Biduan Pujaan

Sabtu, Agustus 01, 2009

Konon, kata sahibul hikayat, hanya ada dua waktu yang paling disukai para Karyawan. Yang pertama adalah waktu gajian, dan yang kedua adalah waktu pulang kerja. Namun bagi Gambleh, pulang kerja tepat pada waktunya bukanlah hal yang favorit, setidak-tidaknya dalam dua pekan terakhir ini. Di saat rekan-rekannya sibuk ngantri di depan mesin absen sidik jari 10 menit sebelum jam kerja berakhir, Gambleh masih saja memelototi komputer di meja kerjanya. Ia baru akan pulang satu jam setelah jam kerja berakhir. Gambleh sama sekali tidak bermaksud untuk lembur, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang kantor.

Karena statusnya yang seorang jomblo kesepian, maka tak ada barang sesuatupun di dunia ini yang bisa melarang Gambleh keluyuran sepulang kerja. Biasanya, Gambleh akan keluyuran di Mall-mall dengan maksud yang sebenar-benarnya adalah untuk mencari jodoh yang tak juga kunjung datang. Namun dua minggu belakangan, Gambleh mulai meninggalkan Mall. Ia merasa sangat berbahagia apabila tiba di stasiun Tebet tepat waktu. Bukan untuk naik kereta kosong ke Bogor, tetapi semata-mata untuk menjumpai wanita pujaan hatinya.

Wanita pujaan Gambleh itu sesungguhnya adalah seorang Biduan Dangdut yang selalu "manggung" di stasiun Tebet selepas maghrib sampai menjelang Isya. Ia ditemani crew dangdutnya yang terdiri dari seorang pemain keyboard, seorang pemain ketipung, seorang pemain gitar dan seorang operator sound system merangkap Operator Kantong Permen. Disebut demikian, karena pada lagu kedua, Sang Operator akan mulai berjalan dari satu sudut stasiun ke sudut yang lain membawa kantong bekas permen Relaxa kosong untuk meminta uang saweran kepada para calon penumpang kereta api yang menunggu di sepanjang peron stasiun.

Sang Biduan itu tidak tinggi dan tidak pendek. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan selalu memakai celana jeans biru dan t-shirt putih yang ketat. Badannya yang padat berisi tergambar jelas dalam pakaian seperti itu, dan hal itu membuat mata Gambleh jarang berkedip. Gaya menyanyinya sederhana saja, tidak sebinal Inul Daranista dan tidak seganas Dewi Persik. Paling-paling hanya sekedar goyang bahu atau goyang sebelah kaki. Tapi bagi Gambleh, itu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan bayangan-bayangan gila di otak kotornya.

Pada mulanya, Gambleh masih bisa menahan diri untuk tidak ikutan joget bersama Biduan itu, walaupun hatinya melonjak-lonjak terbakar asmara. Memang suatu kebetulan bahwa Biduan dan Crewnya berada di sisi yang berseberangan dengan peron tempatnya menunggu kereta ke Bogor. Tapi tak urung, lama-lama Gambleh terhanyut juga, kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama, kemudian tangan dan kakinya mulai ikut bergerak, dan akhirnya seluruh tubuhya bergoyang, tak peduli pada ratusan calon penumpang lain di sekelilingnya.

Gambleh memang tidak salah bila sampai jatuh hati pada Biduan itu. Selain tubuhnya yang bagus, suaranya juga sangat merdu. Dan bagi Gambleh, suara itu laksana belaian yang lembut, meliuk, menukik, berputar-putar sebelum akhirnya menembus dan membuai hatinya yang kesepian. Ia begitu terkesima pada Biduan itu, sehingga tak kurang dari lima ribu perak selalu ia pindahkan dari kantongnya ke kantong permen Sang Operator.

Dalam waktu singkat, Sang Biduan tahu kalo Gambleh adalah donatur tertinggi di stasiun Tebet. Maka di hari-hari berikutnya ia melambaikan tangan dan mengedipkan mata pada Gambleh yang bergoyang-goyang sendirian di seberang peron. Demikianlah, Gambleh dan biduan itu semakin hari semakin dekat dan semakin lengket, menyanyi dan berjoget bersama. Tentu saja, pajaknya juga bertambah dengan sendirinya, dua puluh ribu adalah saweran minimal Gambleh untuk Sang Biduan pujaan hatinya...




Sore itu Gambleh keasyikan main game Poke. Ketika sadar, ia sudah terlambat pulang satu jam dari biasanya. Sambil memaki dirinya sendiri, Gambleh cepat-cepat meninggalkan kantornya. Berharap masih bisa berjumpa dengan Biduan pujaan hatinya, Gambleh buru-buru naik ojek ke Stasiun Tebet. Hatinya galau; rasa rindu, cinta, dan khawatir bercampur-baur menjadi satu. Berkali-kali Gambleh mengkomando Si Tukang Ojek untuk memacu motornya secepat mungkin.

Sampai di stasiun, Gambleh lega karena sayup-sayup terdengar nyanyian Sang Biduan yang seolah melolong, merindu, dan memanggil-manggil Gambleh yang tak kunjung datang. Terdorong oleh rasa gembira, kangen, dan cinta yang membara, Gambleh buru-buru melompat dari ojek dan berlari melintasi rel menuju peron seberang. Di pikirannya hanya ada Sang Biduan pujaan. Malam ini ia bertekat akan memberikan seratus ribu rupiah untuk Sang Pujaan Hati sebagai hukuman atas keterlambatannya. Wajah Gambleh merona cerah, senyumnya mengembang, tangannya melambai-lambai, dan matanya tak berkedip memandang Sang Biduan pujaan di peron seberang. Pada saat yang bersamaan, dari arah Jakarta meluncur kereta api Depok Express berbobot 320 ton berkecepatan 110 km per jam. Dan semua orang di stasiun Tebet bahkan tak lagi sempat membuka mulut mereka untuk memberi peringatan.....

4 komentar

Anonim mengatakan...

salam kenal..........
uhuiiiiiiiii..............siiiiiiippp
ada gamblehnya.....

http://www.lingkaranilmu.co.cc/

http://www.ilmu-marketing.co.cc/

http://www.cangkrukdisini.co.cc/2009/01/cerpen.html

27 Februari, 2009 01:31
Anonim mengatakan...

salam kenal juga om :-)

28 Februari, 2009 17:00
Edy WIYONO mengatakan...

Mas Teg. Cerita2-nya bagus cak. I love reading your stories.

10 April, 2010 11:27
masteg mengatakan...

Thanks Boss Edy, happy reading and get some smile :)

10 April, 2010 16:56

Posting Komentar