Buntut!

Sabtu, September 12, 2009

Togog yakin betul, bahwa usaha yang dilakukan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil pada akhirnya. Demikian juga pada upayanya yang kontinyu dalam membeli nomor buntut dua minggu sekali, ia yakin, suatu ketika nanti pasti akan menang. Dan kalo sudah begitu, dirinya tidak lagi perlu bekerja. Ia bercita-cita akan membeli beberapa buah becak untuk disewakan, sedangkan dirinya sendiri akan pensiun sebagai tukang becak untuk selama-lamanya.

Sebagai penggemar nomor buntut, maka secara otomatis, Togog juga seorang penggemar takwil mimpi. Tak heran kalo ia memiliki berbagai macam buku takwil mimpi yang telah menemaninya sejak puluhan tahun yang lalu, sejak ia menjadi seorang penarik becak selepas SMA. tentu saja Togog sudah hampir hapal semua isinya di luar kepala. Selama ini, takwil mimpi buku-buku itu telah banyak membantunya memenangkan nomor buntut. Paling tidak sekali dalam dua bulan Togog memenangkan nomor buntut, walaupun nilainya tidak begitu besar. Kemenangannya yang tak pasti itulah yang membuatnya semakin penasaran, ketagihan, dan getol dalam menggeluti dunia nomor buntut.

Togog tidak sendirian, hampir semua temannya sesama penarik becak di pinggiran kota besar itu adalah pemain nomor buntut. Bedanya Togog tidak senang berjudi sebagaimana mereka, ia murni pemain nomor buntut. Waktu luang saat menunggu penumpang lebih banyak digunakannya untuk tidur-tidur ayam berharap mendapatkan mimpi bagus, Togog yakin bahwa mimpi orang setengah tidur itu lebih mujarab dibanding mimpi orang yang tidur pulas.

Sebagaimana sebagian besar pengemudi becak di pinggiran kota itu, Togog juga seorang perantau. Desanya terletak 100 km ke arah pedalaman. Ia pulang sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali, membawa uang penghasilannya untuk istri dan dua anaknya yang menginjak remaja. Di pinggiran kota itu, ia tidak menyewa rumah, pemborosan. Untuk urusan tidur, cukup di becaknya saja atau sekali-kali tidur di pos kamling. Urusan mandi dan cuci pakaian cukup numpang di kelurahan. Begitulah, sudah hampir dua puluh tahun kehidupan seperti itu dijalaninya, bukannya tak ingin berubah, tetapi Togog berpendapat, saatnya saja yang belum tiba, saat ia menang nomor buntut 4 angka sekaligus, dan hanya itulah satu-satunya harapan menuju hidup yang lebih baik.

Menjadi perantau seperti Togog bukanlah hal yang mudah. Sebagai laki-laki, ia juga punya hasrat yang sama terhadap wanita sebagaimana laki-laki normal lainnya. Walaupun ia mencoba bertahan dan setia, namun lama-lama Togog tergoda juga oleh wanita, seorang janda beranak satu yang masih muda, pedagang tahu di pasar lama yang menjadi langganannya sejak dua bulan terakhir. Walaupun sama-sama menyukai, namun keduanya masih bisa menahan diri, terhalang oleh himpitan perekonomian masing-masing. Puber keduanya yang semakin membara, membuat Togog mulai melupakan anak dan istrinya di kampung. Dan cinta itu membuat Togog semakin rajin bermimpi, menakwilkan mimpi, dan membeli nomor buntut skala besar.

Demikianlah, pada akhirnya keyakinannya berbuah juga. Sore itu Togog memenangkan nomor buntut sebesar 30 juta rupiah, hasil otik-atik dari gabungan tanggal lahirnya dan tanggal lahir si janda muda. Maka malam itu seluruh tukang becak, bandar buntut dan anak buahnya berpesta kambing guling dan tuak di lapangan bola sampai menjelang subuh. Akibatnya, di pagi harinya, tak ada satu becakpun yang beroperasi, dan kabar berita kemenangan Togog segera tersebar cepat di pinggiran kota itu.

Untuk pertama kali dalam sejarah kehidupannya, baru kali ini Togog memberikan uang kepada istrinya sebesar 8 juta rupiah, hampir dua puluh lima kali lipat dari jumlah biasanya. Tapi Togog tak berlama-lama di rumah, berbekal uang 20 juta sisanya ia segera kembali ke kota, hasratnya terhadap si janda muda dan keinginannya untuk menjadi juragan becak semakin menggebu-gebu. Tentu saja Togog tak berterus terang, ia hanya menyampaikan keinginannya menjadi pengusaha becak di kota, dan istrinya yang kaya mendadak itu tersenyum merestuinya, ia bahagia memiliki suami yang baik dan setia, dan ia bangga memiliki suami seorang calon pengusaha becak di kota.

Pertama-tama yang dilakukan Togog sesampainya di kota adalah pensiun sebagai tukang becak. Becak sewaannya itu dikembalikan ke pemiliknya yang sebentar lagi akan jadi saingannya. Kedua, Togog menemui si janda muda untuk menyampaikan maksudnya, ketiga, Togog mengontrak sebuah rumah untuk mendukung cita-citanya, ia ingin punya markas besar untuk armadanya. Keempat, Togog menikahi si janda muda secara sederhana saja. Karena kedekatannya degan oknum kelurahan, semua surat-surat dengan mudah diurusnya. Demikian juga pihak keluarga si janda muda, dengan mudah ditaklukkannya dengan segepok uang. Agar tak mengganggu bulan madunya, si janda segera diboyong ke rumah kontrakannya, sedangkan anak si janda dititipkan ke saudaranya dengan imbalan segepok uang juga. Seminggu kemudian sebuah Vario baru parkir di rumah kontrakan Togog, dibeli secara kredit dan semua surat dibuat atas nama si janda muda sebagai bukti cintanya.

Kabar Togog menikah lagi akhirnya sampai juga ke telinga istri tuanya. Dan proses perceraian dengan istri tuanya itu berjalan begitu cepat. Lima juta rupiah lagi akhirnya melayang dari kantong Togog untuk urusan yang satu itu. Tapi Togog lega, setidak-tidaknya kehidupan barunya tak lagi terbebani oleh istri dan dua anaknya yang mulai membencinya lahir dan batin.

Kini uang di tangan Togog tak lagi genap 3 juta rupiah, tapi Togog tak peduli. Ia bertindak seolah-olah sedang membalas dendam terhadap kemiskinannya selama ini. Tiap hari pekerjaannya hanya pacaran saja dengan istri barunya. Ia telah lupa pada tujuannya untuk menjadi seorang juragan becak. Uangnya kian menipis dari hari ke hari, dan satu-satunya harapannya adalah kembali ke nomor buntut. Tapi keberuntungan agaknya tak lagi menyertainya, sudah tiga bulan ini ia tak juga menang satu kalipun, dan uangnya semakin menipis.

Menginjak bulan kelima, uangnya benar-benar habis dan nomor buntutnya tak juga membuahkan kemenangan. Togog kebingungan membiayai hidup dan cicilan motornya yang sudah menunggak dua bulan, apalagi istrinya kini sedang hamil muda. Ia mencoba bergabung dengan tukang ojek di ujung jalan, tapi karena harus membayar uang administrasi satu juta rupiah, Togog mundur. Ia mencoba menjadi ojek mandiri di mana saja ada kesempatan, di pasar, di stasiun, di terminal, di mana saja. Tapi menjadi ojek mandiri tidaklah mudah, karena semua tempat sudah diduduki oleh organisasi ojek setempat. Togog bertambah bingung, uang penghasilan dari ngojek tak cukup untuk mencicil motornya. Begitulah, menjelang akhir bulan keenam, Vario itu ditarik dealer.

Istri Togog mulai uring-uringan saban hari, ada-ada saja masalahnya. Togog mencoba bekerja serabutan, menjadi kenek tukang batu, kuli di pasar, penjaga malam pengganti, tukang cuci motor, tapi tak ada satupun yang cocok baginya. Makin hari, hari kelahiran anaknya semakin dekat dan semakin dekat. Togog semakin bingung, akhirnya ia kembali lagi ke pekerjaan lamanya sebagai tukang becak.

Malam itu Togog termangu menunggu penumpang di becaknya, pikirannya melamunkan perjalanan hidupnya. Ia merasa betapa kehidupannya kembali lagi dari awal seperti dua puluh tahun yang lalu. Tiba-tiba ia merasa rindu pada mantan istri dan anak-anaknya di desa. Togog mendesah pelan, tak mungkin ia kembali ke masa lalu. Satu-satunya harapan yang tersisa di hatinya adalah memenangkan kembali nomor buntut itu sekali lagi. Dan matanya mulai terpejam mencari mimpi-mimpi baru untuk nomor buntut berikutnya.

2 komentar

Sastra mengatakan...

Wah, ini nih blog tempat saya harus menimba ilmu. Ceritanya bagus2 banget... Salam kenal...

19 April, 2009 17:39
masteg mengatakan...

Terima kasih mas. Masih belajar nih
Puisinya juga bagus-bagus tuh :-)

21 Mei, 2009 21:08

Posting Komentar