Episode Samijo

Jumat, Mei 08, 2009

Pelan-pelan rombongan Bus Mudik Bersama itu meninggalkan lapangan menuju luar kota. Di dalam bus, Samijo tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun menghuni Ibukota; dia, istrinya, dan dua anak mereka akhirnya bisa mengunjungi kampung halaman tanah kelahirannya. Ia merasakan jiwanya yang telah lama mengeras kembali lunak, lembut dan bahagia.

Samijo masih ingat betul saat semua penghuni kawasan kumuh tempat tinggalnya didata untuk mudik bersama ke kampung halaman sebulan sebelum bulan puasa. "Pokoknya ke semua tujuan, ada lima puluh bus siap mengantar, plus uang saku selama perjalanan dan ongkos balik ke Jakarta!", kata si Pendata tegas meyakinkan. Kata-kata itu seolah menjadi hujan deras di musim kemarau panjang. Semua penghuni yang telah rindu-dendam bertahun-tahun tak pulang ke kampung halaman mereka pun menyambutnya dengan gegap gempita.

Maka, dua bulan penuh sesudah itu tidak ada kata istirahat bagi Penghuni kawasan kumuh itu. Semua Penghuni bersemangat mengais uang ke seluruh penjuru kota untuk bekal ke kampung halaman. Para Penjudi dan kupu-kupu malam tak peduli larangan beroperasi di bulan suci. Para pedagang tak peduli larangan menjual petasan dan tak peduli larangan jualan di bahu jalan. Para Pengemis dan Pemulung keluar masuk perumahan, menyusuri jalanan, perempatan dan lampu merah siang dan malam. Para Copet, Jambret, dan Preman menggila dimana-mana; di bus, di mall, di terminal, di stasiun, dan dimana saja. Semua Penghuni berlomba menumpuk uang, uang, dan uang.

Samijo tak ketinggalan, ia memulung semakin jauh. Memasuki bulan puasa, ia melanglang dari satu masjid ke masjid lain mengais gelas plastik bekas orang buka puasa. Usahanya tak sia-sia, ratusan gelas plastik didapatkannya setiap malam. Ia tahu, di bulan puasa, dia tak bisa berharap banyak mendapatkan gelas plastik itu di siang hari. Duitnya makin banyak terkumpul, dua kali lipat dari bulan biasa. Samijo dan Istrinya senang. Sudah setahun ini mereka berusaha menabung untuk bisa pulang. "Seperti sudah diatur saja.", gumam Samijo. "Uang tabunganku nggak perlu berkurang untuk beli tiket.".

Tak urung Samijo dan keluarganya menghabiskan jatah uang tiket bus mereka untuk membeli pakaian baru dan buah tangan. Akhirnya dua tas besar penuh buah tangan dan satu tas besar berisi pakaian mereka bawa serta. Ia ingin menunjukkan ke semua tetangganya di kampung sana, bahwa tujuh tahun kepergiannya ke Jakarta tidaklah sia-sia. Ia dan keluarganya akan pulang kampung berlebaran sebagai orang kaya.

Kini kawasan kumuh itu hampir kosong. Malam gelap berangin kencang menyisakan sepi dan dingin yang menusuk tulang. Lima sosok manusia dengan sigap menyelinap mengendap-endap berpencar di kawasan itu, bergerak cepat seolah hapal segala sudut kawasan. Menjelang sahur, lima titik api terlihat di kawasan itu. Dalam waktu singkat api mulai membesar, meluas, dan melahap apa saja yang dilaluinya.

Penghuni yang tersisa berteriak ribut, lari lintang pukang sambil berusaha menyelamatkan apa saja yang bisa diraihnya. Saat matahari terbit di ufuk timur, perumahan kumuh itu telah rata dengan tanah, hancur luluh menyisakan kepulan asap di sana-sini.




Maghrib telah lama lewat ketika Samijo dan keluarganya menginjakkan kaki mereka di terminal Pulogadung. Terdorong rasa lelah di perjalanan dan keinginan untuk cepat-cepat beristirahat, mereka bergegas naik mikrolet menuju istana mereka di Ibukota. Di perjalanan, sebentar-sebentar senyum Samijo mengembang, masih terbayang betapa mulianya dia dan keluarganya di kampung halaman tempo hari. Semua orang di kampungnya selalu memandang hormat pada Orang Jakarta dan mengiyakan semua ceritanya. Samijo dan istrinya royal menjaga image mereka sebagai orang Jakarta. "Asal masih cukup untuk pulang ke Jakarta dan makan sehari-dua.", pesan Samijo pada istrinya.

Adzan Isya terdengar lamat-lamat ketika Samijo dan keluarganya turun dari Mikrolet. Samijo dan istrinya kaget melihat kawasan kumuh itu kini berpagar seng, gelap, dan sepi. Samijo dan keluarganya menyingkap pagar dan masuk ke dalam. Di keremangan lampu jalan, hati mereka tersentak dan beku melihat kawasan itu telah rata dengan tanah. Rumah yang telah dihuninya bertahun-tahun sirna dari pandangan mata. Istrinya seketika pingsan, kedua anaknya menangis menjerit-jerit. Kepala Samijo mendadak pening, pandangannya mulai gelap, dan dunia terasa berputar, semakin cepat, dan semakin cepat.

0 comments

Posting Komentar