Pakdhe Koplo

Sabtu, Agustus 08, 2009

Orang itu kalo lagi beruntung tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, kreditnya sebesar lima puluh juta rupiah telah disetujui dan bisa segera diambil kalo transfer gajinya sudah terbukti masuk ke rekening bank itu. Ditambah lagi berita anak sulungnya lolos PMDK di Fakultas Teknik Sipil UNS. Dan yang paling membahagiakannya adalah ia memiliki pacar baru yang sungguh cantik jelita bak bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan pakdhe Koplo.

Pacar baru? Tidak salah! Walaupun Pakdhe Koplo telah menikah dan memiliki empat orang anak, namun ia adalah seorang penggemar berat daun muda. Dan untuk urusan yang satu itu pakdhe Koplo berani bersaing dengan siapa saja, dan ia rela berkorban apa saja untuk memenangkan persaingan itu. Konon, Pakdhe Koplo hapal benar berbagai macam tipe perempuan dan bagaimana menaklukkannya. Tidak hanya sekali dua kali kelakuan buruknya itu mengakibatkan ia didamprat istrinya yang super galak. Tapi Pakdhe Koplo punya ilmu topeng sakti. Dengan ilmu topengnya itu, Pakdhe Koplo bisa berpura-pura menyesal, sedih, menangis meraung-raung menciumi telapak kaki istrinya, dan melolong-lolong meminta ampun berhari-hari sampai hati istrinya luluh. Namun itu tidak lama, beberapa minggu kemudian, hobinya lirak-lirik daun muda itu akan kambuh lagi secara otomatis.

Sudah sebulan ini Pakdhe Koplo berteman dengan seorang perempuan jelita yang dikenalnya di stasiun Gambir. Tidaklah perlu diceritakan bagaimana mereka berkenalan, itu rahasia pakdhe Koplo yang tidak bisa dimengerti sembarang orang. Intinya, pakdhe Koplo kini mabuk kepayang terkena panah asmara si jelita. Bahkan pakdhe Koplo sudah berani apel ke rumah kos si Jelita sepulang kerja. Tentu saja, kata lembur, meeting, macet, dan sejenisnya menjadi pelindung setianya dari kecurigaan istrinya.

Sebagaimana layaknya orang yang sedang jatuh cinta, pakdhe Koplo sekonyong-konyong menjadi buta, tuli, dan dungu. Hanya saja tangannya semakin mahir berkelana, dan bibirnya lincah membual sana-sini mengobral janji dan berkata-bersyair elok mengalahkan cipta karya para Pujangga. Tapi siapa yang butuh syair? Pacaran itu ya butuhnya duit! Tak urung, pelan dan pasti isi kantong dan tabungan pakdhe Koplopun terkuras. Bagi pakdhe Koplo, uang habis tidaklah masalah, yang penting ia bisa berdekat-dekatan dengan si Jelita. Jer Basuki Mawa Bea, kata orang Jawa, keberhasilan memerlukan pengorbanan.

Si Jelita memang piawi bermain api. Kadang ia jinak bagai merpati, kadang ganas melilit bagai naga, dan kadang manja bagai anak babi. Ia permainkan hati pakdhe Koplo sampai batas kekuatannya, tarik-ulur, tarik-ulur, dan tarik-ulur. si Jelita bermain cantik, boleh pandang dan sedikit pegang, begitu aturan mainnya. Dan hanya itu! Sikap si Jelita membuat pakdhe Koplo semakin terengah-engah, penasaran dan tergila-gila, tapi ia tak mampu berbuat banyak. Akibatnya mulut pakdhe Koplo semakin ringan mengucap janji mengobral bualan, jiwa-raganyapun kian jauh meninggalkan keluarganya.

Akhirnya hari yang paling ditunggu-tunggu Pakdhe Koplo tiba: mencairkan uang pinjaman di Bank. Pagi-pagi betul Si Jelita telah dijemput untuk menemaninya akad kredit, bukan istrinya. Di depan petugas Bank ia akui si Jelita sebagai istrinya. Sret-sret, tanda tangan akad kredit dengan cepat dilakukan, dan lima puluh juta rupiahpun segera memenuhi tas si Jelita.

"Kamu yang bawa, untuk pantes-pantesnya.", kata Pakdhe Koplo genit mengedipkan sebelah matanya pada si Jelita.

Senyum mengembang di bibir sejoli haram itu. Bukannya pulang ke rumah atau menyetor uangnya ke Bank, Pakdhe Koplo malah belanja seharian. Di akhir hari, sepuluh juta rupiah bablas menjadi gelang, kalung, cincin, anting, dan jam tangan untuk si Jelita. Ciuman kecil yang mendarat di pipi kiri-kanan Pakdhe Koplo membuatnya semakin dungu. Akhirnya acara diteruskan dengan pulang ke kost si Jelita.

"Minum dulu mas", si Jelita tersenyum manis menyuguhkan sirup dingin untuk pakdhe Koplo.

Pakdhe Koplo tersenyum bahagia. Dalam hitungan detik, segelas sirup itu mengalir, membasahi, dan menyegarkan kerongkongannya yang kering...



Suara adzan subuh membangunkan pakdhe Koplo. Gelap gulita. Kepalanya berdenyut, sakit dan pusing. Limbung pakdhe Koplo bangun dari sofa, langkahnya tertatih, tangannya menggapai-gapai mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, ia dapatkan jam dinding menunjukkan pukul 4:40 pagi. Rasa kagetnya membuat kesadaran dan kekuatannya kembali. Ia segera bergegas mencari si Jelita di dalam rumah, di luar rumah, di jalan-jalan, di kebun-kebun, tapi ia tidak menemukan jejak si Jelita, tidak juga tasnya. Hati pakdhe Koplo tercekat. Bayangan uang lima puluh juta rupiah dan si Jelita silih berganti memenuhi batok kepalanya. Bayangan itu berganti dengan cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Pakdhe Koplo pingsan untuk kedua kalinya.

Pembaca yang budiman, Orang itu kalo sedang sial tidak seperti Pakdhe Koplo. Bayangkan saja, selama lima tahun kedepan ia harus mencicil hutangnya ke Bank tiap bulan, hutang yang tak sepeserpun dinikmatinya. Belum lagi Pakdhe Koplo harus berusaha keras membayar uang kuliah anaknya yang diterima di Fakultas Teknik Sipil UNS. Pakdhe Koplo juga harus menghadapi amukan istrinya yang pasti marah besar. Dan yang paling menyedihkan adalah, hari ini Pakdhe Koplo telah kehilangan si Jelita yang perwujudannya bagaikan Bidadari yang mendarat di bumi. Maka lengkaplah sudah kesengsaraan pakdhe Koplo.

2 komentar

Anonim mengatakan...

lha itu yang salah namaya
koplo sih
coba soewoeng

16 Maret, 2009 15:01
masteg mengatakan...

Kalo namanya soewoeng kreditnya nggak bakalan disetujui deh :-P

16 Maret, 2009 21:47

Posting Komentar