Pak Rebo yang Setia

Jumat, Mei 15, 2009

Ini cerita tentang Pak Rebo. Pedagang perkakas rumah tangga, kain, dan pakaian keliling yang selalu singgah di desaku setiap hari Rabu. Ya, hanya di hari Rabu itu sajalah Pak Rebo akan singgah di desaku. Kadang di pagi hari, kadang di siang hari, atau kadang juga di sore hari.

Sepanjang pengetahuanku, tak pernah satu kalipun Pak Rebo absen mengunjungi desaku seminggu sekali di hari Rabu itu. Pak Rebo selalu naik sepeda besar (pit kebo) yang bagus bermerk Gazelle (orang-orang di desaku sering menyebutnya dengan pit gacel, e-nya diucapkan seperti e pada kata tebu) yang dilengkapi dengan tuas pengatur gear Hi-Lo dan kalo berjalan selalu berbunyi cik...cik...cik...

Pak Rebo itu orangnya tinggi, berkulit coklat kehitaman, berwajah ganteng dan masih muda, kira-kira berumur 20 tahunan waktu itu. Pak Rebo selalu berpenampilan rapi, selalu memakai kemeja panjang dengan lengan terlipat, celana bahan warna gelap, lengkap dengan sepatu pantalon layaknya pegawai kantoran saja. Bedanya Pak Rebo tidak pernah menggunakan dasi.

Pak Rebo memiliki dua ciri khas yang tidak dimiliki orang lain bahkan di seluruh penjuru dunia. Ciri khas pertamanya adalah sebuah topi laken (topi koboi) warna coklat kehijauan yang selalu bertengger di kepalanya lengkap dengan tali yang melilit sampai di dagunya. Ciri kedua adalah sebuah gigi emas putih yang menggantikan posisi gigi seri sebelah kiri. Dengan gigi itu, kalo sedang tersenyum, maka wajah Pak Rebo yang coklat-kehitaman itu akan semakin kelihatan keren.

Pak Rebo menjual dagangannya dengan cara kredit, Pelanggan boleh membayar barang yang dibelinya dengan cara dicicil sampai kapanpun asal cicilan itu dibayar pada setiap hari Rabu. Berapa saja, ada 5 rupiah ya kasih 5 rupiah, ada 10 rupiah ya dikasih 10 rupiah. Pokoknya fleksibel banget deh. Jangan membayangkan harga dagangan Pak Rebo itu jutaan rupiah. Pada waktu itu baju yang paling mahal saja cuma 200 rupiah. Kebijakan Pak Rebo adalah, sebelum lunas, Pelanggan tidak boleh ngutang lagi. Uang lebon (angsuran) itu akan dicatat dengan rapi dalam sebuah buku yang tebal dan panjang. Tak pernah satu transaksipun yang tak tercatat dalam buku catatannya itu. Makanya hampir semua warga di desaku, terutama ibu-ibu, menjadi Pelanggan setia Pak Rebo. Walaupun kredit dengan cicilan nggak tentu begitu, namun anehnya dagangan Pak Rebo nggak berkurang dari minggu ke minggu berikutnya, bahkan seolah-olah malah kelihatan bertambah dan selalu berganti dengan barang-barang baru.

Sebenarnya Pak Rebo juga dikenal dengan nama lain di desa-desa tetangga. Ada yang mengenalnya sebagai Pak Senen, Pak Selasa, dan Pak Kemis. Memang dalam satu hari, Pak Rebo bisa berkeliling dua sampai empat desa seharian dengan sepeda kerennya itu. Namun aku belum pernah mendengar Pak Rebo berubah menjadi Pak Jumat, Pak Sabtu ataupun Pak Minggu. Yang aku dengar, setiap hari Jumat Pak Rebo ngaso, istirahat. Hari Sabtu kulakan (belanja barang dagangan) ke kota Solo dan hari minggunya pulang ke rumahnya yang berada di kaki gunung lawu sejauh 40 kilometer dari desaku. Pak Rebo memang ngontrak sebuah rumah dekat pasar sana.

Yang aku herankan, Pak Rebo itu belum pernah sekalipun menjual mainan anak-anak. Padahal aku yakin kalo Pak Rebo juga menjual mainan anak-anak pasti laku. Setiap ditanya mainan anak-anak Pak Rebo hanya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang bersinar bak meteor itu tanpa menjawab satu patah katapun. Namun entah kenapa anak-anak seperti kami sangat senang kalo Pak Rebo mengunjungi desa kami, aku dan anak-anak lain akan ikut ngrubung (mengerumuni) dagangan Pak Rebo yang baru-baru itu. Kalo lagi beruntung, ibu-ibu kami akan membelikan kaos atau celana kolor yang baru.

Pak Rebo yang masih bujangan waktu itu seringkali ditawari jadi menantu para ibu yang anak perempuannya sudah dewasa. Soalnya ibu-ibu itu menganggap Pak Rebo yang ganteng dan ramah itu pintar mencari uang, satu hal yang menjadi jaminan kesejahteraan putri dan anak keturunan mereka kelak. Namun Pak Rebo hanya tersenyum saja kalo ditawari hal seperti itu. Padahal perempuan yang ditawarkan itu kebanyakan cantik-cantik dan seperti kebanyakan orang desa: jujur, taat, tidak takut miskin, dan sanggup bekerja keras.

Pak Rebo dengan senyum dan penampilannya yang khas itu masih tetap rajin mengunjungi desaku dengan pit gacel tuanya selama puluhan tahun. Bahkan minggu kemarin sewaktu aku pulang ke desaku, setelah puluhan tahun berlalu, di hari Rabu pagi itu aku masih melihat Pak Rebo tua dengan setianya menyusuri jalan-jalan di desaku untuk mengunjungi para Pelanggan setianya dari pintu ke pintu. Dan seperti biasa, masih juga tidak menjual mainan anak-anak.

Dalam penglihatanku, Pak Rebo tua itu masih seperti dulu: tinggi, hitam, ganteng, bertopi laken yang itu-itu juga dan saat senyumnya mengembang, gigi putih berkilat bak meteor itu masih saja cemerlang. Tawaran ibu-ibupun masih berlaku. Tapi bukan para gadis, melainkan para janda yang dulu pernah juga ditawarkan. Itu tak lain karena ternyata Pak Rebo tua itu masih membujang sampai sekarang. Kabarnya, Pak Rebo tua masih setia pada tunangannya nun jauh di desanya sana, yang telah meninggal sebelum mereka sempat menikah....

0 comments

Posting Komentar