Wayangan

Jumat, Oktober 24, 2008

Nonton wayang kulit merupakan kegemaranku sejak kecil sampai kini. Banyak hal yang aku pelajari dari cerita yang disajikan sang Dhalang. Mulai dari kepahlawanan, cinta, pengorbanan, kehormatan dan banyak lagi. Banyak orang meyakini kisah itu benar-benar terjadi di masa lampau. Sebagian masyarakat Jawa yakin benar kisah itu terjadi di tanah Jawa, bahkan juga meyakini bahwa para Raja tanah Jawa itu sendiri adalah keturunan para Dewa. Bagiku sih it's ok aja, soalnya aku kadang kala juga merasa sebagai keturunan Dewa. kenyit

Di desaku, setahun sekali selalu diadakan pertunjukan wayang kulit semalam-sehari dalam kegiatan bersih desa. Tradisi wayangan ini konon sudah muncul sejak dulu kala. Sejarahnya panjang, namun tradisi ini memiliki tujuan untuk memuliakan Dewi Sri, yaitu Dewi Padi yang dipercaya mampu menjadikan tanah pertanian menjadi subur. Cerita wayang di siang hari selalu menyajikan kisah Sri Mulih atau Sri-Sadono, yang menceritakan kembalinya Dewi Sri ke tanah Jawa dan diharapkan bisa melestarikan kesuburan tanah pertanian. Sedangkan di malam hari, ceritanya beragam, mulai dari petikan cerita Mahabharata sampai Ramayana.

Wayangan selalu diselenggarakan pada malam Jumat sampai Jumat sore dan biasanya diadakan di rumah Pak Bayan yang cukup besar dan berhalaman luas. Pak bayan itu adalah pejabat kelurahan yang membawahi beberapa RW. Sebelum wayangan dimulai, diadakan tumpengan lebih dulu, inilah saatnya bagi kami makan enak: nasi uduk dengan kedele hitam, sambel goreng ati, ayam bakar kecap dan kerupuk udang. Tak lupa para Dhanyang (mahluk halus) penunggu desa juga mendapat bagian, sepaket nasi komplit dengan ingkung (ayam bakar kecap utuh ) yang ditaruh di bawah pohon asam besar di pinggir sawah sebelah tenggara desa.

Dari Kamis pagi, sudah banyak pedagang berjualan, mulai dari pedagang mainan sampai makanan dan minuman. Dan juga tentu saja, desa kami akan kedatangan para Penjudi dari berbagai daerah. Mereka akan berjudi habis-habisan di salah satu rumah di desa kami selama wayangan berlangsung malam dan siang hari. Tuan rumah akan mendapatkan uang cuk yang disisihkan oleh pemenang pada setiap permainan. Karena berlangsung malam dan siang hari, jumlah uang itu bisa sangaaaat banyak. Menurut orang-orang, begitulah pekerjaan para Penjudi itu, berpindah dari satu desa ke desa berikutnya hari demi hari, mengikuti acara keramaian yang berlangsung dari satu tempat ke tempat lain.

Di malam hari, aku paling suka nonton wayang dari balik kelir karena bayangan wayangnya kelihatan hidup dan bisa bernafas terkena sorotan blencong (lampu minyak kelapa) yang terkena tiupan angin malam. Nah, kalo siang hari baru asyik nonton dari depan kelir, karena kami boleh berteriak-teriak sepuas-puasnya saat tokoh wayang baik berperang melawan tokoh jahat. Pernah sekali waktu, saking benci dan geram pada kelakuan jahat tokoh wayang Prabu Tikus Diraja, raja hama yang menyerbu tanah Jawa, aku melempar wayang itu dengan sebilah bambu saat sedang perang dengan Raden Sadana. Tentu saja adegan perangnya jadi berhenti sejenak dan dalang beserta orang-orang pada ngomel panjang lebar padaku....

Salah satu tokoh wayang yang aku senangi adalah Arjuna, seorang satria yang baik, sakti mandraguna, gagah dan tampan (begitulah kata dalangnya). Dalam keadaan tertentu, aku juga seringkali membayangkan diriku ini sebagai Arjuna yang gagah dan tampan, dan membayangkan teman-teman mainku sebagai Bala Wanara (bala tentara kera) atau Bala Brekasakan (bala tentara raksasa yang jahat), atau sebagai Punakawan (semar, gareng, petruk dan bagong). Tapi lama-lama aku sadar bahwa semua teman-temanku juga membayangkan diri mereka sebagai Arjuna dan menganggapku sebagai Buto Terong, tokoh raksasa lucu yang berhidung seperti buah terong... sedih

0 comments

Posting Komentar