Pada Suatu Hari

Jumat, Mei 01, 2009

Kebo Ijo benar-benar sial sepanjang hari ini. Mulai dari bangun tidur sampai tengah hari seolah-olah tidak ada satupun di dunia ini yang bersahabat dengannya. Ia tak habis pikir, apa yang salah dengan dirinya. "Mungkin saja ini hari burukku.", katanya setengah berbisik.

Pagi tadi Kebo Ijo bangun tidur terlambat. Setelah mandi kucing dan pakai seragam, Kebo Ijo menyambar tas kerjanya. Handphone dan dompetnya buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Kebo Ijo sigap naik ojeg ke stasiun kereta api. Baru saja selesai bayar ojeg, datang kereta dari Bogor yang penuh sesak, tapi Kebo Ijo tak peduli, ia menyeruak masuk, tak bisa, akhirnya Kebo Ijo menggelantung di pintu. "Aku tak boleh terlambat sampai ke kantor!", tekatnya dalam hati.

Kereta api melaju cepat, tak peduli penumpang bergelantungan di pintu dan bertebaran di atap-atap gerbong. Menerobos dedaunan yang menjorok di pinggir-pinggir jalan kereta, melewati stasiun demi stasiun. Muka dan tubuh Kebo Ijo berkali-kali menyerempet dedaunan sepanjang rel. Tapi Kebo Ijo tabah.

Lama-lama penumpang mulai berkurang dan Kebo Ijo bisa masuk ke dalam, tapi di dalam kereta masih penuh orang. Udara di dalam kereta panas dan pengap. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Gesekan demi gesekan penumpang yang naik turun membuat baju Kebo ijo lecek, kumal dan bau.

Turun dari kereta, Kebo Ijo baru menyadari tasnya robek melintang terkena pisau silet, handphone dan dompet beserta seluruh isinya lenyap. Kebo Ijo lemas. Kini di sakunya tinggal tersisa uang delapan ribu perak. Tapi kesialannya tidak berhenti sampai disitu, Kebo Ijo ditangkap petugas penjaga pintu keluar karena tak berkarcis. Keluhannya karena kecopetan tak membuat petugas berbaik hati. Karena tak bisa membayar denda, Kebo Ijo disuruh membersihkan toilet dan menandatangani surat pernyataan.

Kebo Ijo naik Mikrolet menuju kantornya, penuh sesak juga. Tapi di tengah jalan penumpang habis, tinggal Kebo Ijo seorang. "Pindah aja ke mikrolet belakang, Bang. Mau muter nih. Bayar seribu aja.", kata Sopir Mikrolet sambil menghentikan kendaraannya. Kebo Ijo pun ganti Mikrolet. Demikianlah, pagi itu Kebo Ijo ganti Mikrolet tiga kali. Dan ia terlambat masuk kantor. Langkahnya gontai menuju ke ruang atasannya. Ia sudah berjanji.

"Kamu sendiri yang berjanji." Kata atasannya sembari memberikan Surat Peringatan Pertama pada Kebo Ijo. "Bila dalam waktu tiga bulan masih sering terlambat juga, dengan terpaksa mas Kebo harus saya pindahkan ke bagian administrasi.". Kebo Ijo tersentak. Itu berarti ia akan kehilangan penghasilan tambahan di lapangan yang jumlahnya lebih besar dari gaji bulanannya.

Takut bencana semakin menderanya, Kebo ijo berniat pulang. Ia ijin pulang lebih awal. Ia percaya hari baik dan hari buruk, maka ia berniat untuk diam saja di rumah sampai hari baiknya tiba. "Biarlah surat kehilangan aku urus besok saja di hari baik .", katanya pada dirinya sendiri.

Jam 13:00 tepat Kebo Ijo sudah berada di terminal, ia tak mau lagi naik kereta api, kapok. Terik matahari yang menyengat membuat Kebo Ijo ingin cepat-cepat mendapatkan bus, ia tak mau pilih-pilih, maka begitu bus PPD reguler lewat. Tanpa pikir panjang Kebo Ijo melangkah naik. Kali ini ia merasa beruntung, bus kosong. Dengan cekatan, Kebo Ijo duduk di kursi belakang Sopir. Hatinya lega.

Bis melaju pelan menyisir jalanan menjaring satu-dua penumpang. Bus masih jalan santai, dan Sopir bus mulai menyalakan rokok. Asapnya mengepul semakin lama semakin banyak. Kebo Ijo mulai terganggu. Sungguh, dia sendiri perokok, tetapi paling tidak suka menghirup asap rokok orang lain. Lama-lama Kebo Ijo tak tahan, bangkit berdiri dan duduk dua bangku ke belakang di pinggir jendela. "Aman.", pikirnya.

Penumpang mulai memenuhi bus, di sebelah Kebo Ijo kini duduk seorang perempuan membawa sebuah tas besar. Tas itu diletakkan di tengah kursi di antara mereka, "Maaf.", kata perempuan itu. Kebo Ijo tersenyum hambar.

Seorang laki-laki pendek, berkulit hitam, gendut, dan berbibir tebal naik dari arah pintu depan. Setelah melihat kesana-kemari, pandangannya tertuju pada bangku Kebo Ijo. "Permisi." Katanya minta duduk. Perempuan itu beringsut dan menarik tasnya ke pinggir. Laki-laki itu duduk di tengah, bibir tebalnya tersenyum pada Kebo Ijo, "Maaf.", katanya pendek. Kebo Ijo berusaha tersenyum. Begitu duduk, badan gendut laki-laki itu menghimpit badannya. Bau keringat penumpang baru yang seperti cuka busuk itu mulai menghantam hidungnya. Kebo Ijo bersabar. "Dasar Bibir Tebal", batinnya.jengkel.

Belum jauh bus berjalan, mata Si Bibir Tebal mulai meredup, meredup dan akhirnya terkatup. Kepalanya menunduk, Si Bibir Tebal mulai tertidur dan mulutnya mulai membuka. Bau nafasnya mulai memenuhi sekitarnya. Kebo Ijo melirik benci, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, bus telah penuh.

Bus memutar, dan mulai memasuki jalanan lurus. Sinar matahari yang mulai condong ke arah barat menimpa sisi bus tempat Kebo Ijo duduk. Angin yang menghembus dari jendela bus tidak banyak membantu meredam panas matahari yang menimpa wajah dan sebagian tubuh Kebo Ijo. Kebo Ijo mandi keringat, terhimpit, terpanggang, tersiksa.

Kepala si Bibir Tebal mulai miring, miring dan mendarat di pundak Kebo Ijo. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya. Kepala si Bibir Tebal kembali ke tempatnya semula. Tapi si Bibir Tebal tetap pulas, kepalanya masih menunduk. Ia mulai mendengkur, nafas baunya mulai ditemani liur yang menetes satu-satu.

Bus sudah melaju setengah perjalanan. Kepala si Bibir Tebal mulai miring lagi, semakin miring dan kembali mendarat di pundak Kebo Ijo. Bau nafas si Bibir Tebal melabrak hidungnya. Kebo Ijo mengibaskan pundaknya, semakin keras. Kepala Si Bibir Tebalpun kembali ke tempatnya, semakin menunduk. Tapi si Bibir Tebal tetap saja pulas. "Dasar binatang!", batin Kebo Ijo meradang.

Tapi kepala si Bibir mulai miring kembali. Kebo Ijo memajukan tubuhnya untuk menghindari kepala si Bibir Tebal. Tanpa sandaran, tubuh si Bibir Tebal mulai ikut miring dan berada di atas punggung Kebo Ijo, tapi tidurnya sama sekali tidak terganggu. Kemiringan itu membuat bibirnya semakin terbuka dan liur di bibirnya menetes ke punggung Kebo Ijo yang berkeringat. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Pada tetesan kesepuluh, Kebo Ijo baru menyadarinya.

"Bangsat!" Teriaknya keras mengejutkan sopir dan semua penumpang.

Serta-merta Kebo Ijo bangkit dari tempat duduknya, tangan kirinya bergerak mencengkeram rambut si Bibir Tebal, tangan kanannya terayun bertubi-tubi memukul kepala si Bibir Tebal yang tersentak bangun dari tidurnya, kesakitan. Sopir menginjak rem, penumpang datang melerai. Tapi Kebo Ijo sudah kalap, matanya mendelik, mulutnya tak henti-hentinya mengumpat dan kedua tangannya mengayun ke kiri dan ke kanan memukul siapa saja yang datang. Kebo Ijo mengamuk membabi buta...

0 comments

Posting Komentar