Dua Persen!

Jumat, April 03, 2009

Ruang meeting itu terasa panas dan pengap. Dinginnya AC tidak mampu menenteramkan rasa sesak di dada Senthun. Matanya nanar menatap sehelai surat pemberitahuan kenaikan gaji yang bergetar di tangannya yang kurus. "Dua persen, tak lebih dari empat puluh tujuh ribu rupiah untuk seorang Supervisor!", desisnya dengan nafas memburu. Bayangan kemakmuran keluarganya pelan tapi pasti mulai sirna ditelan kekecewaan.

"Saya sudah berusaha mas Senthun, tetapi Management jualah yang menentukan.", suara Managernya menyadarkan lamunannya.

Senthun keluar ruangan tanpa pamit.

"Andai saja aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan lain di luar sana.", gumamnya penuh sesal.

Sudah tiga tahun ini Senthun menerima kenaikan gaji pokok hanya sebesar dua persen. Dan itu berarti gajinya hanya naik tak lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah selama tiga tahun, kenaikan yang hampir tidak memiliki arti di kota sebesar Jakarta. Kepala Senthun tertunduk, angannya tak lagi berani membayangkan toga di kepala anak-anaknya.

"Ah, Ilmu memang hanya untuk mereka yang berduit!"

Sore itu Senthun membeli dua ekor anjing di pasar hewan tiban dekat stasiun kereta api, anjing putih dan coklat. Tanpa ragu, Senthun menamai kedua anjingnya, yang putih dengan nama Managernya dan yang coklat dengan nama Direkturnya.

Sejak hari itu, umpatan dan serapah untuk kedua anjing itu memenuhi rumah Senthun. Sebulan kemudian, hardikan bertambah pukulan kayu. Selama di rumah, Senthun lupa keluarganya, lupa rumahnya, lupa kewajibannya. Pekerjaannya hanya mengumpat dan sekali-kali memukul kedua anjing itu saja seharian.

Di kantor, Senthun menjadi pendiam. Diam seribu bahasa layaknya orang bisu, hanya bicara bila ditanya. Pekerjaannya dikerjakan sekedarnya saja. Anak buahnya yang mengalami kenaikan gaji tak lebih dari Supervisornya mulai ikut-ikutan malas. Arahan Direktur dan Managernya hanya bisa merubah suasana kerja sehari-dua, tidak lebih.

Memasuki bulan kedua, keluarganya mulai khawatir dengan kesehatan mental Senthun. Kedua anaknya diungsikan ke rumah mertuanya. Istrinya yang bertahan di rumah itu semata-mata hanya untuk melayani kebutuhan makan dan mencuci pakaian Senthun, selebihnya waktunya dihabiskan di rumah orang tuanya bersama kedua anaknya.

Bulan ketiga sejak anjing itu menghuni rumah Senthun, tetangganya mulai resah. Nasehat RT dan RW tak mempan meredam kelakuan Senthun terhadap anjing-anjingnya. Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan.

Senthun semakin tak terkendali. Kedua anjingnya mulai gila, melolong, lapar, sakit, kurus dan terhina. Jiwa kebinatangannya resah seresah hati kedua Manager dan Direktur Senthun yang mulai kehilangan akal menghadapi Seksi yang dipimpin Senthun. Kasak kusuk dengan HRD mulai dilakukan, tapi sejauh ini tak ada tindakan.

Malam itu, di tengah lebatnya hujan, Senthun membawa anjing putihnya keluar rumah. Langkahnya cepat menyeret Si Putih menghilang di kegelapan malam. Esoknya kantor gempar oleh berita tentang Manager Senthun yang tewas tertabrak kereta api di malam berhujan lebat di perlintasan tak berpalang. Seonggok bangkai anjing putih ikut hancur bersama mobil kantornya.

Sebulan kemudian, Senthun membawa anjing semata wayangnya di tengah malam buta. Seolah merupakan suatu kebetulan, pagi harinya, Direktur Senthun ditemukan tewas overdosis di sebuah kamar hotel, tubuhnya tergeletak di tempat tidur di sebelah bangkai seekor anjing coklat.

Pagi itu Senthun masuk kantor dengan dada tegak, langkahnya ringan penuh semangat, dan senyumnya mengembang tiada henti...

0 comments

Posting Komentar