SD

Jumat, Oktober 03, 2008

Sekolahan SD-ku terletak di desa tetangga, sekitar satu kilometer dari desaku. Untuk sampai kesana, aku harus melewati jalan tanah di tengah persawahan yang becek saat hujan dan juga sebuah sungai kecil yang sering banjir.

Berangkat dan pulang sekolah, kami selalu berjalan telanjang kaki, karena sepatu adalah barang mewah pada saat itu. Banyak diantara kami yang tidak memakai sepatu saat sekolah, bahkan juga saat upacara bendera. Aku sendiri baru memakai sepatu saat kelas 4, itu juga karena harus mengikuti lomba cerdas-cermat di Kecamatan. Sepatu pertamaku adalah sepasang sepatu Bata yang dibelikan ayahku di sebuah toko sepatu di daerah Jebres, di kota Solo.

Selama sekolah SD, kami tidak pernah membeli buku pelajaran, karena dipinjami dari sekolah secara turun-temurun, makanya tidak jarang buku pelajaran yang kami miliki sudah lecek dan banyak coretan-coretan dari kakak kelas kami. Saat pembagian buku baru, wajib bagi kami untuk mengganti sampulnya menggunakan kertas coklat yang juga kami dapat secara gratis dari sekolah.

Uang saku kami, nilainya bervariasi, mulai dari 5 rupiah sampai setinggi-tingginya 25 rupiah. Banyak juga di antara kami yang tidak membawa uang saku. Pada masa itu, uang 5 rupiah adalah sangat berharga, dengannya kami bisa mendapatkan 5 bungkus permen jeruk, atau 2 butir permen karet, atau segelas kecil dawet atau bahkan sebungkus kecil gendar pecel (makanan seperti lontong dengan sedikit sayuran dan sambel), makanya kalo kami punya uang saku 25 rupiah, kami sudah bisa berfoya-foya sengihnampakgigi

Pagi-pagi, setiba di sekolah, kami selalu menunggu kedatangan para guru di jalanan di luar sekolah. Adalah kegemaran kami berebut membawakan tas atau sepeda para guru ke sekolah. Kami sangat patuh dan rajin di sekolah; membersihkan kelas, menghapus papan tulis, mengambilkan kapur, membawakan buku para guru, dan juga membersihkan lingkungan sekolah setiap Sabtu.

Kami juga mengikuti kegiatan pramuka, dan tentu saja berkemah. Yang paling seru saat berkemah adalah di acara jurit malam, kami akan diuji jalan di tengah malam, satu persatu melewati daerah-daerah angker tanpa bantuan alat penerangan secuilpun. Ditakut-takuti para pembina adalah hal biasa, tapi kalo bener-bener ketemu hantu itu yang luar biasa. Saat jurit malam, ada saja diantara kami yang tersesat. Perasaan sih seperti jalan bersama teman-teman lainnya. Eh, tau-tau sudah berada di hutan jati di tepi bengawan Solo sendirian, untung saja para pembina sudah hapal peristiwa yang begitu, jadi selalu saja ada yang jaga disana senyum

Setiap hari besar nasional, sekolah kami selalu libur belajar dan mengadakan peringatan atau lomba. Kami juga akan membawa makanan untuk saling ditukar dengan teman sekelas. Pokoknya kalo hari besar nasional, di sekolah meriahnya minta ampun.

Pelajaran yang paling aku senangi adalah ilmu pengetahuan alam dan menggambar, terutama gambar pemandangan. Namun selama SD, gambar pemandangan yang aku buat tidak pernah berubah: dua buah gunung kembar, matahari di tengahnya dengan sedikit awan, beberapa burung dari angka 3 tengkurap, jalan mengecil menuju ke gunung dengan barisan pohon atau tiang listrik dan sawah di kiri-kanannya. Kadang-kadang juga aku tambahi sungai atau kerbau dan kambing. kenyit

Yang paling mengharukan adalah saat aku lulus SD, walaupun kami bersuka cita dengan kelulusan kami, namun kami merasa enggan sekali pulang ke rumah. Meninggalkan SD di hari terakhir itu seperti kehilangan teman, saudara, rumah dan kampung halaman. Terima kasih kami untukmu wahai para guru yang mulia, atas jasa yang tulus dan kesabaran yang tak terbalaskan...rindu

0 comments

Posting Komentar