roda kehidupan Den Bei dan keluarganya membawa mereka kembali ke bawah. Kehidupan mereka kembali sulit, serba susah, dan serba salah. Istrinya sudah kembali bekerja, namun Den Bei masih menganggur. Bunkernya telah lama kosong melompong, isinya sudah ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin hari semakin mahal. Tapi Den Bei tetap optimis, suatu hari bunker itu akan terisi kembali dengan perangkat yang jauh lebih baik, dan ia semakin gencar melamar kerja kemana-mana. Ia harus memutar roda ke posisi atas, harus dan harus...

Demikianlah, nasib orang itu memang tak ada yang tahu, ibaratnya pagi hari masih kedelai, sore hari sudah jadi tempe....

0 comments

Posting Komentar