Tayuban

Jumat, Oktober 10, 2008

Di desa nenekku juga ada perayaan bersih desa setahun sekali. Bedanya, di desa nenekku itu tontonannya bukan wayang kulit, melainkan tayuban, yaitu pertunjukan tarian atraktif-interaktif oleh beberapa ledhek (penari wanita). Disebut atraktif karena alih-alih menari sesuai pakem, ledhek-ledhek jalang itu bahkan kebanyakan menampilkan gerakan-gerakan yang sangat erotis. Kamu tahu nggak, gerakan ngebornya Inul itu bahkan nggak ada apa-apanya dibanding gerak tarian ledhek mesum itu. Disebut interaktif, karena satu atau lebih penonton dapat ikut serta menari bersama ledhek itu kalo ketiban sampur (dilempar selendang).

Penonton yang ikut menari itu pada umumnya akan nyawer ledhek dengan memasukkan sejumlah uang ke dalam -maaf- BH si Penari, dan kamu pasti sudah mahfum dengan apa yang dilakukan tangan durhaka itu di dalam sana. Semakin malam, suasananya akan semakin gayeng (ramai), soalnya penonton sudah banyak yang mabuk berat. Bagian paling seru adalah di akhir tarian, begitu terdengar salah seorang berteriak, "puull, puull, puulll!". Maka puluhan orang berlari mengerubungi penari, ada yang memeluk, mencium, dan menggerayangi si penari. Wah pokoknya nggilani (menjijikkan) deh. Dan itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Benar-benar pesta Iblis...takbole

Sebenarnya yang paling menarik perhatianku itu bukan ledheknya, tetapi penjual mainan yang bertebaran di sekitar rumah Kamituwa (sesepuh desa) tempat perayaan itu berlangsung. Nenekku yang baik hati itu akan dengan suka cita membelikan mainan yang disukai cucu pertamanya yang ganteng ini. Lagipula aku senang kok main di desa nenekku itu, soalnya aku kan bisa main terus dan nggak perlu ngangsu mengisi gentong dan kamar mandi di rumah. Namun seringkali aku juga penasaran, tayuban itu seperti apa sih, apalagi banyak sepupuku yang ngompori diriku untuk melihat ledhek, "Cuantik-cuantik lho...." Padahal aku kan masih kecil dan nggak peduli pada apa yang namanya kecantikan...

Orang tuaku paling nggak suka kalo aku datang ke desa nenekku untuk menonton tayuban itu. Paling-paling aku diijinkan mengunjungi nenekku di siang harinya sebelum tayuban itu berlangsung. Sore harinya sebelum maghrib aku sudah harus di rumah, atau ayahku akan menyusulku dan memaksaku pulang. Namun saking ingin tahunya, aku kadang bandel juga. Sembunyi saat ayahku datang mencariku dan nonton tayub sampai malam. Aku tahu kalo malam-malam pulang ke rumah, pasti nggak akan dibukain pintu. Makanya pagi-pagi benar aku diantar pamanku pulang. "Kok ledheke ora mbok gawa mulih sisa ta le? - Kok penarinya nggak kamu bawa pulang sekalian sih nak?" Sambut ayahku menyindir begitu pamanku sudah nggak kelihatan. Dan seperti biasanya, jeweran mesra akan mampir di kuping ajaibku ini. Kapok lombok deh..... Kapok lombok itu seperti kepedasan saat makan lombok, selesai pedasnya ya makan lombok lagi kenyit

Ada satu rahasia yang baru aku ketahui menjelang dewasa mengenai tradisi tayuban itu. Kata orang, dalam tayuban itu, semakin mesum ledheknya, semakin mabuk penontonnya, dan semakin banyak pisuhannya (umpatan), maka akan semakin senang Dhanyangnya (mahluk halus penunggu desa). Dan itu artinya sawah terhindar dari hama, dan panen akan berlimpah sepanjang tahun. Well, kamu percaya nggak kalo hal itu bisa benar? Soalnya pernah sekali waktu, tayuban itu diawaki oleh beberapa ledhek remaja yang masih malu-malu sehingga tayuban tidak gayeng (ramai). Akibatnya sawah diserang hama dan panen tidaklah memuaskan, aneh ya...

Sejak meninggalnya Kamituwa di desa nenekku dan mulai pesatnya perkembangan Islam di sana sesudahnya, tayuban itupun dihapus dari agenda bersih desa. Tidak ada acara pengganti tayuban itu, jadi bersih desa itu ya benar-benar syukuran murni. Tumpengan, doa dan selesailah sudah. Walaupun masih ada satu-dua orang yang berjudi setelahnya, kebiasaan itupun dikabarkan semakin lama semakin hilang. Syukurlah, akhirnya satu tonggak kemaksiatan sirnalah sudah dari desa nenekku...senyum

0 comments

Posting Komentar