Kraton

Jumat, April 24, 2009

Tak ada seorangpun yang tidak kenal Harto Kendhil, orang paling kaya sekabupaten. Uangnya tak terhitung, rumahnya besar, pekarangannya luas, sawah, kebun, dan ternaknya dimana-mana. Kehidupannya menjadi pembicaraan orang sepanjang siang dan malam.

Harto Kendhil di masa mudanya biasa-biasa saja. Tamatan SD, berpikiran sederhana, dan hidup apa adanya. Perubahan hidupnya terjadi setelah pulang dari tour ke kraton Jogja bersama para tetangganya.

Kraton itu begitu mempengaruhi pikiran dan jiwanya bagaikan tinta yang tumpah di atas kain putih. Dan dengan segera, segenap kehidupannya diarahkannya ke satu tujuan, "Aku harus memiliki Kraton sendiri!".

Harto Kendhil berjuang mati-matian sinag dan malam mencari harta sebanyak-banyaknya. Mula-mula berdagang kecil-kecilan, lalu mendirikan toko, dan kemudian menjadi grosir.

Tak puas menjadi grosir, Harto Kendhil mulai bertani, berkebun, dan beternak. Pelan tapi pasti usahanya berkembang, maju, dan hartanya bertambah banyak. Orang-orang mulai mengaguminya dan mengerumuninya siang-malam ibarat semut mengerumuni gula.

"Kratonku harus seluas kraton Jogja!" tekatnya semakin membaja.

Maka tanah tetangga kiri-kanannya mulai berpindah tangan. Pekarangan Harto Kendhil semakin luas dan semakin luas. Tetangganyapun semakin jauh dan semakin jauh. Tapi rumah Harto Kendhil tetap saja ramai oleh para babu, para pegawai, dan para tetangganya siang malam.

Ritual wayangan dan menanam kepala kerbau diselenggarakan. Tembok tinggi kokoh mulai dibangun mengelilingi pekarangannya, alun-alun dibuat, dan rumahnyapun dipugar. Arsitek terbaik didatangkan dari kota besar dan tukang-tukang terlatih didatangkan dari kota lain. Semuanya bekerja siang dan malam tak henti-hentinya.

Obsesinya untuk membangun Kraton telah melalaikannya dari berkeluarga. "Istri dan anak hanya akan menghambat tujuanku.", demikian hatinya selalu berkata.

"Aku tak akan mukti berkeluarga sebelum Kraton ini sempurna!" sumpahnya pada diri sendiri bak Gajah Mada. Sumpah itu tak pernah terlahir, namun tak urung menjadi prasangka semua orang. Maka banyaklah Perawan yang berharap, menunggu, dan rela menjadi perawan tua.

"Siapa tahu Harto Kendhil memilihku menjadi Permaisurinya", do'a para Perawan itu penuh harap. Namun harapan itu tak juga kunjung terwujud, dan merekapun semakin tua dan keriput.

Waktu terus berlalu dan Kraton itu tak juga selesai, selalu saja ada yang kurang dalam pandangan Harto Kendhil. Namun Harto Kendhil tak pernah patah semangat.

"Kratonku harus lebih bagus dari Kraton Jogja!", tekatnya semakin menggebu.

Maka barang-barang mewah pengisi Kraton itupun mengalir dari luar daerah dan luar negeri. Pembangunan Kratonpun berlanjut.

Harto kendhil manusia biasa, uban mulai memenuhi kepalanya. Tubuhnya mulai renta dan sakit-sakitan. Perhatiannya yang banyak tersita untuk pembangunan Kraton telah membuat usahanya merosot dan merugi. Dan Kraton itu masih juga jauh dari selesai. Harto Kendhil mulai jenuh dan kesempurnaan Kratonnya masih terasa jauh.

"Apa lagi yang harus ada di Kratonku?" pikirannya mulai kebingungan.

Pagi itu, Harto Kendhil tergolek lemah sendirian di tempat tidur mewahnya. Tak ada siapa-siapa lagi di kamarnya. Tubuhnya menggigil dan nafasnya tinggal satu-satu. Mulutnya tak henti-hentinya menggumam, "Kratonku....Kratonku...." Sementara itu di luar sana; para babu, para pegawai, dan para tetangganya beramai-ramai mematok-matok semua tanahnya, membagi-bagi hewan ternak dan harta-hartanya yang tersisa.

0 comments

Posting Komentar